26.1 C
Jakarta

Pemuda Ketahanan Nasional Jabodetabek Perangi Radikalisme Dan Terorisme

Artikel Trending

AkhbarDaerahPemuda Ketahanan Nasional Jabodetabek Perangi Radikalisme Dan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Terorisme adalah bahaya laten yang harus tetap diwaspadai saat pandemi Covid-19. Terorisme derawal dari idiologi atau tafsir agama yang “keras” yang berkembang tanpa terpantau publik. Berangkat dari kasus ini, Jaringan Pemuda Ketahanan Nasional (JPKN) Jabodetabek ajak masyarakat perangi radikalisme dan terorisme.

Merespon maraknya kasus teror yang dilakukan oleh kelompok Anarko, JPKN Jabodetabek kembali angkat suara. Pihaknya, melakaukan diskusi dan wawancara langsung beberapa tokoh di Tanggerang dengan topik utama Radikalisme Dan Terorisme. Kegiatan ini berlangsung pada Rabu (22/04) sore.

Dai Muda Jabodetabek, Ust. Asroni Al Paroya menyampaikan bahwa radikalisme lebih berbahaya dari Covid-19. Pihaknya menyangka kasus radikal akan selalu marak dan disadarkan kepada masyarakat.

“Radikalisme berasal dari kata radikal dan isme, radikal itu artinya adalah sesuatu yang keras. Ada kalanya sebuh pemikiran yang keras atau tindakan atau reaksi yang keras. Sedangkan isme adalah suatu pemahaman dalam radikal itu sendiri. Radikal itu ada kalanya baik ada kalanya pula negative,” tutur Ustadz Asroni.

Makna Radikalisme dalam Berbagai Konteks

Diapun menjelaskan bahwa makna radikal bisa berarti positif maupun negative, tergantung bagaimana konteknya.

“Radikal yang diposisikan sebagai suatu hal/tindakan yang baik maka akan menjadi sebuah nilai yang positive. Contohnya adalah ketika dulu para tokoh kita melawan penjajah dengan cara radikal. Namun radikal dalam hal negative seperti melakukan kekerasan terhadap seseorang yang berbeda paham atau ahama, yang seperti ini yang berbahaya,” imbuh Utstad Asroni.

Tokoh yang kedua adalah Wiwik Damayanti, seorang Akademisi dan Pengamat Gerakan Radikaliseme. Menurutnya radikalisme di Indonesia akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan dengan tingkat penyebaran yang luar biasa. Apalagi dikalangan anak muda terutama di perguruan tinggi. Akses internet merupakan celah upaya masuk penyebaran virus radikalisme.

JPKN Ingatkan Penyebaran Radikalisme Melalui Media Sosial

“Melalui jejaring social atau media massa. 150 juta lebih penggun media yang aktif adalah pemuda. Dan penyebab mudahnya seorang pemuda terpapar oleh radikalisme. Kurangnya pemahaman agama yang moderat dan kurangnya wawasan kebangsaan serta kajian idiologi kebangsaan, adalah awal dari radikalisme. Inilah penyebab mudahnya mereka terpapar oleh konten-konten radikal. Meraka sebarkan melalui media social seperti youtube, tweeter, Instagram, facebook dan lain-lain,” tutur perempuan yang akrab disapa Mbak Wiwik.

Diapun menyampaikan bahwa diperlukan filter dalam menyaring setiap informasi yang di dapatkan para pemuda. Setidaknya tidak mudah terprovokasi dan terpapar oleh radikalisme, salahsatunya adalah peran perguruan tinggi.

“Oleh karena itu khususnya di perguruan tinggi perlu melakukan edukasi pemahaman agama yang moderat. Pendalaman idiologi Pancasila dan wawasan kebangsaan sebagai salah satu upaya pencegahan dan pengurangan terhadap penyebaran radikalisme,” imbuh Mbak Wiwik.

Tokoh ketiga yang diwawancarai adalah Sudarto, yang merupakan Ketua PC Ansor Tangerang. Menurut penjelasannya, radikalisme sudah ada sejak tahun 1700-an di eropa. Hal yang mendasari adanya radikalisme adalah tatanan social secara cepat dan ekstrim.

BACA JUGA  Kapolres dan DPD LDII Situbondo Deklarasikan Pemilu Damai Serentak Se-Jawa Timur

“Di Indonesia, propaganda yang dilakukan berkaitan dengan radikalisme ini sudah sangat masif dilakukan. Baik melalui media social maupun melalui media cetak maupun elektronik. Tentunya ini sangat mengganggu ketahanan dan keutuhan negara dan bangsa Indonesia,” tutur Sudarto.

Menurutnya, dalam menyikapi ancaman radikalisme di negara Indonesia, pemerintah harus bersikap cepat dan tegas. Sebab, kelompok radikal ini merong-rong keutuhan negeri yang kita cintai ini. Sementara masyarakat juga harus aktif mencegah gerakan radialisme.

“Sebagai masyarakat, kita juga mempunyai kewajiban untuk ikut serta menjaga keutuhan NKRI. Minimal dengan memantau aktivitas masyarakat yang dinilai menyimpang dari norma dan etik budaya kita,” imbuh Sudarto.

Penyebaran Radikalisme di Jabodetabek

Dalam pandangannya, pemerintah juga harus menaungi organisasi-organisasi pendukung terhadap Pancasila dan UUD 1945 serta nilai-nilai kebangsaan, dan aktif mengajak masyarakat bersatu padu baik mulai dari tingkat lingkungan terkecil seperti RT untuk memantau masyarakatnya mana yang terlihat dan terindikasi memprovokatori untuk merong-rong keutuhan bangsa.

“Kalau masyarakat aktif kan yang melakukan propaganda radikalisme bisa secaraa cepat dan tanggap dilaporkan kepetugas keamanan sehingga pemerintah akan lebih cepat dalam menindaknya,” tegas Sudarto.

Dengan giatnya sosialisasi tentang bahaya radikalisme diharapkan akan memperkecil peluang bagi kelompok-kelompok radikal untuk meracuni masyarakat, sehingga keutuhan bangsa dan negara akan tetep terjaga.

Tokoh terakhir yang diminta pandangannya adalah Nur Setyaningrum, seorang akademisi di Kampus Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta. Menurutnya, radikalisme merupakan sebuah bentuk keinginan atau hasrat seseorang untuk melakukan perubahan social, budaya, dan beberapa perubahan lainnya hingga perubahan prilaku yang berjalan begitu cepat. Namun faktanya makna radikalisme kini merambah ke ranah agama. Oleh karena itu model-model seperti ini perlu kita waspadai.

“Radikalisme yang biasanya diwilayah politik idiologi, revolusi ala revolusi Prancis dan revolusi buruh ala pemikiran Marxis, kini merambah ke wilayah agama, dan karena radikalisme agama, mereka cenderung menganggap yang berbeda agama dan berbeda mahzab dalam beragama dinilai sesat dan menganngap dirinya paling benar,” tutur dosen yang sering disapa Ibu Nur.

Jabodetabek Rentan Terpapar Radikalisme

Dalam catatan Ibu Nur, Tindakan radikalisme biasanya berupa tindakan yang dilakukan untuk mencelakakan tatanan kenegaraan, namun demikian radikalisme saat ini lebih cenderung menyerang orang-orang dalam tataran sipil, seperti polisi.

“Model yang seperti ini, justru akan menjadikan orang-orang yang tidak bersalah akan merasa terancam dan menjadi korban,” imbuh Ibu Nur.

Dalam penutup diskusi beliau menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan radikalisme antara lain, demografi (letak wilayah, tingkat pendidikan), psikoanalisis yang berkaitan dengan keyakinan dan budaya, dan anak muda kisaran usia 20-34 tahun, merupan golongan yang lebih banyak mengakses internet dibandingkan bersosialisasi dengan masyarakatnya.

“Radikalisme idiologi / pandangan politik serta radikalisme agama tersebar secara masif melalui media social, sehingga usia-usia diatas dianggap rawan terpapar oleh virus radikalisme jika tidak memiliki filter yang baik seperti pemahaman agama dan kebangsaan,” tutup Ibu Nur.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru