32.7 C
Jakarta

Paradoks Normalisasi Israel: Ancaman, Harapan dan Kemelutnya

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahParadoks Normalisasi Israel: Ancaman, Harapan dan Kemelutnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam beberapa pekan terakhir ini kita disuguhi drama normalisasi Israel dengan Uni Emirate Arab (UAE), yang kemudian disusul Bahrain. Drama ini melahirkan asa, harapan juga ancaman baik bagi stabilitas keamanan Dunia Arab, maupun kemerdekaan Palestina. Normalisasi di tahun 2020 ini tampaknya mengulang kembali ‘normalisasi’ di tahun 1949 dengan diakuinya kedaulatan Israel oleh Turki, tahun 1978-1979 tentang perjanjian damai Mesir-Israel dan tahun 1994 tentang perjanjian damai Yordania-Israel. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan, 5 (lima) negara tersebut mengakui Israel sebagai negara ‘berdaulat’.

Pengakuan kedaulatan Israel oleh negara teluk secara kalkulasi politik dapat melemahkan legitimasi Palestina sebagai negara merdeka. Aneksasi Palestina yang leboh dari 50 tahun oleh Israel ini seakan dilegalkan secara hukum internasional. Sehingga pada Rabu (16/9), serangan demi serangan yang dilancarkan Israel ke Beit Lehiya, Deir al Balah dan Khan Younis yang terletak di kota Gaza meluluh-lantakkan kehormatan Palestina di mata dunia internasional. Dan tercatat selama Netanyahu berkuasa, kurang lebih 3.500 jiwa warga negara Palestina telah terbunuh.

Pro-Kontra Normalisasi Israel

Meski mendapat kecaman dan kritik dari berbagai pihak, UAE dan Bahrain seakan tak bergeming dengan keputusan normalisasi dengan Israel. Bahkan dari pihak domestic Bahrain, sejumlah tujuh belas (17) LSM dan beberapa organisasi kemasyarakatan mengecam bahwa normalisasi Israel tersebut sangat tidak menguntungkan perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Sementara itu, Presiden Trump yang bertindak sebagai mediator mengapresiasi keputusan UAE dan Bahrain sebagai peristiwa bersejarah yang berpengaruh pada masa depan dunia Arab yang damai, dan solusi bagi buntunya konflik Israel-Palestina. Karena UAE dan Bahrain dapat menjadi aktor perdamaian baru di Timur Tengah.

Di tengah upaya normalisasi Israel itu, rakyat Bahrain melalui beberapa LSM-nya bersikukuh bahwa sejarah ‘normalisasi’ di masa lalu yang mempromosikan perdamaian dan kemerdekaan Palestina pun hingga sebelum normalisasi Israel-UAE dan Bahrain ini terus mengalami kebuntuan. Hal ini senada dengan Mahmoud Abbas, Presiden Palestina yang mengungkapkan kekecewaan terhadap normalisasi ini. Abbas menekankan, tak pelu normalisasi, cukup Israel hengkang dari Palestina, itulah perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Namun, pencaplokan wilayah oleh Israel terus berlangsung, tank-tank perang, rudal-rudal berdaya ledak tinggi terus berpatroli menggempur, menggerus hati, dan menyimbahkan air mata darah rakyat Palestina, juga Dunia.

Keriuhan penolakan normalisasi oleh rakyat Bahrain ini secara politik domestik juga menimbulkan protes yang berujung pada demontrasi terhadap rezim penguasa Bahrain, Al Khalifa. Demontrasi yang mengungkapkan kekecewaan pada langkah rezim yang dinilai kontra pada hak-hak rakyat Palestina, dan pro terhadap penjajahan ini seperti mengulang demontrasi Bahrain tahun 2011 yang menuntut kesetaraan sosial-politik warga minoritas Shi’ah, yang kala itu diberlakukan darurat militer hingga 3 bulan lamanya.

Sementara itu di sisi lain, normalisasi ini dipandang berpengaruh positif bagi elite politik, baik Israel maupun Amerika Serikat. Pasalnya, dalam waktu dekat ini, kedua negara akan melangsungkan pemilu. Oleh karena, normalisasi Israel ini menjadi isu dan wacana yang dapat mendongkrak elektabilitas Netanyahu maupun Trump, yang sebelumnya tercoreng, dan sempat menurunkan elektabilitas politik keduanya. Namun, jika itu tujuannya, maka ancaman pada stabilitas keamanan dan konstelasi geopolitik Timur Tengah akan semakin carut marut, yang dapat berpengaruh pada konflik atau perang dalam skala yang lebih besar.

Paradoks Kekuatan Baru dan Kemelutnya

Bisa dikatakan tahun 2020 ini adalah babak baru konstelasi politik Timur Tengah, atau bisa juga kontinyuitas konstelasi politik Timur Tengah. Tapi yang patut dicermati, normalisasi Israel bukanlah hal baru. Fakta dan sejarah telah membuktikan, semua sepakat bahwa Israel adalah aktor antagonis kekuatan politik di Timur Tengah, yang beraliansi dengan Amerika Serikat sebagai manajer operasionalnya. Sementara negara sekutu Amerika di Kawasan adalah bidak caturnya. Sedangkan, lawan sekaligus korbannya adalah Palestina, negara tanpa dosa yang diperkosa kehormatannya.

Bukan hanya Palestina, tetapi beberapa negara, seperti Yaman, Libya, Tunisia, Iraq, Suriah dan lainnya telah menjadi korban ke-antagonisan Amerika-Israel dan sekutunya. Arab Spring tahun 2011 silam adalah salah satu monumen kemelutnya. Kekuatan-kekuatan pendukung kontra antagonis, seperti Iran, yang didukung oleh China dan Rusia tidak henti mengimbangi kekuatan dan mengecam setiap langkah politik Amerika-Israel yang merugikan di Kawasan. Kemelut Palestina adalah yang paling sensitif, karena menyoal kedaulatan sebuah negara dan harga diri bangsa Arab.

Geopolitik Timur Tengah memang sekompleks itu, tapi menyoal klaim kekuatan baru dengan bergabungnya UAE dan Bahrain dengan Israel terlalu tergesa-gesa. Terlebih dengan pernyataan Saudi, melalui Muhammad Bin Salman Al Saud (MBS), yang nampaknya tidak begitu tertarik membahas keikutsertaan UAE dan Bahrain. Karena menurutnya, UAE dan Bahrain adalah bagian kecil dari Saudi. Oleh karena, kunci dari munculnya kekuatan baru dalam normalisasi hubungan dengan Israel ini adalah keikutsertaan Saudi secara resmi, yang hingga hari ini masih ‘malu-malu’ melakukan tes reaksi publik.

Paradoks kekuatan baru ini memunculkan kemelut di Kawasan. Prediksi pecahnya perang Teluk kian menguat. Keadaan ini memancing Iran bergerak dengan langkah hati-hati. Iran sangat paham motif keikutsertaan Bahrain dalam normalisasi ini. Karena, selain tujuan Amerika dan Israel mendulang dukungan publik, juga diam-diam memperkuat geostrategi mereka di Kawasan, yang berkonsekuensi semakin terisolasi Palestina, juga Iran. Kemelut geopolitik dan geostrategi ini sudah terendus Iran. Mengingat, pangkalan baru militer Angkatan laut Amerika dan Inggris berada di teluk Persia, bagian teritori Bahrain. Pangkalan militer ini bertugas mengawasi gerak-gerik Iran dari dekat, yang dinilai sebagai ancaman terbesar Amerika dan Israel.

Dengan demikian kemelut normalisasi Israel yang sesungguhnya, kini hanya tinggal menunggu keputusan Saudi, dan penggalangan kekuatan Iran melawan hegemoni kuasa Amerika dan Israel. Kemelut konflik lokal mungkin akan bertambah intensitasnya, namun untuk perang terbuka, masih menunggu segala proses pasca normalisasi itu. Karena perang terbuka membutuhkan biaya yang tidak sedikit, serta pertimbangan kepentingan ekonomi dan politik di setiap negara Kawasan masih diperhitungkan keuntungannya. Normalisasi adalah simbol, kekuatan baru adalah paradoks dan kemelut Timur Tengah adalah fakta.

Reza Bakhtiar Ramadhan, Mahasiswa Doktoral Kajian Timur Tengah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru