25.7 C
Jakarta

Pandangan Kemanusiaan Nabi Ibrahim AS

Artikel Trending

KhazanahResonansiPandangan Kemanusiaan Nabi Ibrahim AS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam sejarah agama, setiap agama Ibrahimi sepeti Yahudi, Kristen hingga Islam mengenal dengan baik kisah Nabi Ibrahim as. Pada hakikatnya proses pencarian Nabi Ibrahim terhadap Tuhan adalah proses yang dilakukan dengan jalan pengerahan kemampuan akal (al-hikmah) dalam menganalisa fenomena-fenomena yang terjadi di alam sekitarnya serta kekuatan hati yang suci (qalb salîm) yang tidak terburu-buru mengambil sikap arogan terhadap setiap kesimpulan empiris.

Nabi Ibrahim as. memulai perenungannya dengan melihat kepada hakikat dirinya sebagai manusia yang memiliki potensi yang lebih dari mahluk lainnya. Manusia tidak seperti lebah yang dalam struktur sosialnya telah diciptakan berkasta-kasta sejak lahir dan sampai ahir hanyatnya akan tetap berada dalam ruang kasta tersebut.

Dia menolak sebuah sistem yang membuat manusia dikerdilkan dan dikebiri serta membuat manusia tidak dapat mengaktualisasikan potensinya sebagai manusia yang bebas. Karena itu dalam perenungannya terhadap hakikat manusia, terkandung pula semangat pembebasan dari tirani yang membelenggu masyarakatnya pada waktu itu. Nabi Ibrahim menawarkan sebuah solusi pemahaman yang disebut dengan Tauhid.

Tauhid adalah sebuah pemahaman di mana manusia tidak tunduk pada simbol-simbol yang membelenggu, sebuah jalan kebenaran tanpa harus membenarkan salah satu dari yang lainnya, sebuah jalan cinta yang akan mengikat manusia menuju keharmonisan hidup, karena itu pemahaman Nabi Ibrahim as. ini disebut juga pemahaman ḥanif yang berarti pemaham yang lurus lagi condong kepada kebenaran sejati.

Ia dengan tegas menentang sebuah pemahaman kebenaran yang dibatasi dalam simbol-simbol yang mati (berhala) yang membuat manusia menjadi saling mengkafirkan karena tidak mau melihat kebenaran dari orang di luar golongannya, dan pada ahirnya saling melaknat serta berperang satu sama lain. Sifat ini adalah sifat kekanak-kanakan yang akan menjerumuskan manusia dalam sebuah keadaan yang penuh dengan penderitaan (Neraka) dan tidak ada satu pun penolong manusia tersebut selain dirinya sendiri yang mau untuk bangkit dan membebaskan diri dari berhala-berhala yang memperbudaknya. Dan berkata Ibrahim: “Sesungguhnya apa yang kamu pilih selain Allah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia.  Kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela’nat sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun (Q.S. Al-‘Ankabut [29]: 25).

Nabi Ibrahim dan Ritual Kamanusiaan

Islam sebagai agama yang bersumber dari warisan tradisi agama Nabi Ibrahim as., pastinya memiliki pandangan tauhid yang sama. Tradisi pemikiran yang telah dikembangkan oleh Nabi Ibrahim as. ini telah dijaga oleh keturunannya sejak putranya  yaitu Nabi Isma’il as. di Jazirah Arab selama berabad-abad. Namun dalam perkembangan selanjutnya landasan tauhid dilupakan oleh masyarakat Arab, untuk memuaskan hasrat spiritualitasnya mereka membuat sebuah simbol-simbol keagamaan yaitu berhala-berhala.

Pada hakikatnya berhala-berhala  yang muncul tersebut tidak semata-mata sebagai sesembahan manusia, namun lebih kepada sebuah tindakan manusia yang menganggap Tuhan sebagai pemuas hasrat kemanusiaanya. Ketika mereka meminta hal-hal yang bersifat materi kepada Tuhan mereka tahu bahwa universalitas Tuhan yang mencintai seluruh mahluk-Nya harus dikerdilkan sehingga Tuhan hanya mencintai dirinya sendiri dan seolah mereka berkata, “Tuhan, Engkau harus mengabulkan segala permintaanku, aku tidak perduli dengan orang lain selain diriku.”

Melihat kondisi tersebut Nabi Muhammad saw mencoba mengembalikan pemkiran tauhid kepada masyarakat Arab terutama masyarakat Quraisy. Namun pemkiran Nabi Muhammad saw yang mengembalikan konsep universalitas kasih sayang Tuhan kepada manusia ditolak oleh sebagian besar masyarakatnya. Mereka enggan disejajarkan kedudukannya dengan para budak, perempuan, dan fakir miskin, karena itu walaupun mereka mengetahui dan mengakui bahwa yang menyampaikan ajakan tersebut adalah Nabi Muhammad saw yang oleh mereka sendiri diberi gelar “Al Amin” yang berarti orang yang paling dapat dipercaya.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Dapat kita dipahami bahwa berbagai macam kepentingan dan pemikiran manusia terhadap materi akan mengubah cara pandang manusia terhadap agama dan realita sosial. Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk meminta perlindungan kepada Allah dari perpecahan, kemunafikan dan akhlak yang jelek yang disebabkan oleh rasa cinta yang berlebihan terhadap materi atau dunia. Doa tersebut adalah: Allâhumma innī a’udhubika min al-shiqâq wa sū’ al-akhlâq – “Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari perpecahan dan kemunafikan serta akhlak yang jelek .”    (H.R. Abu Daud)

Doa tersebut diharapkan agar setiap manusia berusaha untuk menjadi seorang mukmin yang kamil atau paripurna, sebagaimana sabda Rasulullah saw.Akmal al-mu’minīn īmânan aḥsan al-khuluq – “Keparipurnaan iman seorang mukmin terletak pada keluhuran akhlaknya.” (H.R. Abu Daud)

Islam Paripurna

Dalam bahasa Arab terdapat kata dapat diartikan sebagai sempurna dalam Bahasa Indonesia, diantaranya adalah: kâmil, adalah kesempurnaan yang biasanya digunakan dalam bentuk kesempurnaan dari segi nilai-nilai spiritual; tamma, adalah kesempurnaan yang biasanya berhubungan dengan hitungan atau pemenuhan dalam kadar tertentu, dari kata ini juga terambil kata yatim, yang berarti anak-anak yang berhak untuk dipenuhi kebutuhannya oleh umat Islam, dikarenakan orang tuanya tidak dapat memenuhi kebutuhan anak itu secara maksimal; baligh, yang biasanya dipahami sebagai kesempurnaan dalam artian psikologis, dimana seorang manusia yang sudah dapat menggunakan akal pikirannya secara sempurna disebut dengan baligh; aufā , adalah kesempurnaan yang diperoleh dari proses usaha atau perjuangan; shālih, adalah kesempurnaan yang biasanya melekat dalam hal agama; fadhala, adalah kesempurnaan yang nampak setelah proses pembandingan dengan yang lain, atau biasa diartikan dengan lebih utama ; dan hasya, adalah kesempurnaan  yang biasanya disangkutkan dengan kemaha sempurnaan Allah swt.

Dari pemaparan tersebut dapat dikatakan bahwa seorang mukmin kamil adalah seseorang yang beriman kepada Allah swt dengan kesempurnaan yang tinggi, murni dari pemfokusan kepada hal-hal yang bersifat materi. Dari mukmin kamil ini pada ahirnya bermuara pada insan kamil yang dapat diambil kesimpulan sebagai manusia yang dapat memaksimalkan potensi kemanusiaannya agar dapat menyentuh derajat spiritual yang tinggi dengan mewujudkannya dalam akhlak sehari-harinya.

Demikianlah manusia yang sempurna menurut ajaran Nabi Ibrahim as. adalah manusia yang tidak tunduk pada simbol-simbol yang membelenggu, ia menempuh jalan cinta yang akan mengikat manusia menuju keharmonisan hidup, ia memiliki pemahaman hanif yaitu pemaham yang lurus lagi condong kepada kebenaran sejati.

Keterbelengguan manusia membuat dirinya tidak seutuhnya menunjukan potensi kemansuiaannya kepada sesamanya maupun kepada seluruh ciptaan Yang Maha Kuasa. Karenanya para penyembah thagut tersebut adalah orang-orang yang sesat. Perihal ketersesatan manusia dalam masyarakat Nabi Ibrahim as., atau bahkan dalam masyarakat kita saat ini, maka secara garis besar terdapat dua golongan manusia yang termasuk dalam kategori golongan yang sesat. Demikianlah semoga dengan mengambil hikmah dari Nabi Ibrahim as ini dapat memberikan pengaruh positif dalam segala aspek kehidupan kita.

Frenky Mubarok, Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Pangeran Dharma Kusuma Segeran Indramayu.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru