34 C
Jakarta

Perangi Dirimu sebelum Memerangi Orang Lain

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanPerangi Dirimu sebelum Memerangi Orang Lain
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perang memang isu klasik. Setiap kali terdengar isu ini, seakan saya dibuat flashback pada kehidupan Nabi Muhammad Saw. beserta sahabatnya yang pernah melalui peperangan saat menyebarkan agama Islam di tengah-tengah masyarakat Mekkah dan sekitarnya. Lebih dari itu, perang yang mayoritas terjemahan dari kata qitâl banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, baik dalam bentuk turunannya maupun bentuk aslinya.

Terlibatnya Nabi Muhammad Saw. dalam peperangan kemudian terdokumentasinya perintah perang dalam Al-Qur’an seringkali disalahpahami (misunderstood) oleh sekian orang. Karenanya, timbul sebuah praduga, bahkan keyakinan, bahwa perang itu adalah syariat yang wajib dilakukan untuk menegakkan nilai-nilai agama Islam. Kesalahpahaman ini sesungguhnya berangkat dari cara pandang parsial terhadap historisitas Nabi Muhammad Saw. dan ayat-ayat Al-Qur’an yang satu ayat dengan ayat lain memiliki hubungan yang kuat dan erat. Pakar studi Al-Qur’an biasanya menyebut hubungan ayat satu dengan ayat lain dengan “Munasabah”.

Secara literal kata qitâl terambil dari kata kerja qâtala yang bukan hanya bermakna berperang, namun pula bermakna mencegah. Sederhananya, perang hanya untuk mencegah diri dari segala hal yang tidak diinginkan. Dalam Al-Qur’an kata ini disebutkan pada sekian ayat dalam surah yang berbeda. Dari sekian ayat, saya coba bagi menjadi dua bagian: Pertama, ayat qitâl (perang) yang tidak disebutkan sebabnya. Sebut saja, pada QS. al-Baqarah [2]: 244 Allah memerintahkan: Berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Perang diperintahkan pada ayat ini tanpa disebutkan sebab-musababnya. Hal yang terpenting perang tetap berada di jalan Allah (fî sabîli-Llâh).

Perang yang tidak disebutkan sebab-musababnya juga ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Disebutkan dalam QS. Ali Imran [3]: 13: Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati.

Ayat 13 sedikit lebih detail dibandingkan ayat sebelumnya. Di sana mulai disebutkan dua kelompok yang berperang. Menurut Quraish Shihab, kelompok yang satu beriman, berperang untuk menegakkan agama Allah dan menyebarkan kebenaran. Sedang, kelompok yang lain kafir, berperang untuk kepentingan hawa nafsu. Pada ayat lain dikemukakan tentang perang menegakkan kebenaran: Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya). (QS. an-Nisa’ [4]: 84).

Berangkat dari beberapa ayat tersebut, pembaca yang picik akan mudah mengambil kesimpulan, bahwa perang itu adalah sesuatu yang diwajibkan. Kesalahan ini disebabkan mereka melihat ayat secara parsial, tanpa melihat ayat-ayat lain yang menguraikan perang beserta sebab-musababnya. Ayat-ayat perang inilah yang saya sebut sebagai bagian kedua. Terdapat beberapa sebab dikobarkannya perang: Pertama, perang untuk membela diri dari serangan musuh. Disebutkan dalam QS. al-Baqarah [2]: 190-191: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.

Disebutkan pula pada QS. an-Nisa’ [4]: 75 perang membela masyarakat sipil: Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!”.

Kedua, perang untuk menghindari fitnah. Perang dengan sebab ini disebutkan dalam firman-Nya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah [2]: 193). Ketiga, perang melawan kezaliman (thâghût) sebagaimana terekam dalam QS. an-Nisa’ [4]: 76: Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan Thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.

Melalui tiga kronologis diperintahkannya perang tersebut, setidaknya dapat membuka mindset kita bahwa perang bukan sebagai solusi utama, namun sebagai solusi terakhir. Perang sebagai bela diri mengisyaratkan perang bukan perintah yang harus dilakukan secara turun-temurun. Bila masih ada cara lain untuk membela diri dari kezaliman, kenapa harus perang yang diutamakan? Begitu pula, perang untuk menghindari fitnah. Jika fitnah itu dapat dihindari dengan cara yang lain, mengapa harus perang yang dikobarkan? Bukankah hanya orang yang tertutup hatinya dan dungu pikirannya yang menjadikan perang sebagai solusi utama?

BACA JUGA  Satu Hal yang Sering Terlupakan Saat Memasuki Bulan Ramadhan

Perang melawan thaghut yang pada ayat 76 disebutkan dengan perang melawan setan banyak disalahpahami. Pada ayat ini terdapat dua terma yang berseberangan: Sabilillah dan Thaghut. Quraish Shihab menyederhakan Sabilillah adalah nilai-nilai agama, keadilan, dan kebenaran, sementara Thaghut adalah kezaliman dan kerusakan. Saya bertanya, siapakah Thaghut itu? Apakah Thaghut adalah polisi yang sering dituduhkan oleh kelompok teroris? Tidak. Justru, Thaghut itu adalah kelompok teroris sendiri, karena tindakan teroris dan bom bunuh diri merupakan kezaliman yang mengakibatkan kerusakan alam semesta. Sudah lupakah para teroris terhadap firman Allah: Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (QS. al-Baqarah [2]: 11-12)?

Al-Baghawi dalam Ma’âlim at-Tanzîl menambahkan, berperang di jalan Allah merupakan perang menegakkan ketaatan kepada-Nya, sedang perang di jalan Thaghut adalah perang yang mengikuti tipu daya setan. Sampai di sini saya sudah membayangkan siapakah biasanya berperang karena mengikuti sifat-sifat kesetanan. Tentu, mereka yang berperang buta, mengikuti hawa nafsu, dan menimbulkan kemafsadatan yang besar. Salah satunya, terorisme yang dikecam oleh semua agama di penjuru dunia. Nah, perang memang pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. tapi penting diingat, bahwa perang bukan syariat Islam yang seharusnya dilakukan dari generasi ke generasi, namun perang hanya sebatas solusi terakhir untuk membela diri dari kezaliman. Bahkan, tiada perang yang paling mulia selain perang melawan hawa nafsu, karena hawa nafsu adalah musuh yang mengintai diri kita sendiri setiap waktu.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru