32.7 C
Jakarta
Array

Pembaharuan dalam Dunia Tafsir, Perlukah?

Artikel Trending

Pembaharuan dalam Dunia Tafsir, Perlukah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bagi orang yang terbiasa belajar dengan tradisi pesantren tradisional seperti saya, atau bisa dikatakan semi-modern untuk dalam kasus saya, menginjak bangku perkuliahan di semester satu merupakan sebuah proses transisi pemikiran. Bertemu dengan pemikiran dan gagasan-gagasan baru dalam dunia penafsiran al-Quran khususnya yang sepertinya belum saya dapatkan ketika saya belajar di pesantren atau Madrasah Aliyah.

Ketika berada di bangku Madrasah Aliyah atau pesantren, yang dipelajari terkait ‘Tafsir’ dan ‘Ilmu Tafsir’ adalah seputar pemikiran-pemikiran klasik. Pernah bertanya-tanya apakah ulūm al-Quran itu bisa direkonstruksi atau tidak, apakah penafsiran itu bisa berubah dan melawan tradisi misalnya, ataukah tidak.

Dinamika dan paradigma penafsiran al-Quran memang kian berkembang dari waktu ke waktu. Dari era klasik, pertengahan hingga modern-kontemporer. Tafsir pada era klasik dimulai dari zaman Nabi, Sahabat, dan tabi’in yang tradisinya masih berbentuk oral atau periwayatan, di mana penafsiran mereka dianggap sebagai tafsir yang paling otoritatif karena kebanyakan langsung bersumber dari Nabi.

Berlanjut pada era pertengahan di mana tafsir al-Quran mulai dibukukan dan munculnya pergeseran dari tradisi tafsir bi al-ma’tsur menjadi tafsir bi al-ra’yi. Mulai menguatnya penggunaan rasio dan melekatnya ideologi mufassir terhadap produk tafsirnya dan didominasi oleh bidang keahlian sang penafsir (corak yang beragam).

Produk-produk tafsir pada era pertengahan cenderung ideologis dan sektarian. Sebutlah tafsir-tafsir pada era ini seperti Jāmi’ al-Bayān karya al-Ṭabari dan Mafātih al-Ghaib milik ar-Rāzi yang memiliki warna (lawn) penafsiran yang berbeda-beda. Setelah era pertengahan, periodisasi tafsir al-Quran masuk pada era modern-kontemporer. Lalu bagaimabna dengan corak atau produk tafsir pada era modern-kontemporer ini?

Tafsir modern-kontemporer yang berarti juga muncul di era modern kontemporer ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan tafsir pada era klasik maupun pertengahan. Meskipun dalam proses penafsirannya para mufassir tidak jarang masih merujuk kepada tafsir di era pertengahan. Apa yang berbeda dengan tafsir di era modern-kontemporer ini?

Dengan perkembangan zaman yang begitu pesat dewasa ini juga besarnya tantangan era modern, hadirlah tuntutan untuk mengadirkan produk penafsiran yang lebih kompatibel dibandingkan dengan tafsir-tafsir di era sebelumnya. Penafsiran pada era ini banyak menggunakan perangkat-perangkat keilmuan modern seperti hermeneutika, semantik dan semiotik.

Tokoh yang memiliki perhatian pada gagasan tafsir modern-kontemporer ini seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Naṣr Hamid Abu Zayd dan Abdullah Saeed. Menukil dari apa yang dikatakan Saeed, orang-orang yang masih berpedoman kuat pada penafsiran klasik dan memiliki pemahaman yang literal terhadap penafsiran boleh jadi menganggap penafsiran dengan menggunakan perangkat tersebut tidak Islami atau bahkan anti-Islam.

Orang-orang yang masih terkungkung dengan penafsiran-penafsiran yang ideologis dan sektarian juga pengikut pola-pola pikir salafi biasanya tidak mudah menerima jika disuguhkan dengan pembaharuan tafsir. Padahal jika dilihat lebih jauh, gagasan tafsir modern juga tidak sedikit yang menyiratkan tradisi Islam yang kuat akarnya.

Lebih lanjut, dari pernyataan-pernyataan tersebut bukan berarti semua penafsiran di era-era terdahulu tidak lebih baik dengan penafsiran di era modern-kontemporer. Penafsiran-penafsiran pada era sebelumnya tetaplah sebuah sumbangan dari khazanah keilmuan pada era tersebut dan tetap dijadikan sebagai pijakan dalam penafsiran-penafsiran di era selanjutnya.

Demi memenuhi tuntutan dan merespon perubahan zaman dan juga perkembangan ilmu pengetahuan, hal-hal terkait dengan penafsiran al-Quran yang tidak relevan dengannya perlu untuk dikritisi agar al-Quran tetap relevan di manapun dan kapanpun. Sesuai dengan adagium bahwa al-Quran itu ṣāliḥ li kulli zamān wa makān. Meskipun al-Quran diwahyukan kepada Nabi Muhammad berabad-abad yang lalu, relevansinya akan tetap terjaga hingga saat ini. Bagaimana pun juga, tidak sedikit pula yang menentang model penafsiran baru ini.

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru