29.7 C
Jakarta

Perang Siber; Orientasi Baru Radikalisme di Kalangan Milenial

Artikel Trending

KhazanahOpiniPerang Siber; Orientasi Baru Radikalisme di Kalangan Milenial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kalau kita bertanya apa yang paling berbahaya dari perang total melawan radikalisme, jawaban pasnya ialah: konfrontasi atas perang total itu sendiri. Sekalipun hal itu merupakan konsekuensi logis, tetapi agak sulit untuk diterima. Penghalalan segala cara sebagai wujud perlawanan tak selalu benar, lebih-lebih jika merangkak ke dalam sesuatu yang bersifat privasi.

Karena sasarannya yang uncontrollable, beberapa kalangan beranggapan bahwa perang siber merupakan senjata terakhir, setelah perang non-siber nyaris selalu gagal. Kita telah melihat, pelaku dan objek perang siber bukan sesuatu yang statis. Yang merupakan pelaku hari ini, tidak mustahil besok jadi korban. Yang jelas, karena ini perang, dan tentu tak sepihak, perang siber ini senantiasa melibatkan para ahli IT, dari masing-masing kubu ataupun antarindividu.

Rata-rata yang terjadi, perang siber adalah perang lintas kepentingan. Target utamanya adalah merugikan lawan, menjadikan mereka kapok, jera, dan berhenti menyebarkan pengaruh opini public, jika itu sebuah media. Bagaimana kemudian perang ini begitu dekat dengan kaum milenial, adalah satu persoalan, setelah kita mungkin juga perlu menelisik, jangan-jangan ini merupakan gaya baru dari radikalisme.

Siber Meretas Privasi

Sebagaimana disinggung di muka, kekhawatiran utama dari peretasan web maupun akun media sosial, juga seluruh rupa perang siber ialah, tiadanya privasi yang aman. Semua jejak digital menjadi pertimbangan awal, dari privasi yang bisa suatu waktu terbongkar. Perasaan tidak aman biasanya menjadi hantu yang menjadikan pikiran tidak tenang. Bagi kalangan tertentu, ini cukup serius.

Jika harus dimaklumi bahwa yang demikian merupakan konsekuensi logis digitalisasi yang masif, kehilangan akses akun sendiri mungkin suatu hari akan dianggap kriminal, dan bisa dipidana. Problem peretasan menjadi ancaman serius sebab tidak hanya membuat rugi secara finansial, melainkan  rugi segalanya. Artinya, dengan bahasa sederhana, ketika duna maya kita hancur, karir-kehidupan kita di dunia nyata juga terkena imbasnya.

Sungguhpun demikian, perang siber sejujurnya tidak akan terjadi tanpa gesekan antarkepentingan. Oleh sebab itu, peretasan di sini juga bersifat aksidental, tidak mesti. Sekalipun tidak ada yang menepis kerentanan, namun kemungkinan positif tetaplah ada. Tidak bermaksud untuk menegasikan keamanan, lalu menjadikan profesionalitas bidang IT sebagai keniscayaan. Ini hanyalah simulasi, bahwa target prioritas perang siber adalah, kehancuran lawan melalui penghancuran integritas individualnya.

Siber dan Ketergantungan Milenial

Kenapa perang siber ini mesti diidentikkan dengan para kaum muda? Tidak lain karena gairah ke-IT-an mereka jelaslah lebih unggul. Dunia programming selalu dipenuhi kalangan milenial, utamanya mereka yang gemar gamming. Semacam menjadi fakta mencengangkan bahwa mereka memiliki ketergantungan dengan dunia siber. Dalam segala wujudnya, internet adalah alam keseharian mereka.

Pada saat yang bersamaan, ghirah keagamaan dan pengetahuan mereka tentang agama berada di bawah rata-rata. Terjadi kesenjangan antara ‘pengetahuan’ dan ‘ghirah’ itu sendiri. Di sinilah tendensi untuk menjadi pelaku perang siber menemukan posisinya. Ketergantungan mereka kepada internet-siber di satu sisi, dan pengetahuan agama yang rendah di sisi lainnya menjadikan mereka potensial untuk dimanfaat dalam konflik antarkepentingan tadi.

BACA JUGA  Antara Muhammadiyah dan NU: Belajar Memahami “Wajah” yang Lain

Tentu saja bila dibiarkan ini bukanlah sesuatu yang baik. Meski hipotesis ini tidak hendak mengesampingkan ahli IT di semua kalangan secara umum, kenyataannya kalangan milenial lebih potensial. Sayangnya potensi tadi tak dibarengi dengan kecakapan pengetahuan keagamaan, sehingga demi kepentingan praktis, mereka butuh finansial misalnya, mereka lantas mudah sekali dimanfaatkan.

Karena ini bisa jadi merupakan radikalisme gaya baru, yang orientasinya ialah siber dan proksi alias dunia daring, maka deradikalisasinya pun harus dalam orientasi yang sama. Radikalisme yang menempuh cara apapun untuk mencapai tujuannya adalah bentuk keputusasaan dari kekalahan narasi empiris tentang keagamaan. Dengan kata lain, misalnya perlawanan empiris dirasa kalah kepada lawan mereka, yakni pemerintah, maka mereka akan membantai siber dari lawan itu sendiri.

Radikalisme yang Halalkan Segala Cara

Idealnya, perang siber dan radikalisme tidak memiliki keterkaitan. Perang siber hanyalah satu taktik yang menjadi tumpangan baru untuk melampiaskan kebencian. Kebencian di sini seringkali bersinggungan dengan persoalan keagamaan. Sentimen agama menjadi bagian tak terpisahkan dari perang siber secara insidental, manakala perlawanan non-siber tak memiliki ladangnya.

Inilah orientasi baru radikalisme yang berdampingan dengan pesatnya teknologi. Adu ahli IT berdatangan, seperti lahirnya pasukan siber Muslim Cyber Army (MCA) dan Saracen. Proyeknya satu, membobol dan mengkonter sekuat tenaga narasi publik tentang toleransi, keadilan, dan kenegaraan. Keunggulan mereka di bidang IT tidak hanya menginstabilkan narasi kewarganegaraan, bahkan menghalangi narasi tersebut melalui serangan siber secara personal.

Boleh jadi perang dunia siber ini sama serius bahayanya dengan radikalisme empiris dalam segala wujudnya, seperti persekusi, perang politik ideologi, bahkan jihadis. Yang jelas, perang siber adalah bagian baru yang mesti dipecahkan bersama. Deradikalisasi yang pas mungkin merupakan sesuatu yang patut kita jadikan PR, sebab hasrat dan tanggung jawab menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mesti lebih besar daripada spirit kaum radikalis dalam melancarkan paham radikalnya.

Thus, radikalisme dan kaum milenial mungkin memiliki hubungan aksidental. Di samping itu, perang siber adalah gaya baru, arah ke mana radikalisme melancarkan aksi-aksinya dalam rangka merongrong kedaulatan NKRI. Sebagai kaum milenial yang menarasikan moderasi beragama, tentu saja ini menjadi tugas bersama. Sebagaimana yang sudah banyak sekali diulas, agama tak ada kaitannya dengan radikalisme, dan radikalisme tak ada kaitannya dengan Islam.

Segala yang terjadi tentang radikalisme adalah pelampiasan hasrat yang sarat kepentingan politis. Setelah penyerangan empiris tak menemukan tempat, perang siber adalah alternatif mereka. Kita telah melihat, baru-baru ini peretasan situs, baik institusi mapun individu, diretas. Mereka ingin narasi tentang toleransi dan inklusivisme kegamaan itu tidak pernah terjadi. Sekali diretas, pulih, mereka akan melakukannya lagi. Dalam aksi ini mereka memang tidak memakai rompi bom bunuh diri, tapi mereka telah membunuh spirit moderasi keberagamaan. Menyedihkan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru