32.4 C
Jakarta
Array

Pancasila Sebagai Kiblat Kebangsaan

Artikel Trending

Pancasila Sebagai Kiblat Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bagi Republik Indonesia, Pancasila merupakan konsensus, kesepakatan para pendiri agar menjadi pandangan hidup kebangsaan, dalam hidup bernegara. Pancasila merupakan falsafah dengan nilai-nilai luhur yang harus dihayati. Juga dijadikan pedoman oleh seluruh warga negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Penghayatan yang mendalam atas seluruh nilai-nilai dasar Pancasila akan memperkuat identitas, jati diri, dan karakter masyarakat Indonesia yang berkepribadian Pancasila. Dari seluruh penghayatan itu, maka Pancasila merupakan kiblat dalam ibadah kebangsaan. Kiblat seperti pada umumnya merupakan arah di mana kita menghadap dan menuju, maka Pancasila menjadi arah ke mana bangsa dan negara ini menghadapkan dirinya. Ke mana orientasi negara, tercermin dari Pancasila itu sendiri.

Sungguhpun demikian, nilai-nilai Pancasila sudah lama mengakar dalam sejarah Nusantara, meski wujud dan istilahnya baru muncul pada 1 Juni 1945. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Ir Soekarno dalam pidatonya pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ir Soekarno mengusulkan lima hal yang diberi nama Pancasila, yang merupakan warisan dari keluhuran nilai peradaban Nusantara.

Pancasila tidak hanya sebagai dasar atau falsafah Negara (philosophische grondslag), melainkan juga pandangan hidup (Weltanschauung). Di samping sebagai ideologi, perekat segenap elemen bangsa, haluan serta tuntunan  ke mana bangsa Indonesia menentukan nasib masa depannya. Pancasila ini diprakarsai Bung Karno dari berbagai kearifan suku-bangsa, agama dan aliran kepercayaan yang telah berurat-berakar dalam sanubari bangsa.

Kiblat Ibadah Kebangsaan

Sebagai kiblat, Pancasila mencerminkan nilai dan pandangan paling prinsipil rakyat Indonesia, dalam hubungannya dengan Tuhan Maha Pencipta. Asas ketuhanan ini sebagai asas fundamental kenegaraan, negara yang berdasar pada Ketuhanan yang Maha Esa. Nilai ini mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang religius dan atau teisme religius. Demikian pula untuk sila-sila yang lain, yang merupakan satu bagian tak terpisahkan antarsila yang mencerminkan kekeluargaan, cinta sesama, dan cinta keadilan sosial.

Indonesia ditakdirkan menjadi negara yang kaya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, suku, bahasa, agama, etnis, serta budaya. Dari seluruh kekayaan pluralitas, Indonesia memiliki Pancasila sebagai kiblat yang mempersatukan seluruh elemen. Seperti dalam hukum dasar matematika, bilangan-bilangan pecahan tidak mungkin bisa dijumlahkan, jika bilangan penyebutnya berbeda. Penyebut itu bernama Pancasila.

Pancasila sebagai kiblat dalam ibadah kebangsaan kita mesti diaktualisasikan secara objektif sekaligus subjektif. Seluruh gerak dan sendi kehidupan kebangsaan harus mengarah pada satu kiblat yang sama, yakni Pancasila.

Namun disadari bersama dalam mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila, sangat mungkin ditemukan adanya masalah. Misalnya, berkaitan dengan hidup kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Solusi terbaik untuk mengatasi persoalan kebangsaan adalah dengan kembali pada nilai Pancasila itu sendiri. Bagaimanapun, keragaman adalah keniscayaan. Sebagai konsekuensi, kita harus berdamai bersama perbedaan yang ada.

Pancasila sebagai kiblat bersama tidak cukup hanya dipelajari, tetapi harus diresapi, dihayati, dan dipahami secara mendalam. Pancasila adalah dasar persatuan dan haluan kemajuan-kebahagiaan bangsa. Selama kita belum bisa membumikan nilai Pancasila dalam kehidupan nyata, selama itu pula Indonesia tidak dapat meraih kemajuan-kebahagiaan yang diharapkan.

Dalam membangkitkan semangat itu, diperlukan kepemimpinan yang dapat memulihkan kembali kepercayaan warga pada diri dan sesamanya. Kekuasaan digunakan untuk menguatkan solidaritas nasional dengan memberi inspirasi kepada warga negara untuk mencapai kemuliaanaya dengan membuka diri penuh cinta pada yang lain. Warga menyadari pentingnya keterlibatan dalam kehidupan publik untuk bergotong-royong merealisasikan kebajikan bersama.

Setiap pandangan hidup atau ideologi yang ingin memengaruhi kehidupan secara efektif, tak bisa diindoktrinasikan sebatas upacara, melainkan perlu mengalami apa yang disebut Kuntowijoyo sebagai proses “pengakaran” (radikalisasi). Proses radikalisasi ini melibatkan tiga dimensi ideologis: keyakinan (mitos), penalaran (logos), dan kejuangan (etos).

Pancasila dan Khilafah

Ide Hizbut Tahrir Indonesia tentang penerapan Khilafah Islamiyah sebagai sistem pemerintahan ingin membawa kita pada gerakan formalisasi syariat Islam, gagasan usang dan sudah tidak laku diberbagai negara diseluruh belahan dunia. Indonesia sudah memiliki Pancasila sebagai kiblat dalam berbangsa dan bernegara bukan khilafah atau lainnya.

Perdebatan soal Pancasila dan khilafah mungkin tidak akan berkesudahan secara teoritik, tapi dalam praktik para pendiri bangsa sudah bersepakat menjadikan Pancasila sebagai kiblat dalam ibadah kebangsaan. Tidak ada ruang kosong bagi ideologi lain selain Pancasila untuk menjadi kiblat dan penuntun bagi bangsa Indonesia, Pancasila adalah jawaban tuhan atas segala doa agar Indonesia tetap hidup “selama-lamanya”.

Keputusan pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia secara organisasi merupakan keputusan tepat dan patut disyukuri bersama, tapi perlu diwaspadai bahwa gerakan khilafah masih terus melangkah diakar rumput. Gerakan untuk membuat Indonesia menjadi negara khilafah belum mati dan masih menjadi racun dalam kehidupan kebangsaan yang harus disegera diobati.

Pada akhirnya seluruh lapisan, setiap individu tanpa harus bertanya siapa dan darimana harus sama-sama berikhtiar untuk menjaga dan merawat Indonesia, semuanya dimulai dengan tetap bepegang teguh dan menjadikan Pancasila sebagai kiblat dalam Ibadah Kebangsaan kita.

 

Bahrur Rosi, Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru