Harakatuna.com Jakarta – Perwujudan hidup dalam keberagaman yang damai dan harmonis masih menjadi tantangan yang serius di Indonesia. Munculnya kasus-kasus intoleransi terhadap kelompok minoritas hingga radikalisme keagamaan adalah salah satu contoh persoalan yang dihadapi saat ini. Untuk menangkal radikalisme, tokoh agama memiliki peranan besar yang harus dioptimalkan.
“Eksistensi kelompok yang mengatasnamakan agama dan seringkali main hakim sendiri yang dibungkus dalih agama masih jadi persoalan,” kata Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri dalam diskusi daring bertajuk Kala Pemimpin Agama Memecah Belah Bangsa, Selasa (15/12/2020).
Ghufron mengatakan, benih-benih radikalisme keagamaan pun diduga semakin subur di kalangan masyarakat, terutama anak-anak muda. Bahkan ada yang secara vokal menolak untuk hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda identitas agamanya. Tindakan intoleransi yang mengarah pada terjadinya kasus terorisme harus selalu ditepis dengan berbagai cara. Dalam hal ini tokoh agama memiliki peranan besar untuk menangkal radikalisme.
“Kalau kita cermati salah satu faktor kenapa persoalan itu dihadapi oleh kita, salah satunya kalau saya boleh menyebut penyebaran ujaran kebencian dan pelintiran kebencian yang marak di ruang publik dan dibumbui oleh narasi keagamaan. Saya kira menjadi faktor mengapa persoalan tadi masih dihadapi oleh Indonesia,” tegasnya.
Ia berharap, pemuka agama berperan untuk menangkal radikalisme menguatkan konteks kebhinekaan dan keberagaman Indonesia, bukan malah membuat narasi hasutan kebencian terhadap kelompok tertentu.
“Di sini menjadi penting bagaimana mendorong peran pemimpin agama dengan pengetahuannya, kapasitasnya dan pengaruhnya menjadi penting untuk didorong tidak hanya untuk counter narasi kebencian dan pelintiran kebencian yang muncul di ruang publik, tapi juga bagaimana mereka mengedukasi masyarakat, jamaah umat dengan pesan-pesan menyejukan dan mendamaikan,” pungkasnya.