26.7 C
Jakarta

Paradigma Membumihanguskan Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifParadigma Membumihanguskan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Perkembangan dunia global terkini dalam segala lini menciptakan jalinan keterbukaan arus informasi yang semakin tak mampu dibendung. Segala sumber arus informasi berhak dan mampu dikonsumsi oleh publik tanpa ada filtrasi yang menghambatnya. Terhadap radikalisme, misalnya.

Ditambah jalinan komunikasi antarmanusia yang sudah tidak lagi mengenal batas membuat distribusi informasi menjadi semakin cepat dan mudah diperoleh. Akibatnya, tidak hanya distribusi ide yang terbuka menyebar luas, penyakit lama berupa ide-ide yang bersifat menutup diri – konservatif – juga dengan mudah dikonsumsi, bahkan beberapa menjadikannya pilihan untuk diyakini.

Termasuk dalam lingkup peradaban Islam saat ini, isu-isu mengenai radikalisme yang berakar dari konservatisme pemikiran yang berujung pada tindakan-tindakan terorisme seakan tidak pernah lepas dari lembar-lembar sejarah peradaban Islam terkini. Modernisasi dan globalisasi yang seharusya menciptakan impuls keterbukaan berpikir bagi umat Muslim, nyatanya realitas faktual sejarah jauh panggang dari api. Konservatisme yang tumbuh dalam tempurung keterkungkungan, melahirkan firqah radikalisme yang semakin subur ditemui.

Berbagai peristiwa aksi terorisme sebagai produk radikaslime Islam di berbagai wilayah yang tak kunjung berhenti menjadi kesempatan untuk kita berpikir ulang, di titik mana kita mampu melawan dan memperbaikinya.

Karena konservatisme yang melahirkan radikalisme merupakan entitas pemikiran – paradigma, satu-satu jalan untuk membendung dan menekan perkembangannya, terlebih di generasi millenial Muslim, adalah dengan membangun entitas pemikiran yang bersifat anti-tesa. Sekaligus meramu paradigma anti-tesa tersebut menjadi wajah pemikiran yang menarik, dan sesuai dengan kontekstualisasi zaman dan sasaran – terlebih millenial Muslim.

Gus Dur dan Islam Subtansif-Inklusif

Salah satu tokoh Islam di Indonesia yang pemikirannya mampu kita jadikan sebagai fondasi mmbangun paradigma untuk menangkal dan melawan radikalisme adalah Gus Dur. Guru bangsa yang mempunyai nama lengkap KH. Abdurrahman Wahid, sekaligus pernah menjabat Presiden Republik Indonesia Ke-4 tersebut akrab dengan pemikiran Islam yang bersebrangan dengan radikalisme.

Bahkan di sepanjang perjalanan hidupnya, Gus Dur mampu dikatakan sebagai sosok yang paling rutin dan terdepan tampil melawan isu-isu radikalisme. Mulai di era dekade 70-an dan 80-an melalui kolom-kolom yang ditulisnya di berbagai media, sampai dekade 90-an sampai akhir hidupnya bergerilya turun ke masyarakat menyebarkan pemikiran Islam yang toleran, terbuka, dan sesuai dengan kondisi masyarakat – budaya.

Dari semesta besar pemikiran Gus Dur yang begitu luas, perasan yang dapat kita ambil dan dapat kita adopsi sebagai pijakan membangun paradigma adalah mengenai Islam yang substansif-inklusif. Artinya, berbasis nilai dan terbuka dengan lingkungannya.

Islam yang substansif mengartikan bahwa pandangan menafsirkan Islam beserta ajarannya berbasis pada nilai yang dikandungnya. Sifat substansif menghindari dari perilaku menafsirkan ajaran Islam hanya berbasis pada tekstual. Justru sebaliknya, melalui Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad Ulama, upaya menafirkan ajaran harus dibarengi dengan usaha menggali nilai kebaikan – kebermanfaatan – serta disesuaikan dengan konteks sosio-budaya yang ada.

BACA JUGA  Mengubur Egoisme Politik, Mewujudkan Indonesia Harmoni

Sehingga Islam sebagai sebuah agama, mampu dirasakan kebaikannya melalui nilai-nilai kandungan ajaran oleh siapa pun tanpa memandang latar belakang, dan tidak bertentangan dengan kondisi nilai-nilai sosio-budaya yang telah berkembang. Melalui sifat substansif pula, Islam mampu menjauhkan diri dari usaha sebagian Muslim yang berkeinginan membawa Islam ke titik legalisme.

Sedangkan, Islam yang inklusif dapat diartikan bahwa ajaran Islam terbuka bagi lingkungan beserta perkembangannya. Selain Islam mampu dipelajari dan diikuti oleh siapa pun secara terbuka, yang terpenting adalah keterbukaan ajaran Islam sendiri dengan pengatahuan atau ide-ide lain yang sedang berkembang di era modern.

Keterbukaan Islam menerima ide-ide lain untuk dijadikan pergulatan dalam merumuskan ajaran yang kontekstual membuat Islam secara nilai mampu bersandingan dengan kemajuan peradaban sekaligus menjawab problematika yang ada. Inklusifitas dalam Islam sangat diperlukan sebagai tawaran melawan keterkungkungan konservatisme yang melahirkan praktik-praktik radikalisme dalam Islam.

Keberadaan Islam yang subtansif-inklusif dapat dijadikan jawaban dalam isu radikalisme Islam. Yang oleh Gus Dur sendiri di bukunya Islamku Islam Anda Islam Kita, dua sebab suburmya radikalisme adaah kekecewaan sebagian Muslim atas ketertinggalan dan alienasi ummat, serta pendangkalan pemikiran dalam Islam sendiri.

Kita dan Paradigma

Melalui konsepsi paradigma Islam yang substansif-inklusif, tidak hanya selesai dengan merumuskan. Perlu adanya dorongan yang menjadikan kita adalah subjek, bukan hanya objek dalam problematika ini.

Salah satu yang populer dalam dunia gerakan adalah paradigma inside-out. Paradigma merupakan sebuah konsepsi di mana kita dituntut sebagai subjek yang aktif memberikan pengaruh kepada lingkungan sekitar. Bukanya responsif terhadap apa yang diberikan lingkungan. Semisal dalam hal informasi, kita tidak hanya menerima informasi, melalui paradigma ini kita dituntut memproduksi informasi untuk lingkungan.

Praktik aktif mempengaruhi lingkungan sangat dibutuhkan dalam membumikan Islam yang subtansif-inklusif di ruang publik. Melalui keaktifan mempengaruhi, setiap dari kita turut menyebarkan, mengenalkan, menumbukan kepercayaan Islam yang subtansif-inklusif adalah jawaban atas problematikan radikalisme yang sejauh ini menghantui.

Keberadaan paradigma ini dapat menunjang paradigma Islam yang substansif-inklusif tidak berhenti menjadi konsep yang ada dalam keyakinan tiap individu, melainkan menjadi konsep yang akan ditawarkan individu kepada lingkungan. Keterkaitan yang dibangun antara dua paradigma ini dapat menjadi salah satu jalan keluar bagi kita melawan radikalisme sekaligus membawa wajah Islam ke jalan rahmatan lil alamin bagi lingkungan di sekitarnya.

Muhammad Teguh Saputro
Muhammad Teguh Saputro
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penggerak literasi di Komunitas Lorong, Ciputat.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru