30.9 C
Jakarta

Penjelasan Bedanya Hasud dan Gibtah Menurut Imam Al-Qarafi

Artikel Trending

Asas-asas IslamSyariahPenjelasan Bedanya Hasud dan Gibtah Menurut Imam Al-Qarafi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Panas hati melihat orang lain meraih sukses atau memiliki sesuatu tidak selalu buruk, karena kondisi hati semacam itu masih mengandung dua kemungkinan. Adakalanya itu perasaan hasud, adakalanya juga sebatas gibtah. Lantas, apa bedanya hasud dengan gibtah?.

Jika ditelisik dari aspek kebahasaan, kedua kosakata ini telah masuk KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Keduanya merupakan kata serapan dari bahasa Arab. KBBI menyebut hasud atau hasut (pakai t) dengan arti dengki, iri hati, atau hasad. Sedangkan gibtah didefinisikan sebagai keinginan terhadap suatu benda seperti yang dimiliki orang lain tanpa rasa dengki terhadap orang yang memilikinya.

Setali tiga uang, Imam Al-Qarafi (w. 1285 M) dalam kitabnya berjudul Al-Furuq, menerangkan perbedaan hasud dengan gibtah sebagai berikut.
أن الحسد تمنى زوال النعمة عن الغير والغبطة تمنى حصول مثلها من غير تعرض لطلب زوالها عن صاحبها

Perasaan hasud menghendaki lenyapnya nikmat yang ada pada orang lain. Sementara gibtah adalah keinginan untuk memperoleh nikmat yang sama seperti orang lain, tanpa menghendaki lenyapnya nikmat tersebut dari orang itu.

Lebih lanjut ulama pakar ushul fikih asal Mesir itu memerinci dua tipikal orang hasud atau pendengki. Tipe pertama, selain menghendaki nikmat orang lain lenyap, ia juga menaruh harapan agar nikmat itu menjadi miliknya. Sementara tipe kedua, ia hanya menginginkan nikmat orang lain hilang, dan tidak mengharapkan nikmat itu sedikit pun.

Al-Qarafi menilai bahwa pendengki tipikal kedua tadi sebagai golongan pendengki yang paling bejat. Pasalnya, yang bersangkutan hanya ingin melihat orang lain tertimpa mafsadah belaka. Sebab itu, syariat Islam mengharamkan hasud dan membolehkan gibtah lantaran gibtah sama sekali tidak berimplikasi menimbulkan mafsadah. Hal ini sesuai dengan tujuan pokok syariat Islam, yakni jalbul-mashalih wa dar’ul-mafasid (merengkuh kemaslahatan dan menghalau kemafsadatan).

Adapun keharaman hasud berdasarkan pada sejumlah firman Allah swt. di dalam Alquran, antara lain sebagai berikut.

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 4/32).

BACA JUGA  Menelan Ludah Bercampur Darah, Batalkah Puasanya?

اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلٰى مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۚ فَقَدْ اٰتَيْنَآ اٰلَ اِبْرٰهِيْمَ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَاٰتَيْنٰهُمْ مُّلْكًا عَظِيْمًا

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar. (QS. An-Nisa’: 4/54).

وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ

Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki. (QS. Al-Falaq: 113/5)
Sementara itu, keharaman hasud juga berdasarkan beberapa sabda Rasulullah saw., di antaranya dua hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah berikut ini.

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ عَلَّمَهُ اللَّهُ الْقُرْآنَ فَهُوَ يَتْلُوهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَسَمِعَهُ جَارٌ لَهُ فَقَالَ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَهُوَ يُهْلِكُهُ فِي الْحَقِّ فَقَالَ رَجُلٌ لَيْتَنِي أُوتِيتُ مِثْلَ مَا أُوتِيَ فُلَانٌ فَعَمِلْتُ مِثْلَ مَا يَعْمَلُ

Tidak diperbolehkan hasad kecuali pada dua perkara, yakni seseorang yang telah diajari Alquran oleh Allah, sehingga ia membacanya di pertengahan malam dan siang, sampai tetangga yang mendengarnya berkata, “Duh.., sekiranya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si Fulan, niscaya aku akan melakukan apa yang dilakukannya”. Kemudian seseorang diberi karunia harta oleh Allah, sehingga ia dapat membelanjakannya pada kebenaran, lalu orang pun berkata, “Seandainya aku diberi karunia sebagaimana si Fulan, maka niscaya aku akan melakukan sebagaimana yang dilakukannya”. (HR. Imam Bukhari).

إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا

Jauhilah berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta. Janganlah mencari-cari isu; janganlah mencari-cari kesalahan; janganlah saling bersaing; janganlah saling mendengki; janganlah saling memarahi; dan janganlah saling membelakangi (memusuhi). Tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. (HR. Imam Muslim).

Walhasil, membincangkan hasud mengingatkan kita pada sosok pionir pertama dalam ahwal kemaksiatan kepada Allah swt. Dialah sang pendurhaka bernama iblis laknatullah yang menghasut Nabi Adam dan sang istri, Siti Hawa, untuk memakan buah terlarang. Konon, kemaksiatan berupa hasud yang dilakukan iblis tersebut merupakan awal mula kemaksiatan di persada alam ini. Wa ‘iyadzubillah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru