31 C
Jakarta

Pancasila Sebagai Esensi Moderasi Beragama

Artikel Trending

Milenial IslamPancasila Sebagai Esensi Moderasi Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada momen kemerdekaan Indonesia yang ke-75, usia yang tentu tidak lagi muda, dan melalui perjuangan berdarah-darah, salah satu problem serius yang tidak kunjung usai, barangkali hanya satu: Pancasila. Setiap tahun upacara kemerdekaan digelar, tetapi yang berkaitan dengan hubungan Pancasila dan agama seringkali mengalami gesekan. Moderasi keberagamaan, merekatkan keberagaman serta aktualisasi Pancasila kemudian menjadi sesuatu yang urgen, demi merayakan kemerdekaan itu sendiri.

The Central for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR) menggelar webinar dengan tajuk “Meneguhkan Pancasila, Moderasi Beragama dan Bhinneka Tunggal Ika” pada Rabu (19/8) lalu. Dua keynote speakers dan enam pemateri lintas agama dihadirkan, dalam diskusi daring tersebut. Dipandu oleh Aulia Ning Ma’rifati, diskusi berlangsung dua jam lebih. Prof Yudian Wahyudi, Ketua BPIP, dan Lestari Moerdijat, Wakil Ketua MPR RI, berperan sebagai pemantik diskusi.

Hari-hari ini diskusi peneguhan Pancasila memang masif dilakukan. Ini merupakan kabar baik yang harus dipertahankan, sebab pada saat bersamaan, narasi-narasi pemecah-belah bangsa tidak kalah agresif. Hari ini merupakan hari, di mana film besutan HTI, Jejak Khilafah di Nusantara, perdana ditayangkan. Film dokumenter tersebut sangatlah cukup untuk membuktikan, gerakan perongrong NKRI masih marak. Alih-alih bubar, mereka justru semakin berani memprovokasi umat demi agenda khilafahnya.

Mengobarkan semangat kekhilafahan saat momentum kemerdekaan merupakan penghinaan terhadap demokrasi. Sebab, sekalipun demokrasi mengakomodasi kebebasan, kebebasan yang mencederai kemerdekaan merupakan suatu yang terlarang. Satu sisi, kita bisa memandang ini sebagai tergerusnya nilai Pancasila di masyarakat. Pada sisi yang lainnya, kita bisa melihat ini sebagai semangat keberislaman yang nir-kontekstual. Padahal, Pancasila merupakan esensi, pengejawantahan keberagamaan yang moderat.

Pancasila memang tidak akan lengser hanya karena aspirasi-aspirasi minoritas. Sejak merdeka, dan sejak Pancasila ditetapkan menjadi ideologi bangsa, cobaan-cobaan sudah terjadi. Tetapi, apakah dengan itu kita akan membiarkan mereka, siapapun, menggerus nilai-nilainya?

Daya Tahan Pancasila

Tulisan ini hendak bertolak dari pemantikan Prof Yudian bahwa ada satu fakta yang bisa jadi belum banyak menyadari, yaitu ketahanan Pancasila. Tragedi-tragedi berdarah sudah dilalui, tetapi Pancasila tetap mampu menyatukan bangsa yang berbeda ras, suku, hingga agamanya. Juga bahwa, selaras dengan yang dilakukan Nabi. “Saya ingin mengatakan bahwa Negara Indonesia di bawah Soekarno-Hatta menjadi yang mampu meneladani pencapaian politik tertinggi Nabi Muhammad,” terang Yudian.

Ketahanan tersebut, kalau ditelisik, tidak lepas dari universalitas Pancasila itu sendiri. Ia memuat konsensus beragama, kalimatun sawa’, yang itu juga berarti jalan tengah keberagamaan. Oleh karena moderasi beragama dimuat kelima sila yang ada, maka otomatis Pancasila merupakan personifikasi kitab: antara kitab teologis dengan kitab konstitusional. Hukum positif lantas menjadi landasan, yang mengedepankan sikap egaliter—mengakomodasi kebenaran yang majemuk.

Moderasi Islam merupakan esensi Al-Qur’an, dan Pancasila merupakan salah satu pengejawantahan Islam yang moderat: berfondasikan keadilan, kesetaraan, dan hak asasi. Kesinambungan ini menyokong satu perspektif penting untuk menampilkan moderasi beragama. Ia merupakan konsep universal Islam, yang kokoh, lalu kita bisa meniliknya bahwa ketahanan Pancasila hingga hari ini lantaran ia tidak mendominasi suatu identitas pun. Ia berada di tengah, di antara doktrin-doktrin keagamaan.

BACA JUGA  One Ummah: Doktrin Neo-HTI yang Menyalahi Al-Qur’an

Ketika mengetahui keselarasan yang ada, maka memasifkan moderasi beragama setali tiga uang dengan menjaga eksistensi Pancasila. Dalam konteks ini, yang bertanggung jawab atasnya tidak hanya agama tertentu, melainkan oleh seluruh tokoh agama-agama. Jiwa nasionalis tidak bisa lagi dikotakkan dengan agamis, sebab sikap agamis yang lurus dan benar akan senantiasa berkomitmen terhadap Pancasila.

Itulah yang disebut dengan konsensus. Bahwa dalam mengamalkan moderasi beragama, kesepakatan bersama mesti dibuat. Kita sudah membuat konsensus yang telah melahirkan sikap-sikap moderat, yaitu Pancasila. Lalu, kenapa di antara rakyat masih ada yang berniat mengutak-atiknya?

Tidak Ada Moderasi Tanpa Konsensus

Kita, kata Prof Azyumardi Azra, tidak puny alternatif ideologi dasar Negara selain pancasila. Menurutnya, Pancasila merupakan ‘the conventional basic of Indonesian state’, dasar Negara yang tidak ada hubungannya dengan agama. Tentu pernyataan Azra tidak bisa dipahami secara harfiah, bahwa Pancasila tidak memiliki relasi apa pun dengan agama. Maksudnya ialah, ia tidak mendominasi keberagamaan tertentu, melainkan memuat semua nilai positif yang ada dalam agama-agama.

Karena itu Azra kemudian melepaskan ketergantungan Pancasila dengan agama, karena nilai-nilai semua agama sudah dimuatnya. Jika tidak, maka klaim oleh agama tertentu pasti tidak terhindarkan, dan Pancasila dipahami dalam arti yang tidak semestinya. Ibarat pohon besar yang menaungi segala yang berada di bawahnya, ia tidak menonjolkan ‘satu identitas’ tertentu, dan identitas besarnya tetaplah ‘pohon’. Pohon itulah Pancasila.

Ketika Pancasila hendak dirumuskan, dan setiap tokoh agama memberikan usul, maka di situlah konsensus tengah berlangsung. Dalam konsensus, tentu tolok ukurnya ialah keadilan bersama, tidak merugikan satu pun dari para pemberi usul. Moderasi beragama juga demikian. Jalan tengah selalu menyediakan ruang kepada pihak atau pendapat yang berbeda. Adalah mustahil moderasi itu lahir, sementara kesenjangan, otoritarianisme, hingga ketidakadilan bercokol di dalamnya.

Tugas kita adalah mengkonsolidasi agama dengan Pancasila, tidak lagi mempertentangkannya, dalam tafsiran seakademis apa pun. Semua tokoh agama memiliki bagian untuk merealisasikan ini, dan persatuan—yang merupakan konsep moderasi—menjadi kunci penjagaan Pancasila. BPIP memang mengemban tugas untuk melakukan konsolidasi tersebut, tetapi keterlibatan seluruh elemen masyarakat dan tokoh keagamaan menjadi sesuatu yang sangat niscaya.

Mengaktualisasikan Pancasila, tugas lainnya, ditujukan untuk mengukuhkan korelasi moderasi beragama dengan Pancasila, bahwa Pancasila adalah wujud lain dari beragama secara moderat. Masyarakat harus disadarkan akan hal ini, agar mereka tidak terjerumus terhadap doktrin agamaisasi politik yang hari-hari tengah marah terjadi. Usaha mempermasalahkan moderasi beragama oleh sementara kalangan, tidak lain adalah wujud dari deideologisasi Pancasila, yang berujung kepada usaha merobohkan negara.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru