27.7 C
Jakarta

Pancasila dan Bela Palestina: Menangkal Propaganda Khilafah di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPancasila dan Bela Palestina: Menangkal Propaganda Khilafah di Indonesia
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kamis dini hari (29/5), Israel menyerang kamp pengungsian di Rafah yang membuat kondisi seluruhnya kacau dan menciptakan kengerian. Serangan tersebut membakar tenda-tenda pengungsi Palestina, menghasilkan lautan api, membuat banyak orang terbakar dan tewas, sekaligus memperlambat jalannya kendaraan darurat untuk segera mengevakuasi korban-korban lain yang ada.

Dikutip dalam The Guardian, Zuhair, seorang pengacara, melihat sendiri situasi mengerikan yang terjadi, dengan mayat terkapar di mana-mana, anak-anak terbakar, dan beberapa korban yang terluka berlarian kesakitan. “Saya melihat mayat di mana-mana. Anak-anak terbakar. Saya melihat kepala tanpa tubuh, yang terluka berlarian kesakitan, beberapa masih hidup tetapi terjebak di dalam tenda yang terbakar,” katanya.

Serangan tersebut terjadi tanpa peringatan, dan tidak ada bantuan yang datang dalam beberapa menit. Kondisi yang sangat menyeramkan, dengan kerusakan yang luas dan banyak korban berjatuhan. Sebuah serangan yang telah menyayat hati nurani masyarakat dunia. Kampanye gambar “All Eyes on Rafah” yang viral di berbagai media sosial, betapapun dengan kritik dan kontroversinya, menunjukkan betapa kengerian yang dialami oleh warga Palestina di Rafah.

Sudah barang tentu, kemanusiaan kita akan tergerak ketika melihat kesedihan mendalam di Rafah tersebut. Kamp pengungsian warga Palestina, misalnya, sebenarnya cukup memprihatinkan. Fakta menunjukkan bahwa Rafah adalah salah satu daerah yang paling terkena dampak blokade yang diberlakukan oleh Israel sejak 2007. Blokade ini telah menyebabkan keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, listrik, dan layanan kesehatan.

Akibatnya, warga di kamp pengungsian Rafah sering kali harus bertahan hidup dengan suplai air yang terbatas dan tidak higienis, serta listrik yang sering padam. Malah justru diserang oleh kekejaman Israel. Sebagai manusia, sudah tentu hati kita sangat teriris. Sebagai warga sesama Muslim, jiwa kita juga ikut terbakar untuk turut membela secara penuh dalam upaya kita memperjuangkan keadilan bagi rakyat Palestina.

Tetapi, lagi-lagi, yang mengkhawatirkan adalah ketika kondisi-kondisi darurat semacam itu justru dijadikan sebagai momen propaganda. Selang sehari setelah viral serangan di Rafah misalnya, di Indonesia, tepatnya di Bandung, terjadi Aksi Umat Islam Bela Palestina yang dilakukan oleh kelompok ormas Islam jebolan HTI, yang menamai kelompoknya sebagai FUTA (Forum Ulama, Tokoh, dan Advokat) Jawa Barat. Tentu, saya pribadi, memahami bahwa mereka juga ingin membela keadilan Palestina. Hanya saja, membela Palestina tentu tidak sama dengan mendirikan khilafah.

Penebalan tulisan “Institusi Itu Adalah Khilafah” yang dituliskan dalam lima poin tuntutannya, saya kira itu mengharuskan sisi kritis lain dari diri kita sebagai warga Indonesia sekaligus umat Islam mesti dibuka. Apalagi ditambah penegasan pada kalimat “khilafah adalah kewajiban bagi umat Islam untuk menegakkannya, sekaligus janji Allah (wa’dullah) dan kabar gembira (bisyarah) Rasulullah SAW” dalam poin kelima tuntutan jelas sekali menunjukkan arah framing yang hendak dilakukan dalam aksi tersebut.

Keadilan Palestina vs Pendirian Khilafah

Membela keadilan bagi Palestina adalah sebuah tanggung jawab kemanusiaan dan moral yang didasarkan pada prinsip HAM, keadilan, dan perdamaian internasional. Sebagai sebuah perjuangan untuk mengakhiri penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina yang terjajah dan memastikan bahwa mereka dapat hidup dengan martabat dan hak-hak dasar yang terpenuhi. Namun, yang sangat perlu digarisbawahi, ada perbedaan mendasar antara upaya membela keadilan Palestina dengan agenda pendirian khilafah, yang sering kali diusung oleh kelompok-kelompok tertentu seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

BACA JUGA  Moderasi Beragama ala Arab Saudi, Sudah Idealkah?

Pendirian khilafah, misalnya, meskipun menggunakan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis Nabi, agenda tersebut sesungguhnya adalah agenda politik yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara global berdasarkan interpretasi tertentu dari hukum Islam. Inilah yang menjadi masalah. Agenda pendirian khilafah, dalam banyak hal, justru sering kali menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran baik secara moral maupun intelektual, terutama di negara-negara seperti Indonesia yang memiliki keragaman agama dan budaya yang kompleks.

Dalam konteks Indonesia khususnya, pendirian khilafah tentu tidak hanya akan mengancam keutuhan bangsa, tetapi juga bertentangan dengan prinsip demokrasi, keberagaman, dan Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Dalam konteks Indonesia, agenda khilafah dapat memicu perpecahan, menimbulkan ketidakstabilan sosial, dan mengancam harmoni antarumat beragama. Tanggal 1 Juni kemarin misalnya, tentu harus menjadi momentum untuk kita merenungi filosofi Pancasila, setidaknya untuk merawat diri dari segala macam propaganda agen khilafah.

Di sisi lain, membela Palestina sendiri harus sungguh-sungguh dipahami sebagai upaya untuk mendukung hak-hak rakyat Palestina dalam kerangka hukum internasional. Memahami bahwa membela Palestina bukanlah agenda politik untuk mendirikan sebuah negara baru berdasarkan ideologi tertentu, melainkan sebuah gerakan global untuk benar-benar berkomitmen menghentikan penindasan dan mencari solusi damai atas konflik yang telah berlangsung puluhan tahun. Yakni, memberikan dukungan untuk Palestina didasarkan pada prinsip keadilan dan kemanusiaan, bukan pada ambisi politik untuk mengubah tatanan global yang tanpa perhitungan matang.

Sehingga, penting sekali untuk memisahkan kedua isu ini secara jelas. Bahwa membela Palestina adalah berarti mendukung HAM dan keadilan internasional. Sedangkan, pendirian khilafah adalah sebuah agenda politik yang kontroversial dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila serta semangat kebhinekaan Indonesia. Hal yang mesti terus kita pahami dan hayati bersama-sama setiap saat.

Dengan demikian, perjuangan untuk keadilan Palestina tidak boleh disamakan dengan agenda pendirian khilafah. Sebaliknya, harus dilihat sebagai bagian dari komitmen global untuk perdamaian dan HAM, yang justru memperkuat nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia perlu waspada terhadap narasi yang mencoba mengaburkan batas antara membela kemanusiaan dengan agenda politik yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagai bangsa yang menghargai Pancasila, kita harus berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila dalam setiap tindakan kita, termasuk ketika mendukung keadilan bagi Palestina. Peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni setiap tahun mengingatkan kita akan pentingnya nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi bangsa. Kita mesti menghayati Pancasila sebagai watak dan karakter kebangsaan dan kenegaraan yang harus kita wujudkan dalam praktik bernegara dan bermasyarakat.

Oleh karena itu, dengan menjunjung tinggi Pancasila, paling tidak kita sudah berusaha melawan narasi yang mencoba mengaburkan batas antara pembelaan HAM dan agenda politik tertentu. Dan, kita dapat memahami pula, bahwa membela keadilan Palestina tidaklah berarti mendukung pendirian khilafah, tetapi merupakan bagian dari upaya global untuk menegakkan HAM dan perdamaian, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang kita junjung tinggi.

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru