34 C
Jakarta

Pendekatan Kultural dan Keumatan Ala Jenderal Listyo Sigit Prabowo

Artikel Trending

CNRCTPendekatan Kultural dan Keumatan Ala Jenderal Listyo Sigit Prabowo
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jauh sebelum dilantik sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), nama Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah membawa harapan baru bagi korps Bhayangkara. Akpol lulusan tahun 1991 ini dalam kacamata Komisioner Ombudsman, Laode Ida, selalu meninggalkan kesan yang baik di daerah di mana ia ditugaskan. Ketika menjabat menjadi Kapolda Banten walau diawal-awal mendapat penolakan dari masyarakat namun harus diakui ia sukses dan mampu memberikan nuansa penegakan hukum dibawah kepemimpinannya yang damai (Indonews, 13/1/2021). Disamping ia dikenal sebagai polisi yang santun, ramah, sejuk dan komunikatif membuat Jendral Sigit Prabowo dinilai oleh banyak kalangan merupakan figur yang tepat untuk menggantikan posisi Jendral Idham Aziz yang memasuki masa pensiun pada Februari 2021.

Diawali oleh dukungan mencolok dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang notabene partai politik yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama, ormas Islam terbesar di dunia yang menurut almarhum KH Abdurahman Wahid jumlah warga NU di Indonesia pada tahun 2010 lebih dari 50 % dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 120.000.000 jiwa membuat legitimasi sosial-kultural Listyo Sigit Prabowo makin kuat dan kokoh. Dukungan PKB itu disampaikan tepat pada saat atmosfir politik identitas menguat dan mempertanyakan latar belakang agama Listyo Sigit, dan PKB menegaskan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila, dimana urusan agama seseorang tidak perlu dipersoalkan (Tempo, 13/1/2021).

Dukungan PKB kepada sosok Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak lepas dari harapan-harapan yang jauh lebih besar. Ketua Fraksi DPR RI dari PKB berharap di masa-masa mendatang, institusi kepolisian RI membuka kesempatan dan peluang yang sama untuk menerima santriwan-santriwati lulusan pondok pesantren dan madrasah yang ingin bergabung ke dalam barisan Kepolisian. Bukan saja balas jasa melainkan karena lembaga pesantren sudah memiliki regulasi Undang-undang No. 18/19 (JPNN, 20/1/2021).

Kedekatan institusi kepolisian Republik Indonesia dengan pondok pesantren dan keanggotaan polisi yang terdiri dari lulusan pondok pesantren adalah dalam rangka untuk menguatkan spirit nasionalisme. Apalagi motto komunitas pesantren sudah sangat jelas, “Hubbul Wathan minal Iman” (mencintai tanah air adalah bagian dari keimanan), sebuah jargon yang diambil dari fatwa Muasis (pendiri) NU KH Hasyim Asyari bersama dengan beberapa ulama NU lain untuk menggerakan sifat nasionalis pada seluruh masyarakat dimulai dari kalangan kiyai dan santri. Ketika menerima utusan dari Soekarno berkaitan hukum membela dan mempertahankan bangsa dan negara bagi warga oleh penjajah KH Hasyim Asyari mengatakan bahwa hukumnya fardhu ain atau kewajiban individual. Mulai saat itulah dia mengeluarkan fatwa jargon Hubbul Wathon Minal Iman.

Dalam konteks nasionalisme, kerjasama institusi kepolisian di bawah kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo ini sudah sangat tepat. Lebih-lebih secara personal, bapak Kapolri mengaku dirinya sebagai bagian dari warga Nahdliyyin. Bahkan ia mengingatkan jajarannya, jika ada Kapolsek, Kapolres, Kapolda tidak mau bertemu dengan NU maka berarti tidak menghormati saya sebagai warga Nahdliyyin (PikiranRakyat, 29/1/2021).

Nuansa kultural pendekatan dan cara kerja Kapolri Listyo Sigit Prabowo ini semakin tidak diragukan lagi, setelah ia mengunjungi dan bersilaturahmi pada ormas terbesar kedua setelah NU, yakni Muhamadiyah. Kemampuan komunikasi kultural bapak Kapolri yang non-muslim ini berhasil meraih simpati dan hati dari pimpinan tertinggi Muhammadiyah.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, mengeluarkan sebuah statemen yang sangat Pancasilais-Nasionalis. Ia menyebutkan bahwa institusi Polri telah dianggap sebagai bagian dari keluarga Muhammadiyah. Karena satu keluarga, walaupun berbeda-beda satu sama lain, tetapi berasal dari jiwa dan raga yang sama; menanggung rasa cinta yang sama kepada bangsa dan umat khususnya dan kepada negara umumnya.

Usulan tagline dari Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti untuk institusi Kepolisian Republik Indonesia sangat luar biasa, “Polisi Sahabat Umat” (Kompas, 29/1/2021). Tagline ini merefleksikan keakraban dan keintiman antara polisi dan umat (bangsa) untuk bersama-sama menjaga keutuhan Rumah Besar kita bersama (Negara Indonesia) dari segala macam hiruk pikuk yang naif dan tidak pantas, yang bisa mencemari nama baik negara di mata orang lain (dunia).

Disamping, Jendral Listyo Sigit Prabowo melakukan kunjungan ke Rabithah Alawiyah, memohon agar orang-orang Hadhrami, keluarga Ba’alawi, keturunan Rasulullah Saw., menjadi penerjemah bahasa institusi kepolisian. Sementara itu, respon DPP Rabithah Alawiyah juga sangat menakjubkan. Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Habib Zein bin Umar bin Smith, meyakini bahwa pendekatan humanis dan transparan dari Kapolri Listyo Sigit Prabowo akan membawa kemajuan yang berarti, terlebih dalam hal edukasi publik dan minimalisir konflik sosial (Tempo, 30/1/2021) dan sebagai penutup, Kapolri Jendral Listyo Sigit juga melakukan silaturahmi ke ulama kharismatik yang juga ketua umum MUI KH Miftahul Akhyar untuk meminta masukan dan koreksi dari para ulama utamanya yang bernaung dalam organisasi yang menaungi ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim lintas ormas di Indonesia ini.

Komunikasi Kapolri yang menegaskan betapa pentingnya Rabithah Alawiyah sebagai “penerjemah” sangat kontekstual. Sebab, kasus yang masih berjalan melibatkan tokoh publik yang masih berdarah Alawiyah, yakni Habib Rizieq Syihab (HRS). Komunikasi langsung antara kepolisian dan HRS maupun pendukung fanatiknya akan semakin efektif apabila dijembatani oleh bahasa-bahasa keummatan dari Rabithah Alawiyah ini.

Pendekatan kultural dari Kapolri ini mirip dengan pendekatan kultural Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sebelumnya, ketika Menag sedang berupaya untuk mengklarifikasi nasab atau silsilah HRS. Menag berkunjung dan silaturahmi ke Rabithah Alawiyah. Dua institusi berbeda (Kepolisian dan Kemenag) betul-betul mengandalkan kemampuan Rabithah Alawiyah dalam berkomunikasi kepada publik Indonesia, khususnya dalam berbicara keislaman, kebangsaan, dan kenegaraan.

Hemat penulis, pendekatan-pendekatan kultural di masa depan cukup efektif untuk membangun kerekatan bangsa dan negara yang sangat plural atau majemuk ini. Ada banyak golongan dengan karakter dan ideologi masing-masing. Jika tidak dijembatani dengan pendekatan humanis, transparan, kekeluargaan, dan persaudaraan maka kita akan sulit merajut kemajemukan bangsa ini, terlebih dalam hal meminimalisir konflik dan potensi perpecahan. Bagaimana pun, NKRI adalah jantung hidup kita bersama yang harus senantiasa kita jaga keharmonisan dan keutuhannya agar menjadi warisan terindah untuk anak cucu kita semua!

Mujahidin Nur
Mujahidin Nur
Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia. Ketua Departemen Hubungan Luar Negeri & Antarlembaga Badan Kesejahteraan Masjid (BKM).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru