27.8 C
Jakarta

Penderitaan Umat Islam dan Menguatnya Kerinduan Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamPenderitaan Umat Islam dan Menguatnya Kerinduan Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pernahkah kita mendengar istilah Islamic Golden Age? Era keemasan Islam, begitu jika diterjemah, adalah masa, di mana umat Islam mendominasi peradaban dunia. Kerajaan Islam  terbentang tak hanya di semenanjung Arab, ekspansinya bahkan sampai ke belantara Eropa. Granada, Spanyol, ada di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Saat itu, Islam penuh gemerlap. Sementara Barat, masih berselimut dalam gelap.

Baitul Hikmah, di era Abbasiyah, mungkin ibarat Harvard di hari ini. Ia menjadi pusat studi dan penelitian. Filsafat dan sains dipelajari, dan riset-riset berbiaya tinggi juga penerjemahan literatur benar-benar dikerahkan. Tidak ada yang tidak menginginkan masa itu. Yang tampak dari Islam, dan membekas hingga sekarang, adalah imperium besar yang pernah digapainya. Sedangkan sistem pemerintahan monarki absolut tertutup. Orang sekarang memahaminya sebagai khilafah.

Seberapa pun kita berusaha menyadarkan, bahwa menganggap Dinasti Abbasiyah hingga Turki Utsmani menerapkan kerajaan mutlak, bukan khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah, tidak ada gunanya. Gaungan kerinduan akan Islamic Golden Age tersebut terlampau besar, bahkan lebih besar dari spirit keilmuan dan riset itu sendiri. Umat Islam hanya tahu, untuk menggapai era keemasan lagi, tirulah sistem pemerintahannya.

Pada saat yang bersamaan, hari ini, umat Islam merasa terpuruk, merasa tertindas. Anehnya, perasaan tertindas tersebut dianggap sebagai konsekuensi tidak ditegakkannya khilafah. Bukan semangat keilmuannya yang hendak ditiru, tetapi pola pemerintahannya. Mengherankan, bukan? Pada saat carut-marut seperti sekarang, sebagian umat Islam lantang menyuarakan khilafah. Apakah mereka pikir Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina pintar gara-gara berada di bawah naungan khilafah ala mereka?

Kecacatan dalil khilafah yang ada hari ini, sayang sekali, tak disadari oleh para aktivisnya. Indoktrinasi sudah terlebih dahulu masuk, sebelum sejarah yang benar diajarkan. Di Twitter, misalnya, tagar #KhilafahMelindungiMuslim, #WeNeedKhilafah, dan #KhilafahAjaranIslam merebak, menjadi tren. Bertolak dari runtuhnya Turki Utsmani oleh Kemal Ataturk menjadi negara sekuler, mereka bersikukuh menegakkan khilafah lagi, sebagaimana Muhammad Al-Fatih melakukannya.

Faktanya, umat Islam memang telah kalah, lalu khilafah diproyeksikan menjadi utopia kejayaannya. Ahistoris.

Umat Islam Kalah di Semua Aspek

Segala sesuatu yang dirindukan, secara logika, maka ia adalah kebalikan penuh dari realitas yang terjadi sekarang. Jika umat Islam merindukan kejayaan, merindukan masa keemasan, itu artinya hari ini umat Islam sedang terpuruk, sedang menderita. Adalah tidak mungkin kejayaan dirindukan, jika hari ini umat Islam tengah berjaya. Sayangnya, apa yang dirindukan tersebut juga mustahil terealisasi. Faktanya, memang umat Islam tengah kalah, dalam semua aspek.

Imperium Abbasiyah hingga imperium Utsmani berjaya. Apakah hal itu disebabkan mereka menerapkan sistem kerajaan? Lalu untuk kembali berjaya, hari ini kerajaan harus ditegakkan kembali? Apakah sistem kerajaan sama dengan sistem khilafah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini pasti reduktif. Semua aktivis khilafah buta sejarah, lalu hasrat ingin berkuasa mereka akan berujar: “khilafah tetap harus tegak!”.

Kesadaran umat Islam, bahwa mereka telah dilampaui secara peradaban, hari ini, adalah baik sekali. Namun, yang harus dibenahi adalah kesadaran keilmuannya, bukan hasrat berkuasanya. Apalagi jika cara merealisasikan kejayaan tersebut harus membelah konsensus yang sah, yaitu sistem demokrasi. Karenanya harus ditentang. Bukan spirit kejayaannya yang harus dilawan, melainkan caranya yang keliru. Lagi pula khilafah ala mereka itu palsu. Sekali lagi, palsu.

BACA JUGA  Menerima Hasil Pemilu 2024 sebagai Wujud Kedewasaan Berdemokrasi

Kalau mau introspeksi diri, sejujurnya, kemunduruan umat Islam adalah ulah dari umat Islam sendiri. Mengatakan bahwa Islam tertindas pasca runtuhnya Turki Utsmani adalah kebobrokan berpikir—sama sekali tidak berdasar fakta historis apa pun. Islam mengalami kemunduran disebabkan kejumudan berpikir umatnya. Filsafat dan sains dianggap ilmu kafir yang haram dipelajari. Yang tersisa adalah diktat sufistik. Rasionalitas menjadi sama sekali terpinggirkan.

Dahulu, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah pakar filsafat. Al-Farabi bahkan dijuluki Aristoteles II, karena keahliannya yang tidak sekadar menerjemah filsafat Aristoteles, melainkan juga memberikan catatan kritis—berkontribusi atas perkembangan filsafat itu sendiri. Ibnu Khaldun melahirkan karya monumental, Muqaddimah. Ibnu Sina menguasai sains, ia seorang yang dikenal ahli kedokteran. Mereka semua adalah peneliti.

Intinya jelas. Dulu umat Islam berjaya karena semangat keilmuannya. Bukan karena khilafah.

Khilafah: Utopia Kejayaan

Kenapa hari ini banyak Muslim yang terjerumus ke dalam ahistorisitas; menganggap Islam berjaya sebab khilafah, dan terindas karena tidak menegakkannya? Tidak lain adalah karena provokasi para pejuang khilafah. Mereka mengasongkan khilafah kepada umat yang dianggapnya tidak paham sejarah. Yang dijanjikan adalah kejayaan. Yang diinstruksikan adalah perlawanan terhadap pemerintah yang sah.

Para aktivis khilafah tersebut bernafsu menguasai politik dan ekonomi dunia, tetapi memakai tameng Islam. Padahal rekam jejaknya tidak terlalu simpatik terhadap Islam. Tetapi apa boleh buat, Islam adalah bungkus paling suci. Melalui tameng ‘Islam’ sesuatu yang bobrok akan terlihat sempurna. Para aktivis menyadari, umat Islam sekarang tidak suka baca. Mereka melakukan indoktrinasi secara visual, utamanya melalui internet.

Jurusnya sama saja: kejayaan masa lalu. Orang Islam digiring untuk berpikir, andai umat berada di atas umat lainnya, mereka tidak akan pernah terindas. Kecacatan logika paling besar yang ada dalam otak mereka adalah menganggap “kejayaan” sebagai “ketidaktertindasan”, dan untuk merealisasikannya adalah merombak tatanan kepemerintahan. Spirit khilafah tersebut lahir dari ruang konflik, di mana Muslim merasa tertindas disebabkan kejumudannya sendiri.

Sampai kapan pun, khilafah harus ditentang. Sampai kapan pun, narasi khilafah harus dibungkam. Sampai kapan pun, khilafah tidak boleh tegak, apalagi di Republik ini. Tugas berat kita adalah menyadarkan saudara seiman kita agar tidak bodoh, dan tidak mau dibodohi, oleh para aktivis pengasong khilafah. Menjadi berjaya tidak harus dengan cara merusak tatanan kepemerintahan. Menjadi tidak tertindas tidak harus dengan cara menindas.

Biarkanlah khilafah menjadi utopia kejayaan para aktivis khilafah. Umat Islam yang cerdas tidak boleh terpengaruh propagandanya. Yang diinginkan Hizbut Tahrir, JAT, ISIS, dan sejenisnya, adalah kekacauan, sehingga delegitimasi pemerintahan berjalan lancar, dan mereka berhasil duduk di tampuk kekuasaan.

Menempuh kejayaan dengan cara menegakkan khilafah sangatlah keliru. Umat Islam tidak tertindas. Para aktivis khilafahlah yang memprovokasi, memanipulasi, agar umat Islam merasa tertindas. Mereka hanya ingin mengumpulkan massa demi hasrat politik mereka.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru