29.1 C
Jakarta

Pandemi, Krisis Ekonomi, dan Pesta Radikalisme

Artikel Trending

Milenial IslamPandemi, Krisis Ekonomi, dan Pesta Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menteri Keuangan Sri Mulyani mensinyalir skenario terburuk perekonomian RI akibat COVID-19, melalui video conference, Rabu (1/4) lalu. Menurutnya, kontraksi mungkin terjadi hingga 0,4 persen, dan tumbuh kisaran 2,3 persen. “Kami perkirakan pertumbuhan ekonomi akan turun ke 2,3 persen, bahkan skenario lebih buruk -0,4 persen,” ujarnya, dilansir Kompas.

Pada saat bersamaan, jumlah kasus terinfeksi COVID-19 semakin di luar kendali. Dilansir Detik, per Rabu (22/4) sore, total jumlah kasus positif sebanyak 7.418 dengan rincian 635 meninggal, dan 913 orang dinyatakan sembuh. Jumlah tersebut terus bertambah, belum ada tanda puncak pandemi. Kebijakan represif yang dilakukan pemerintah bak tidak banyak membantu.

Sebuah Kuliah WhatsApp digelar lembaga Human Initiative dengan tajuk “Corona dan Coin Kita: Sebuah Renungan Singkat Soal Masalah Keuangan Kita” pada Sabtu (18/4) kemarin. Ai Nur Bayinah, Direktur Eksekutif SIBER-C yang sekaligus Islamic Financial Planner, selaku narasumber mengatakan, guncangan ekonomi secara signifikan mungkin akan terasa pada bulan Ramadhan dan setelahnya.

Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP) juga menggelar Tarhib, pada Minggu (19/4), melalui aplikasi Zoom, yang justru tidak relevan. Abdul Aziz Abdur Rouf, Pimpinan Lembaga Al-Qur’an Al-Hikmah dan Markaz Al-Qur’an Jakarta memberikan keterangan yang kentara politis, perihal wabah penjajahan Palestina. Dalam kondisi seperti ini, ulasan demikian, sejujurnya, tak diperlukan.

Sinyal-sinyal krisis ekonomi, darurat COVID-19, dan menguatnya radikalisme adalah problem serius yang ada di hadapan kita sekarang. Kasus penembakan polisi di depan Bank Mandiri Syariah, Poso, Sulawesi Tengah, pada Rabu (15/4) lalu, cukup mengejutkan, menambah keresahan masyarakat. Perampokan juga terjadi di mana-mana. Apakah krisis ini belum juga menghardik kita?

Bulan Ramadhan sudah esok hari. Euforia bulan suci kali ini tidak segemerincing tahun-tahun sebelumnya. Pandemi menghilangkah ibadah sosial kita, dan krisis ekonomi memecah kekhusyukannya. Sementara itu, di tengah hiruk-pikuk kegelisahan, kaum radikal memanfaatkan keadaan, seperti tragedi penembakan polisi di Poso, menciptakan sinyal-sinyal kekacauan.

Sinyal-sinyal Chaos

Kekacauan (chaos) bisa terjadi sebab apa saja. Kesenjangan ekonomi, perbedaan politik, dan gesekan paham-paham keagamaan adalah pemicunya. Sayangnya, bangsa ini rasa-rasanya mengalami ketiganya, meski untuk dikatakan chaos, mungkin beberapa orang tidak akan terima. Padahal jelas, sinyalnya terang sekali dalam pandangan kita.

Pandemi adalah malapetaka, tanpa penanganan yang laik. Krisis ekonomi dapat menghalalkan segala cara, temasuk bergabung ke paham radikal, melancarkan aksi terorisme. Bisa jadi, radikalisme merasa ada panggung, di tengah musibah bertubi ini. Bukan perkara sulit untuk mendoktrin mereka semaunya, kalaulah cobaan pangan dijadikan umpan.

BACA JUGA  Begini Penjelasan Jihad Menurut Syariat Islam

Pandemi, jika demikian, bukan musibah biasa, melainkan musibah kemanusiaan. Krisis ekonomi di tengah masyarakat adalah preseden terburuk. Sementara pada saat yang bersamaan, radikalisme sedang naik daun, untuk mengkritik penguasa, mendelegitimasi mereka, serta menghilangkan mereka dari kepercayaan rakyatanya.

Tentu chaos di sini tidak harus ditandai maraknya penjarahan. Tidak ada yang bisa membayangkan jika kekacauannya sudah separah itu. Tolok ukur chaos bukanlah merebaknya darah-darah perkelahian, melainkan hilangnya keamanan di tengah keramaian. Krisis ekonomi bisa jadi pemicu paling aktif, paham radikallah yang memantik api, bermain dengan mindset masyarakat.

Karena itu, edukasi menjadi sesuatu yang mendesak dilakukan. Terhadap pandemi, rangkulan solidaritas untuk meminimalisir krisis ekonomi menjadi tugas kolektif bagi siapa pun yang berkecukupan. Sementara terhadap narasi radikal, atau bahkan tindakan teror sekalipun, banyak hal perlu dilakukan. Pesta mereka di tengah pandemi dan krisis ekonomi tidak dapat dibiarkan.

Radikalisme dalam Krisis Ekonomi

Narasi radikalisme sudah menjadi bencana langganan, yang menunggangi peristiwa apa pun di negeri ini. Tiada suatu kasus pun, kecuali orang-orang radikal menunggu momen yang pas melakukan indoktrinasi. Menjelekkan mereka, mengabaikan imbauannya, memprovokasi pemerintah dengan rakyat juga bagian dari proyek itu.

Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah self-protection, membentengi diri dari hasutan mereka. Mudah sekali menebak alur narasi mereka. Entah dengan mengatakan bulan Ramadhan kali ini tak sempurna lantaran azab Tuhan bernama Corona, atau menganggap kebijakan pemerintah mengganggu kualitas penghambaan kita pada-Nya.

Yang cukup menghentak pikiran kita adalah, narasi radikalisme ini terjadi di tengah krisis ekonomi. Dalam konteks tertentu, itu bisa jadi musibah di atas musibah. Para kaum radikal berpesta dalam keresahan masyarakat, semisal menggaungkan khilafah di tengah kebingungan pemerintah mencari kebijakan yang pas dalam memerangi Corona.

Pandemi, krisis ekonomi,dan pesta radikalisme adalah jalin-jemalin suguhan untuk kita di pintu gerbang menuju Ramadhan. Besok, di bulan penuh berkah, yang harus ditingkatkan adalah kesabaran. Baik pandemi maupun krisis ekonomi, adalah tragedi alamiah, tidak dibuat-buat, dan merupakan sebab-akibat.

Tetapi radikalisme tidak alami, ia dibuat oleh oknum berkepentingan. Tindakan radikal dalam hal apa pun, perlu dibreidel. Membiarkan mereka menggerogoti musibah di tengah kita, menjadikan momen mencari korban indoktrinasi, bukan ide bagus. Harus ada pencegahan terhadap aksi mereka—pesta mereka. Tentu butuh waktu yang lama dan melelahkan. Tetapi terhadap putus asa, katakan jangan.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru