28.6 C
Jakarta

Pelarangan Jilbab di Tajikistan Akan Semarakkan Ekstremisme, Benarkah?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPelarangan Jilbab di Tajikistan Akan Semarakkan Ekstremisme, Benarkah?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Baru-baru ini salah satu negara mayoritas Muslim yaitu Tajikistan telah membuat sebuah aturan yang melarang masyarakatnya untuk mengenakan jilbab. Pelarangan tersebut disebabkan bahwa jilbab bukanlah pakaian yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Tajikistan. 

Aturan Tajikistan terkait pelarangan jilbab tentu menuai kontroversi di seluruh penjuru dunia. Aturan tersebut telah disahkan pada Majelis Tinggi Parlemen, Majlis Milli. UU tersebut dinamakan “larangan pakaian asing” yang di dalamnya melarang hijab dan penutup kepala lainnya.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa negara Tajikistan merupakan salah satu negara Muslim yang mayoritas masyarakatnya mencapai 96 persen menganut agama Islam. Berdasarkan data sensus 2020, jumlah masyarakat Muslim mencapai 10,3 juta penduduk, seperti dilansir dari CNN

Aturan tersebut tentu akan membuat hak-hak kaum perempuan yang beragama Islam di Tajikistan telah dilanggar. Kebebasan mereka dalam mengenakan jilbab sebagai aturan syariat Islam dalam beragama telah dibatasi oleh negara. Apalagi aturan tersebut terdapat sebuah sanksi di mana jika aturan tersebut dilanggar oleh perempuan, mereka akan didenda mulai dari 7.920 somoni Tajikistan (sekitar 12 juta rupiah) untuk warga biasa, 54.000 somoni (82-an juta rupiah) untuk pejabat pemerintah, dan 57.600 somoni (sekitar 87-an juta rupiah) jika dilakukan tokoh agama. 

Alasan pelarangan menggunakan jilbab oleh pemerintah Tajikistan adalah sebagai upaya mencegah Ekstremisme dari kelompok agama. Jilbab dipandang pemerintah sebagai bentuk dari ekstremisme. Pandangan semacam itu muncul sebab pemikiran pemerintah Tajikistan cenderung sekuler. Bahkan Presiden Emomali Rahmon sendiri yang menjadi presiden seumur hidup Tajikistan menganut paham sekuler.  Hal itulah yang menjadi alasan pelarangan penggunaan jilbab dengan dalil bahwa pelarangan tersebut merupakan upaya menjaga nilai-nilai budaya. 

Dari alasan-alasan itulah, penulis ingin membahas tentang apakah pelarangan jilbab di Tajikistan dapat mencegah ekstremisme? Atau justru sebaliknya, dorongan ekstremisme yang semakin kuat? Ini menarik ditelaah.

Sebelum menjawab hal tersebut, penulis ingin menjawab terlebih dahulu bahwa apakah jilbab itu budaya bangsa Arab atau perintah agama dalam Islam? Apa fungsi dari jilbab itu sendiri? Pertanyaan ini perlu dijawab terlebih dahulu sebab ada kesalahan pandangan kelompok sekuler Tajikistan dalam memandang jilbab sebagai produk budaya. Sehingga kesalahan pandangan itu justru membuat mereka melahirkan aturan yang keliru dan justru mendorong semaraknya ekstremisme.

Jilbab Bukan Budaya Arab

Sebelum kedatangan Islam di Makkah, perempuan-perempuan Arab dulu sudah biasa untuk menggunakan kerudung sebagai penutup kepala. Penggunaan kerudung pada masa tersebut sebagai bentuk kesopanan ketika berjumpa dengan laki-laki. Selain itu, konteks lingkungan Arab sangatlah panas, sehingga jika keluar rumah para perempuan akan menggunakan kerudung sebagai penutup kepala. 

Kerudung sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu khimar. Sebagian ahli bahasa mengatakan, khimar adalah yang menutupi kepala perempuan. Jamaknya akhmar, atau khumr, atau khumur, atau khimirr. 

Jadi saat itu kerudung memang menjadi budaya Arab dan secara fungsi kerudung hanya menutupi kepala perempuan. Namun, ia tidak menutupi dada yang menjadi perhiasan perempuan di hadapan laki-laki. Sementara itu, jilbab sendiri berfungsi sebagai hijab dan dalam kamus Lisan al-Arab diartikan sebagai penutup. 

BACA JUGA  Ironi Perempuan HTI: Terpasung Propaganda Khilafah

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Muqatil yang bersumber dari Jabir bin Abdullah, bahwa Asma’ binti Murtsid pemilik kebun kurma, sering dikunjungi perempuan yang bermain di kebunnya tanpa berkain panjang, sehingga kelihatan gelang-gelang kaki, dada, dan sanggulnya. Selanjutnya Asma’, berkata “Alangkah buruknya pemandangan ini”. Dari latar belakang itulah, maka turunlah surah al-Nur ayat 31, agar perempuan Muslim menutup auratnya. 

Dari asbabun nuzul tersebut, dapat kita pahami bahwa jilbab bukanlah budaya Arab. Jilbab berasal dari perintah yang Allah sampaikan di dalam Al-Qur’an. Perintah inilah yang akhirnya senantiasa dijalankan oleh kaum mukminat dari zaman Rasulullah hingga masa saat ini. Sehingga sangat jelas bahwa jilbab bukan budaya Arab, namun jilbab adalah perintah Allah. 

Budaya lahir dari adanya kebiasaan kolektif masyarakat, dan lahir dari pemikiran manusia. Sedangkan jilbab sendiri bukan lahir dari pemikiran manusia. Tapi berasal dari perintah Allah agar kaum perempuan menutup auratnya. 

Larangan Jilbab Picu Ekstremisme

Pelarangan jilbab di Tajikistan tidak dapat mencegah ekstremisme. Justru dorongan ekstremisme semakin kuat. Alasannya karena perintah jilbab sendiri dari Allah. Sedangkan pemerintah Tajikistan yang sekuler berusaha menghilangkan aturan yang telah Allah perintahkan. Tentu ini akan menjadi reaksi dan kecaman dari kelompok Islam garis keras alias para ekstremis.

Aturan pelarangan jilbab tersebut terlalu ekstrem, menghilangkan kebebasan kaum mukminat dalam menjalankan perintah agama Islam. Aturan pelarangan jilbab jelas sebagai bentuk kebencian terhadap umat Islam, atau yang lumrah dikenal sebagai islamofobia. Jika kebencian semacam itu yang terus dibangun, maka lama-lama bakal muncul banyak kelompok agama yang akan melakukan perlawanan kepada pemerintahan Tajikistan, alias melakukan aksi ekstrem-teror.

Dari fenomena pelarangan jilbab di Tajikistan, itu semua menjadi sebuah pembelajaran untuk kita bangsa Indonesia. Kita sebagai bangsa Indonesia sangatlah bersyukur karena telah diberikan hak-hak untuk bisa bebas dalam beragama. Saling menghormati antar agama, suku, dan budaya. 

Bangsa Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang menggambarkan kondisi Indonesia yang mempunyai banyak keragaman suku, budaya, adat, dan agama, namun tetap menjadi satu bangsa utuh. 

Kecintaan terhadap bangsa sebagai bentuk nasionalisme haruslah dibangun dan harus berjalan sesuai dengan hukum-hukum keseimbangan. Janganlah kita menjadi ekstrem kiri sehingga tidak menjalankan perintah agama, atau ekstrem kanan yang terlalu fanatik pada agama hingga melakukan perbuatan intoleran dan ekstremisme. Artinya, pelarangan jilbab akan dianggap sebagai islamofobia, dan para ekstremis berpotensi besar akan meresponsnya melalui ekstremisme dan terorisme. Waspadalah!

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Mahasiswa komunikasi penyiaran Islam yang hobi nulis dan menggeluti ilmu kepenulisan. Saat ini kegiatan sehari-hari menjadi penulis.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru