27.3 C
Jakarta

Pemahaman Akad Oleh SDM Bank Syariah, Kunci Menjaga Kesyariahan Praktik Perbankan Syariah

Artikel Trending

KhazanahEkonomi SyariahPemahaman Akad Oleh SDM Bank Syariah, Kunci Menjaga Kesyariahan Praktik Perbankan Syariah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pemahaman akan akad-akad yang digunakan dalam perbankan syariah, akan menjadi salah satu kunci untuk menjaga kesyariahan bank syariah—baik secara keseluruhan praktik yang diselenggarakan oleh bank syariah, atau setiap produk yang dikeluarkan oleh bank syariah. Sehingga, dengan adanya pemahaman berkaitan dengan akad-akad—baik dari sisi hukum Islam (baca: ushul fiqh, fiqih, qawaid fiqhiyah, ataupun yang lainnya), ataupun dari hukum positif (baca: udang-undang perbankan, peraturan bank Indonesia/PBI, peraturan otoritas jasa keuangan/POJK, ataupun yang lainnya).

Tentu saja, pemahaman akan akad-akad yang ada di bank syariah, bukan sekadar dipahami oleh jajaran komisaris, direksi, dewan pengawas syariah/DPS, ataupun kepala-kepala bagian—seperti kepala cabang, kepala cabang pembantu, dan lain sebagainya. Akan tetapi, bagaimana caranya agar akad-akad yang digunakan oleh bank syariah, bisa dipahami oleh seluruh SDM yang ada di bank syariah itu sendiri. Sehingga, akad-akad yang digunakan di bank syariah, tidak hanya menjadi pemanis dalam perjanjian antara nasabah dengan bank syariah. Akan tetapi, bisa diterapkan untuk seluruh praktik perbankan syariah selama 24 jam.

Urgensi Pemahaman Akad Oleh Setiap SDM

Mengapa akad harus dipahami oleh seluruh SDM yang ada di bank syariah, mulai dari tingkat paling rendah hingga tingkat komisaris?

Karena, yang menjalankan bisnis perbankan syariah itu adalah seluruh elemen yang ada di bank syariah, mulai dari jajaran terendah hingga jajaran tertinggi di bank syariah. Sehingga, pemahaman berkaitan dengan akad oleh setiap SDM bank syariah menjadi penting, dan bahkan menjadi kata kunci syariah atau tidaknya suatu produk di bank tersebut.

Dengan demikian, bila akad tidak bisa dipahami oleh seluruh SDM yang ada di bank syariah, maka kita sebagai nasabah harus sanksi, apakah bank syariah tersebut benar-benar syariah, atau hanya berlabel syariah pada tingkatan saja. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemahaman akad kepada seluruh SDM yang ada di bank syariah.

Selain itu, akad merupakan hal yang menjadi pembeda dengan bank konvensional. Kemudian, dalam akad itulah, bagaimana bank menjalankan praktik bisnisnya secara syariah. Sehingga praktik-praktik yang dilarang tidak dilakukan. Kemudian, tetap konsisten mengerjakan hal-hal yang dibolehkan saja. Serta bank syariah tetap menjaga bagaimana agar prinsip maqashid syariah tetap berjalan di bank syariah.

Maqashid syariah merupakan apa yang menjadi tujuan agama Islam, yang digariskan oleh Allah Swt sebagai pemberi hukum. Dengan tujuan, antara lain: menjaga pelaksanaan agama, menjaga kelestarian kehidupan, menjaga keluarga, menjaga pikiran, dan menjaga kekayaan (Saiful Muchlis; Anna Sutrisna Sukirman: 2016, 120). Kemudian, prinsip tersebut akan terakumulasi dalam fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh DSN-MUI (Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia). Sehingga, pemahaman fatwa menjadi penting untuk diketahui.

Nah, itulah pentingnya, mengapa setiap SDM bank syariah harus paham terhadap akad-akad yang diterapkan di bank syariah. Walaupun demikian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Hamli Syaifullah (baca: saya sebagai penulis artikel ini) dengan pendekatan studi literatur, diketahui bahwa penerapan Fatwa DSN-MUI di Bank Syariah diimplementasikan menggunakan dua cara. Yaitu, pembuatan SOP (standard operating procedure) di seluruh bagian, dan pengawasan yang dilakukan oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) (Hamli Syaifullah: 2018, 280).

Kendati DPS dan SOP telah dibuatkan, tetap saja seluruh SDM bank syariah harus paham terhadap akad-akad yang digunakan. Karena pengawasan DPS dan SOP yang dibuat, bila tidak dipahami dengan pemahaman fikih yang baik, akan terabaikan. Artinya, SDM bank syariah yang bersangkutan akan mengabaikan hal tersebut.

Memahami Akad Secara Garis Besar

Ingat, hal yang dimaksud dari mengetahui akad-akad ialah bukan hafal terhadap akad-akad yang digunakan oleh bank syariah, tetapi memahami akan akad-akad tersebut—baik secara teks (normatif) maupun konteks (empirik). Adanya pemahaman, maka akad-akad yang digunakan bukan hanya menjadi pemanis dari kontrak kerjasama (akad) yang dijalankan oleh bank syariah dan nasabah.

Secara garis besar, akad dibagi menjadi dua, yaitu tabarru’ dan tijari. Tabarru’ adalah akad-akad yang bersifat tolong-menolong, seperti qard, hawalah, kafalah, rahn, wadiah, dan lain-lain. Dalam akad tabarru’, tidak boleh ada kelebihan dari nominal pokok uang yang diberikan kepada nasabah. Tetapi, bank syariah boleh meminta biaya administrasi dan biaya-biaya lainnya yang ditimbulkan dalam akad tersebut.

Biasanya, dalam praktik bank syariah, akad-akad tersebut akan dimasukkan ke dalam akad-akad yang sifatnya pelengkap. Misalnya, untuk produk pembiayaan dengan akad murabahah, maka akan ada akad rahn (gadai) dalam bentuk penahanan BPKB motor si nasabah sebagai debitur. Setelah masa akad selesai, maka BPKB akan diberikan kepada nasabah yang bersangkutan.

Sementara, akad tijari adalah akad yang bersifat murni bisnis. Dimana, tujuan dari akad tersebut murni bisnis yang mengarah untuk mendapatkan keuntungan. Karena arahnya keuntungan, maka ada konsep untung dan rugi. Bila untung, maka nasabah dan bank syariah akan sama-sama mendapatkan untung. Sementara bila rugi, maka kerugian akan dibagi sesuai kapasitasnya—yang kemudian dikembalikan kepada akadnya semula.

Akad-akad yang masuk ke dalam akad tijari. Misalnya: akad-akad bai’/jual-beli (bai’ al-murabahah, bai’ al-salam, bai’ al-istisna’), akad-akad ijarah/sewa (ijarah murni, ijarah muntahiya bi at-tamlik, ijarah multijasa), akad kerjasama (mudharabah dan musyarakah).

Akad-akad tersebut, dalam praktik bank syariah, masuk ke dalam produk-produk pendanaan (funding) dan produk-produk pembiayaan (lending). Produk-produk pendanaan misalnya, tabungan mudharabah, wadiah mudharabah, dan deposito mudharabah. Untuk produk-produk pembiayaan misalnya, pembiayaan murabahah, pembiayaan istisna, pembiayaan mudharabah musytarakah, dan lain sebagainya.

Hal yang harus dipahami, dalam masa akad (perjanjian), dari kedua bentuk akad tersebut tidak boleh diubah. Yaitu, mengubah akad tijari menjadi tabarru’ ataupun mengubah tabarru’ menjadi tijari. Bila diubah, akan menjadi rusak akadnya, akhirnya haram.

Misalnya, ada nasabah yang telah menggunakan pembiayaan mikro dengan akad mudharabah-musytarakah, tiba-tiba untuk memberikan kemudahan pada bagian marketing. Dan langsung mematok keuntungan sebesar 20% di awal akad, maka hal tersebut menjadi haram. Karena telah memastikan keuntungan yang harusnya tak pasti.

Siapa Yang Bertanggung Jawab?

Bila ada yang bertanya, bila suatu bank syariah ataupun lembaga keuangan syariah lainnya tetap menjalankan praktik bisnis yang dilarang, misalnya salah satu penyebabnya karena ketidakpahaman SDM bank syariah tersebut terhadap akad-akad yang ada pada fikih ekonomi, siapa yang akan bertanggung jawab?

Yang akan bertanggung jawab baik di dunia dan lebih-lebih di akhirat kelak adalah pimpinan yang ada di bank syariah tersebut—mulai dari jajaran komisaris, direksi, dan DPS. Semua jajaran petinggi di bank syariah tersebut, harus mempertanggung jawabkan keteledoran yang dilakukan oleh SDM bank syariah tersebut.

Sebelum terlambat, maka petinggi bank syariah—mulai dari komisaris, direksi, DPS, dan lain sebagainya. Harus terus mengadakan pelatihan untuk memberikan pemahaman berkaitan dengan akad-akad yang ada di bank syariah. Pelatihan yang dilakukan, bisa dengan mengikutsertakan setiap SDM bank syariah secara bergantian di lembaga-lembaga training; ataupun dengan menghadirkan pakar-pakar ekonomi syariah ke bank syariah yang bersangkutan dengan membuat in house trining di bank syariah tersebut.

Dengan demikian, bank syariah harus terus berbenah diri, terutama dalam hal meningkatkan kapasitas akan pemahaman terhadap akad-akd yang ada di bank syariah itu sendiri. Sehingga, praktik yang dijalankan di bank syariah, tetap mengikuti apa yang digariskan dalam Fatwa DSN-MUI berkaitan dengan praktik perbakan syariah.

Oleh: Hamli Syaifullah

Pengajar di Program Studi Manajemen Perbankan Syariah FAI-UMJ dan Mahasiswa Doktor Pengkajian Islam, Konsentrasi Perbankan dan Keuangan Syariah, SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru