30 C
Jakarta

Pancasila dan Komunis yang Teriak Anti-Komunisme

Artikel Trending

Milenial IslamPancasila dan Komunis yang Teriak Anti-Komunisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pro-kontra RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), yang diusulkan oleh DPR, hingga kini, terus bergulir. Fadli Zon ber-tweetwar dengan Mahfud MD. Beberapa komunitas menggelar FGD, berkesimpulan bahwa isi RUU tersebut mengandung anasir komunisme, kapitalisme, dalam pemerintah yang oligarki. Siapa yang beruntung dari polemik ini? Tentu para penafsu khilafah.

Demikian, karena sejak polemik ini mengemuka, kajian-kajian di kalangan aktivis khilafah juga banyak mendarat. Parahnya, kajian mereka mengundang seorang tokoh yang seideologi, atau pernah mengemukakan sesuatu yang seirama ideologinya. Masih ingat polemik Din Syamsuddin tentang pemakzulan presiden beberapa hari lalu? Profesor Din pun, berlatar polemik itu, jadi laku pada aktivis khilafah.

Pada Sabtu (6/6) lalu, Front TV, stasiun televisi milik FPI, bersama Pusat Kajian dan Analis Data (PKAD), menggelar FGD daring dengan tajuk “Ancaman Kebangkitan Komunisme & Arogansi Oligarki di Balik RUU Haluan Ideologi Pancasila”. Din Syamsuddin menjadi keynote speaker, dan sepuluh orang lainnya jadi pemateri, termasuk Suteki, Ismail Yusanto, hingga Sugi Nur.

Siapa kesepuluh pemateri yang ikut FGD tersebut? Akan saya garis tebal: mereka para penentang pemerintah sekaligus dedengkot khilafah. Hari selanjutnya, Minggu (7/6), Suteki dan Ismail Yusanto kembali jadi pembicara diskusi daring bertajuk “Komunisme Bahaya Laten, Kapitalisme Bahaya Nyata, Islam Harapan Kita” yang digelar oleh Forum Kajian Islam Madura (FORKISMA).

Kajian-kajian atau diskusi daring yang ada, lebih masif bergerak ke arah makar dan pemberontakan, membuat pemerintah tidak lagi dipercaya rakyat. Dalam tulisan sebelumnya, Ulama, Komunisme, dan Jungkirisasi Pemerintah, sudah diulas bagaimana perang politik membuat keadaan semakin semrawut. Semua untuk satu tujuan penegakan khilafah: menjungkir-balikkan pemerintah.

Memang, Selasa (9/6) lalu, Yayasan Gema Salam menggelar webinar bertajuk “Perdamaian di Masa Pandemi”. Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) juga menggelar diskusi daring “Dinamika Reintegrasi Mantan Napiter dan Deportan di Indonesia” pada Kamis (11/6) siang. Tetapi siapa bisa menjamin itu menandingi masifnya kajian para aktivis khilafah? Tidak ada. Kaum radikal adalah juaranya.

Radikalis lagi Komunis

Mereka yang berteriak maling, bisa jadi, sekali lagi bisa jadi, adalah maling itu sendiri. Begitulah taktiknya. Untuk mengelabuhi siapa pun, atau melindungi diri sendiri dari konsekuensi perbuatan yang sejujurnya fakta, maka kita harus mencaci fakta itu sendiri. Gunanya biar tidak ada yang menyangka, bahwa sejujurnya, kita yang berteriak, kita yang mencaci, adalah pelaku sebenarnya.

Kajian-kajian di atas, yang dinarasumberi oleh Ismail Yusanto misalnya, atau Sugi Nur bahkan, bukankah mudah membaca kemana arah kajiannya? Pasti menjelekkan pemerintah. Bahkan seandainya pun pemerintah melakukan sesuatu yang positif, mereka akan diam, atau memelintirnya menjadi tuduhan negatif. Mereka, lisannya, mengklaim berpegang terhadap Pancasila, tetapi sejatinya, ingin memorak-perandakannya.

BACA JUGA  Mengakhiri Propaganda Ajaran Radikal di Medsos

Agar tidak ketahuan bahwa sebenarnya ingin menghancurkan Pancasila, mereka sok membelanya, lalu menuduh pemerintah menyalahinya. Melalui Pancasila, mereka masuk ke dalam pikiran masyarakat awam, menjadi pahlawan. Islam, adalah senjatanya. Sekalipun Sugi Nur suka misuh dan nir-etis, rakyat mengira mereka penolong agama Islam dan negara. Heroik, bukan?

RUU HIP dipelintir sedemikian rupa. ‘Komunisme’ adalah tuduhan mereka terhadap sistem kenegaraan, sementara ‘kapitalisme’ adalah tuduhan mereka terhadap sistem perekonomian. Sementara ‘oligarki’ mereka layangkan kepada pemerintah. Siapa pun di bangku kepemerintahan, mereka anggap elit politik oligarki yang mesti dimusnahkan. Lalu siapa mereka sebenarnya?

Kalau diingat tulisan sebelumnya, saya sudah menyampaikan, komunisme dan radikalisme berada di dua sisi ujung tombak. Sama-sama bahaya untuk Indonesia. Mereka saling tuduh menuduh perihal eksistensi. Padahal, para kaum radikal dedengkot khilafah itu dalam tata kelolanya juga berhaluan komunis dan oligarki. Seperti itu sistem yang mereka berusaha tegakkan, seakan Islami padahal sangat bertentangan dengan ideal-moral Islam.

Terhadap para orang-orang radikal yang ternyata juga komunis tersebut, apakah kita akan memasrahkan segala persoalan negara, dengan mengundang diskusi, misalnya? Mereka komunis yang berteriak anti-komunisme, bak maling teriak maling.

Kajian mereka akan terus berseliweran memprovokasi rakyat tentang ketidakbenaran pemerintah. Mereka akan terus menggonggong anti komunisme-kapitalisme, tetapi mempraktikannya. Masabodoh kemudian menjadi sikap yang tepat.

Bersikap Masabodoh

Bukan berarti sikap ini apatis terhadap kebenaran para kaum radikalis. Bukan juga sikap ini lahir dari taklid terhadap segala kebijakan pemerintah. Tidak. Tetapi perlu dipahami, kebenaran para pembenci adalah kesalahan yang dimanipulasi. Dan kritik atas pemerintah harus dilandasi persepsi positif yang absen dari premis kebencian apa pun.

Sekalipun di bulan Ramadhan kemarin, secara penuh para aktivis khilafah menggelar kajian, kajiannya murni politik yang diislam-islamkan. Demi agendanya, term kapitalisme dan komunisme seringkali disinggung, dijadikan senjata untuk memerangi pemerintah. Meski mereka adalah komunis sebenarnya, karena orientasi sistem pemerintahan yang diperjuangkannya.

Masih ada habib, ulama, dan cendekiawan lainnya untuk dijadikan panutan, daripada menjadikan para jubir HTI dan organisasi radikal lainnya sebagai solusi persoalan-persoalan negara. Mereka yang masif berdakwah di YouTube tidak selalu merepresentasikan kealiman atau kapasitas keilmuan, melainkan besarnya agenda yang ingin ditegakkan. Mereka mentok dengan khilafah, apa pun caranya harus ditempuh untuk menegakkannya.

Sudah final pembicaraan mengenai Pancasila, apalagi haluannya. Di hadapan kita adalah para pemelintir kebenaran, untuk memojokkan kebenaran itu sendiri. Di hadapan kita adalah musuh sebenarnya, yang mengaku sebagai pahlawan. Di depan hidung kita, sekelompok komunis sejati tengah berteriak anti-komunisme. Tentu mereka tidak akan mengaku dan akan menepis segalanya. Intinya, kepada dakwah mereka, kepada provokasi mereka, satu kata: masabodoh.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru