29.3 C
Jakarta

Pancasila Dalam Menghadapi Ideologi Khilafah

Artikel Trending

CNRCTPancasila Dalam Menghadapi Ideologi Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pancasila dari masa ke masa menghadapi tantangan dari ideologi-ideologi baru yang mengancam eksistensinya. Di era Orde Lama, Pancasila berhadapan dengan ideologi komunisme yang menyusup ke dalam pemerintahan melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Pancasila berhasil mengalahkan dan menyingkirkan ideologi komunisme pasca pemberontakan G 30 S / PKI melalui TAP MPRS no. : XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia. Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Menyembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.[1]

Di masa Orde Baru, ideologi kapitalisme hampir menggeser Pancasila sebagai soko guru bangsa. Atas nama pembangunan, Presiden Soeharto membuka keran investasi asing secara bertahap. Melalui UU no 1/1967, pemerintah membuka pintu bagi investor asing menanamkan modal di Indonesia.[2] Untuk membiayai pembangunan, pemerintah mengajukan utang luar negeri dan membentuk lembaga IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) yang beranggotakan Australia, Belgia, Jerman, Itali, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika, Austria, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Bank Dunia, IMF, Bank Pembangunan Asia (ADB), UNDP, serta OECD pada 1967. Tujuan pembentukan konsorsium ini ialah untuk memberikan pinjaman ke Indonesia.[3]

Pemerintahan Orde Baru jatuh pada tahun 1998. Era reformasi di mulai. Eforia reformasi membuat kapitalisme menjadi-jadi. Sektor-sektor publik yang menguasai hajat hidup orang banyak dibuka bagi investor asing. Pancasila menghadapi ideologi neo-kapitalisme atau kapitalisme global. Sampai pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004 – 2014), kesadaran kembali kepada dan meneguhkan empat pilar bangsa yaitu Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, upaya re-Pancasila-isasi digencarkan dengan membentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau disingkat BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.[4]

Dunia terus berubah dengan cepat. Digitalisasi segala sektor kehidupan membuat batas-batas negara semakin kabur. Setiap orang bisa terhubung dengan siapapun tanpa terhalang teritorial suatu negara. Globalisasi adalah sebuah jaring keterhubungan yang membuat hidup kita kian dibentuk oleh peristiwa-peristiwa yang muncul dan keputusan-keputusan yang dibuat jauh dari kita sehingga menimbulkan koneksi-koneksi “suprateritorial” antar manusia.[5]

Globalisasi juga mengancam identitas suatu etnik, suku dan kelompok agama terutama yang minoritas. Identitas kelompok minoritas semakin kabur terseret arus globalisasi ke dalam identitas “bersama” yang dikuasi kelompok mayoritas. Tarik menarik dan gesekan antar identitas menghasilkan daya resistensi dari setiap kelompok. Masing-masing kelompok berjuang agar eksistensi identitas mereka tetap terjaga dengan baik menuju persaingan antar kelompok identitas yang memicu konflik dan krisis politik identitas.

Kemudian masing-masing kelompok identitas menciptakan ideologi baru yang bisa membenarkan perjuangan politik mereka sampai ke tingkat negara. Ideologi adalah seperangkat ide koheren yang menyediakan basis bagi tindakan politik terorganisasikan untuk mempertahankan, memodifikasi atau menggantikan sistem kuasa yang sudah ada. Tiga ciri penting suatu ideologi: a) Menawarkan pemahaman tentang tatanan yang ada, biasanya dalam bentuk “pandangan dunia”; b) Mengembangkan model tentang masa depan yang diinginkan, visi tentang “masyarakat yang baik”; c) Menjelaskan bagaimana perubahan politik dapat dan sebaiknya dilakukan.[6]

Perang di Timur Tengah (Irak, Libya, Suriah dan Yaman) sejak Arab Springs 2011 sampai sekarang, sudah berlangsung selama 19 tahun, merupakan perang model baru yang dilatarbelakangi oleh ideologi baru berbasis kepada identitas, dalam hal ini identitas agama. Kelompok-kelompok minoritas Wahabi Jihadi (al-Qaeda dan ISIS) dan Syi’ah Jihadi (Hautsi dan Hizbullah) melawan pemerintah yang sah, yang berbeda ideologi dengan mereka. Wahabi Jihadi membawa ideologi Khilafisme sebagai ideologi baru yang diperjuangkan dengan  senjata melawan pemerintah yang sah di Irak dan Suriah yang berpaham Syi’ah dibantu Hizbullah. Sedangkan Syi’ah Hautsi melawan pemerintah sah Yaman yang berafiliasi kepada kelompok Sunni Ikhwanul Muslimin.

Selain dilatarbelakangi oleh ideologi baru (new ideologies) yang berdasarkan identitas, perang baru (new wars) mengatasnamakan identitas juga memiliki logika yang berbeda dengan perang konvensional. Perang konvensional bertujuan untuk mempertahankan geo politik dan ideologi negara, adapun  perang baru untuk suatu identitas politik etnis, suku dan kelompok agama, agar etnis, suku dan kelompok agama mempunyai akses ke dalam negara. Bukan untuk kepentingan publik.[7]

Jika aktor dalam perang konvensional adalah tentara regular dari angkatan bersenjata suatu negara, maka dalam konsep perang baru dengan ideologi baru berbasis identitas, aktornya sangat banyak, kombinasi tentara reguler (state actor) dan aktor non negara (non state actor) seperti jihadis, relawan, para militer, tentara bayaran, dll.[8]

Ideologi-ideologi baru yang berbasis identitas yang memicu perang baru di kawasan Timur Tengah berimbas ke seluruh dunia. Kemajuan teknologi dan kemudahan migrasi penduduk dari satu negara ke negara lain, serta karakteristik perang baru yang desentralistik, menjadi ancaman baru bagi pertahanan dan keamanan negara. Medan tempur dalam perang baru menyebar tidak terikat satu lokasi tertentu dan tidak dapat diprediksi dalam jangka waktu yang lama.[9]

Khilafah disebut ideologi karena khilafah mengandung ide-ide tertentu yang sistematis dan diterapkan dalam suatu negara secara sistemis. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir, khilafah merupakan bentuk fisik/materi dari ideologi (mabda’) Islam. Mabda’ Islam adalah aqidah aqliyah yanbatsiqu ‘anha an-nizham yaitu keyakinan yang rasional yang memancarkan sebuah sistem kehidupan bernegara.[10]

Hizbut Tahri di Indonesia, satu di antara gerakan ideologis yang merongrong Pancasila dengan ideologi khilafah. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang berideologi Islam. Bercita-cita untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan menegakkan Daulah Islam yang akan menerapkan sistem Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia. (an-Nabhani, 2001: 81). Oleh karena itu Hizbut Tahrir bukan organisasi kerohanian yang sifatnya kependetaan, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan dan bukan pula lembaga-lembaga yang melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial. Juga aktivitas Hizbut Tahrir tidak hanya memberi nasihat dan bimbingan saja. (Muhsin Radhi, 2008: 31).

Metode Hizbut Tahrir dalam menerapkan ideologi khilafah dengan mengambil alih pemikiran masyarakat sebagai syarat dari keberhasilan meraih kekuasaan. Kekuasaan merupakan metode (thariqah) untuk menerapkan pemikiran (ide). Oleh sebab itu, kekuasaan bukan untuk kekuasaan. Kekuasaan bukan tujuan hakiki. Karena perkaranya bukan hanya melakukan usaha untuk menjatuhkan penguasa saja, namun yang difokuskan adalah menjadikan pemikiran Islam dominan di tengah-tengah masyarakat, sehingga penggulingan penguasa dan pengambilalihan kekuasaannya terjadi karena cengkeraman pemikiran tersebut. (an-Nabhani, 2016: 27).

Sedangkan dari aspek lainnya, sebuah negara muncul melalui tumbuhnya pemikiran baru yang menjadi asasnya, sehingga kekuasaan di dalam negara tersebut itu akan berubah mengikuti perubahan pemikiran-pemikiran tadi. Pemikiran akan berubah menjadi pemahaman. Dari pemahaman lahir pandangan hidup yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Singkatnya, jika pemikiran, pemahaman, pandangan hidup berubah maka tingkah laku dan cara manusia mengatur kemaslahatan hidupnya juga berubah. Manusia akan memberi kekuasaan kepada seseorang, kelompok atau partai yang sesuai dengan pemikiran, pemahaman dan pandangan hidupnya. (an-Nabhani, 2016: 28).

Pemikiran Islam yang dimaksud di atas adalah pemikiran, penafsiran dan pemahaman Islam (fiqih) menurut Taqiyuddin an-Nabhani yang diambil menjadi pemikiran resmi Hizbut Tahrir. Pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir dibukukan ke dalam 11 kitab resmi yang menjadi materi pengkaderan dan bahan indoktrinasi bagi aktivis Hizbut Tahrir di Indonesia dalam halaqah (grup-grup kajian). Aktivis Hizbut Tahrir di Indonesia diharuskan mengambil (adopsi) isi kitab-kitab apa adanya, meyakini kebenarannya, mengamalkannya dan menyebarluaskannya ke masyarakat. (Milaf Idari, 2000/2001).

Dari interaksinya dengan masyarakat, Hizbut Tahrir di Indonesia ingin menjadikan ideologi khilafah menjadi ideologi masyarakat, sehingga masyarakat menganggap ideologi khilafah adalah ideologi mereka dan mau membelanya bersama-sama dengan Hizbut Tahrir di Indonesia. Inilah fase krusial bagi Hizbut Tahrir di Indonesia. Khilafah akan tegak atau gagal, ditentukan oleh keberhasilan Hizbut Tahrir di Indonesia melalui fase ini. Hizbut Tahrir di Indonesia mengalami turbulensi. Fase ini penuh pergolakan, karena terjadi benturan pemikiran dan kepentingan politik antara Hizbut Tahrir di Indonesia dengan masyarakat Indonesia yang berideologi Pancasila.

Berinteraksi dengan masyarakat adalah penting untuk keberhasilan mereka dalam mencapai tujuannya, mengambilalih kekuasaan pemerintahan untuk dijadikan khilafah. Karena sekali pun anggota Hizbut Tahrir di Indonesia banyak jumlahnya dalam masyarakat, tetapi tidak berinteraksi dengan masyarakat, mereka tetap tidak akan mampu mengemban tugasnya sendiri sekali pun mereka kuat. Lain halnya jika mereka bersama masyarakat.

Hizbut Tahrir dalam posisi dilematis, pertama, berhadapan dengan kemarahan dan kebencian masyarakat yang meyakini ideologi Pancasila sesuai dengan ajaran agama (khususnya Islam); Kedua, berhadapan dengan kondisi lepasnya ideologi khilafah dan munculnya sikap meremehkan Hizbut Tahrir di Indonesia dan ideologi khilafah. Hizbut Tahrir di Indonesia harus memilih, kembali ke masyarakat dengan kata lain kembali menganut ideologi Pancasila atau tetap bertahan dengan tetap memegang teguh ideologi khilafah? Taqiyuddin an-Nabhani menginstruksikan agar tetap memegang teguh ideologi khilafah karena kemarahan dan kebencian masyarakat bersifat sementara. (an-Nabhani, 2001: 26 – 53).

Tidak ada titik temu antara masyarakat dengan Hizbut Tahrir di Indonesia karena perbedaannya antara masyarakat dengan Hizbut Tahrir di Indonesia pada level ideologi. Ideologi sangat erat kaitannya dengan keyakinan, pandangan hidup, kekuasaan dan eksistensi. Penggantian suatu ideologi dalam masyarakat, berimplikasi kepada hilangnya eksistensi masyarakat tersebut. Pilihannya, masyarakat Indonesia yang hancur atau Hizbut Tahrir di Indonesia?! Karena pintu masyarakat tertutup bagi Hizbut Tahrir di Indonesia, maka Hizbut Tahrir di Indonesia mengandalkan pertolongan dari pemilik kekuatan (ahlu quwwah) dalam hal ini militer untuk melindungi gerakan mereka dan untuk mengambilalih kekuasaan agar diserahkan kepada mereka. Konsep ini disebut thalabun nushrah (meminta pertolongan). [11]

Thalabun nushrah adalah kegiatan politik Hizbut Tahrir menyusup, merekrut, membina dan mengarahkan jenderal militer untuk mengambil alih kekuasaan kepala negara yang akan diserahkan kepada Amir Hizbut Tahrir. Kegiatan thalabun nushrah dilakukan oleh satu grup kecil yang jumlahnya tidak lebih dari lima orang anggota Hizbut Tahrir yang memenuhi kriteria. Grup ini sangat tersembunyi, sensitif, dan vital. Nyawa Hizbut Tahrir ada di tangan grup ini. Boleh dikatakan hidup matinya Hizbut Tahrir di suatu negara ditentukan oleh grup ini. Apabila grup ini berhasil menunaikan misinya maka Amir Hizbut Tahrir akan menjadi Khalifah, sebaliknya kalau gagal, pengurus dan anggota Hizbut Tahrir menjadi pesakitan diburu aparat. Seperti Biro Chusus PKI, grup ini mau  “bermain-main mata” dengan jenderal militer yang mempunyai pasukan dan senjata. Di Hizbut Tahrir Biro Chusus-nya disebut dengan nama Lajnah Thalabun nushrah.[12]

Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir mengatakan; Setiap orang maupun aktivis Hizbut Tahrir di Indonesia harus mengetahui, bahwasanya Hizbut Tahrir bertujuan untuk mengambil kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh kelompok yang berkuasa. Hizbut Tahrir bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi (hubungan) penguasa (pemerintah) dengan umat (rakyat), kemudian dijadikan kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyah (Khilafah). (an-Nabhani, 2016: 24 – 25).

Aktivitas thalabun nushrah terus menerus dilakukan sampai Hizbut Tahrir di Indonesia meraih kekuasaan sambil tetap melakukan tatsqif (perekrutan dan pengkaderan) dan berinteraksi dengan masyarakat, meski dengan segala keterbatasannya. Lebih tegas lagi Taqiyuddin an-Nabhani menekankan, bahwa Hizbut Tahrir tidak ingin membangun kekuasaan (kekuatan) lain di tengah-tengah masyarakat sebagai alat yang digunakan untuk menumbangkan dan melenyapkan kekuasaan yang ada. Yang diinginkan oleh Hizb (HTI) adalah kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan yang ada, pemerintahan yang berkuasa, dan penguasa yang sedang mengangkangi rakyatnya, itulah yang sekarang menjadi tujuan diambilalih oleh Hizb (HTI) melalui umat. Kemudian bentuk dan sistemnya diubah dan dijalankan, agar Islam bisa diterapkan, dan risalah Islam dapat disebarluaskan. (an-Nabhani, 2016: 25).

Pancasila menghadapi ancaman terus menerus dari ideologi khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir di Indonesia. Meski demikian, prinsip dasar dari pertahanan dari suatu negara adalah pertahanan paling kuat adalah kepedulian pada negara dan kepedulian itu tumbuh dari rasa cinta tanah air[13], tetap tidak berubah. Artinya Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara yang lahir dari rasa cinta tanah air para pendiri bangsa, tetap relevan dan akan diuji kesaktiannya dalam menghadapi ideologi-ideologi baru berbasis identitas yang berpotensi mengancam pertahanan dan keamanan negara.

Berkaca pada perang baru di Arab, kegagalan negara-negara Arab merumuskan satu ideologi bersama yang diambil dari nilai-nilai luhur bangsa Arab, membuat bangsa Arab terfragmentasi menjadi beberapa ideologi yang diadopsi dan diadaptasi dari ideologi lama dunia. Wahabisme, Nasionalisme Arab dan Sosialisme Arab tidak berakar dalam masyarakat Arab. Wahabisme lahir abad ke-18, Nasionalisme Arab abad 19 dan Sosialisme Arab abad 20 dipaksaterapkan kepada masyarakat yang telah berabad-abad sebelumnya menganut ideologi Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Ideologi-ideologi tersebut sebenarnya barang asing dalam sejarah dan jiwa bangsa Arab. Pada saat yang sama, negara-negara Arab gagal merevitalisasi ideologi mereka dalam rangka merespon perubahan zaman yang begitu cepat.

Lain halnya dengan ideologi Pancasila. Meski Pancasila lahir, tumbuh dan berkembang dalam situasi puncak pertarungan dua ideologi lama dunia: Kapitalisme dan Sosialisme-Komunisme, Pancasila diambil dari saripati dan puncak dari ide, ajaran, nilai, norma dan masyarakat Indonesia. Pancasila tidak mengadopsi atau mengadaptasi ideologi luar. Oleh sebab itu, Pancasila adalah jiwa setiap insan dari bangsa Indonesia.

Namun, untuk mempertahankan ideologi Pancasila di tengah derasnya arus globalisasi dan ancaman ideologi-ideologi baru, perlu pembaharuan, penyegaran dan revitalisasi proses ideologisasi Pancasila. Terkait dengan ancaman ideologi baru berbasis identitas agama, maka proses ideologisasi Pancasila yang dulunya bersifat dogmatis politik, diubah dengan pendekatan sosiologis. Masyarakat Indonesia, masyarakat yang religius sejak dari nenek moyangnya. Sempat terjadi kesenjangan antara ideologi Pancasila dengan agama, karena proses ideologisasi Pancasila di masa lalu dari atas ke bawah (top down), dari negara ke rakyat. Strategi pertahanan ideologi seperti ini mengandalkan kekuasaan negara, bukan kesadaran alami masyarakat. Strategi yang sudah tidak memadai di zaman serba digital sekarang ini.

Re-Pancasila-isasi perlu metode dan pendekatan baru berbasis masyarakat atau sosio-Pancasila. Sosio-ideologi Pancasila yaitu ideologisasi Pancasila berwatak dan berwawasan sosial bukan sosialisme gaya baru. Tapi ia merupakan suatu strategi baru ideologisasi Pancasila yang berbasis kepada kesadaran masyarakat. Ideologisasi yang berangkat dalam diri masyarakat itu sendiri (endogen). Berbasis komunitas bukan identitas. Strategi ini berdasarkan pada fakta bahwa sumber ajaran Pancasila yang diambil dari nilai, sejarah, tradisi, falsafah, kearifan lokal (local wisdom), sistem keyakinan, sistem pengetahuan masyarakat Indonesia. Dan berdasarkan pada realitas milineal dimana posisi individu (netizen) semakin kuat di tengah masyarakat dan di hadapan negara. Individu lebih suka bergabung dengan komunitas-komunitas non formal dan longgar ketimbang masuk ke dalam organisasi-organisasi formal yang kaku.

Penguatan ideologi Pancasila kepada komunitas-komunitas non formal keagamaan membutuhkan pendekatan sosio-ideologi agar Pancasila bisa masuk ke alam pikiran mereka. Misalnya keengganan sebagian individu dan komunitas menerima ideologi Pancasila karena menganggap Pancasila bukan agama yang maknanya bertentangan dengan agama. Anggapan ini dapat dibantah dengan narasi: Ya, benar, Pancasila bukan agama. Akan tetapi Pancasila (sila dan butir) digali dari ajaran-ajaran agama. Terbukti tidak satu pun sila dan butir yang bertentangan dengan agama. Pancasila memang bukan teks (nash) dari suatu kitab suci, akan tetapi Pancasila sesuai dengan makna dari kitab suci karena memang Pancasila digali dari kitab-kitab suci melalui proses berpikir yang sesuai standar agama (ijtihad).[14]

Karena Pancasila lahir dari rahim agama-agama dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat agamais, maka strategi sosio-Pancasila menjadi alternative. Sosio-Pancasila suatu pendekatan baru dalam ideologisasi Pancasila kepada warga negara berdasarkan komunitas (sosialita) dan cara mengintegrasikan ideologi Pancasila ke masuk ke alam pikiran individu dan komunitas dalam menghadapi ancaman ideologi baru berbasis identitas yang menyebar melalui media sosial, perlu dipertimbangkan dalam strategi pertahanan nasional dalam hal ini ketahanan ideologi.

Dengan pendekatan ini, diharapkan bisa mencegah terbentuknya individu dan komunitas yang menganut ideologi baru berbasis identitas berpotensi mengancam ideologi nasional. Ideologi baru berbasis identitas agama lebih berbahaya karena penganutnya seperti kata Hannan Arenth (1985) telah melumpuhkan akal sehat dan hati nuraninya. Ia kehilangan kemampuan berpikir kritis dan takut mengambil keputusan yang sesuai dengan suara hatinya yang paling dalam. Fenomena ini oleh Hannan Arenth disebut banalitas kejahatan.[15]

Banalitas kejahatan adalah situasi sosial politik dimana kejahatan “dianggap” biasa karena seseorang berpandangan dangkal dalam berpikir dan menilai suatu hal. Banalitas kejahatan akibat seseorang gagal berdialog dengan dirinya sendiri. Kegagalan ini berimbas kepada sikap menyalahkan orang lain dalam kegiatan politik. Organisasi politik baik partai maupun negara yang bersifat totalitarianisme akan menghasilkan banalitas kejahatan.

Kembali berkaca ke Timur Tengah, bahwasanya negara dan milisi-milisi yang terlibat perang adalah organisasi politik yang bersifat totalitarianisme berdasarkan ideologi baru berbasis identitas yang sebenarnya asing dalam sejarah dan jiwa mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Hafidz. (2017). Mafahim Islamiyah. Bogor: Al-Azhar Fresh Zone Publishing.

Andrew Heywood. 2016. Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Terj. Yudi Santoso, S. Fil. Edisi kelima. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Andrew Heywood. 2016. Politik Global. Terj. Ahmad Lintang Lazuardi. Edisi kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

An-Nabhani, Taqiyuddin. (1953, 2001). Nizhamul Islam. Min Mansyurat Hizbut Tahrir.

____________________. (1953, 2001). At-Takattul Hizbi. At-Thab’ah ar-Rabi’ah. (Pembentukan Partai Politik). Min Mansyurat Hizbut Tahrir.

____________________. (2006).  Daulah Islam. Cetakan kedua. Jakarta: HTI Press.

____________________. (2016). Dukhul Mujtama dan Nuqthatul Intilaq. Cetakan ketiga. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

____________________. (2001). Mafahim Hizbut Tahrir. At-Thab’ah as-Saadisah. Min Mansyurat Hizbut Tahrir.

Anonim. (2002). Bunga Rampai Syariat Islam. Cetakan pertama. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia.

Hizbut Tahrir. (1995). Qanun Idari

___________. (2001). Milaf Idari

___________. (tt). Nasyrah Bagaimana Menjadi Bagian Intergral Hizbut Tahrir.

___________. (tt). Nasyrah Tabanni.

___________. (tt). Nasyrah Qassam.

Heriansyah, Ayik (2020). Mengenal HTI Melalui Rasa Hati. Jakarta: Harakatuna.

___________. (2020). Dosakah Menjadi Indonesia. Depok: Sang Khalifah.

___________. (2021). Dawah Deradikalisasi. Jakarta: Harakatuna.

Ismail, Muhammad. (2016). Fikrul Islam: Bunga Rampai Pemikiran Islam. Cetakan keempat. Bogor: al-Azhar Press.

Muhsin, M. Rodhi. (2008). Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir Dalam Mendirikan Khilafah Islamiyah. Terj. Romli Abul Wafa. Bangil: Penerbit Al-Izzah

Ethridge E Marcuse dan Howard Handelman. 2016. Politik dalam Dunia yang Sedang Berubah. Terj. Lita Yusron. Bandung: Penerbit Nusa Media.

Fuad, Fokky Wasitaatmadja. 2018. Falsafah Pancasila: Epistemologi Keislaman dan Kebangsaan. Depok: Prenadamedia Group.

Sumantri, Haryo, dkk. 2019. Jati Diri Bangsa Kiai Muhammad Mukhtar Mu’thi, Sang Mujaddid Wawasan Kebangsaan. Jombang: Organisasi Shiddiqiyah.

Taufiqul Hadi, Teuku. 2019. Ringkasan Disertasi Keterlibatan Milisi Asing Dalam Perang di Suriah Melawan Pemerintahan  Bashar al-Assad (Perang Suriah dalam Perspektif New Wars). Bandung: Program Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran.

Watloly, Aholiab. 2016. Sosio-Epistemologi: Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Jurnal

Rex Tyran. Banalitas Kejahatan dan Radikalisme di Indonesia (Filsafat politik Hannah Arendt). http://publikasi.undana.ac.id/index.php/JP/article/view/393. Diakses 6/1/2021 jam 10:45.

Zuhdi, Muhammad Luthfi and Hayatullah, Imam Khomaeni (2020) “NARRATIVE FOR TERRORISM AND TRANSNATIONALISM ISIS THEOLOGY THROUGH THE DOCTRINE OF RELIGION,” Journal of Terrorism Studies: Vol. 2 : No. 1 , Article 2.
DOI: https://doi.org/10.7454/jts.v2i1.1015
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jts/vol2/iss1/2

Huda, Achmad Zainal (2019) “Melawan Radikalisme Melalui Kontra Narasi Online,” Journal of Terrorism Studies: Vol. 1 : No. 2 , Article 1.
DOI: 10.7454/jts.v1i1.1007
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jts/vol1/iss2/1

Khoerunnisa, Eunis. “Relevansi Strategi Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia Dengan Strategi Dakwah Nabi Muhammad Saw.” Komunika, vol. 9, no. 2, 2015, pp. 171-180, doi:10.24090/komunika.v9i2.847.

Jamaan, Ahmad, and Agung Wijaksono. “Gerakan Politik Islam Hizbut Tahrir Di Indonesia Pada Era Pasca Reformasi.” Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, vol. 1, no. 2, Oct. 2014.

Karman, Nfn. “Frame of Hizbut Tahrir Indonesia (Hti) as a Fundamentalis Group in the Discourse of Democracy in Online Media.” Jurnal Penelitian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika, vol. 6, no. 1, 2015.

 Website

TAP MPRS no. XXV MPRS tahun 1966. https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt50768a41ad5ab/nprt/657/tap-mprs-no-xxv_mprs_1966-tahun-1966-pembubaran-partai-komunis-indonesia,-pernyataan-sebagai-organisasi-terlarang-diseluruh-wilayah-negara-republik-indonesia-bagi-partai-komunis-indonesia. Diakses 6/1/2021 jam 09:01

Sejarah Perjalanan Investasi Asing di Indonesia https://www.idntimes.com/business/economy/indianamalia/sejarah-perjalanan-investasi-asing-di-indonesia/4. Diakses 6/1/2021 jam 09:44.

IGGI dan Asal Usul Utang Luar Negeri Indonesia. https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-cEW3. Diakses 6/1/2021 jam 09:49.

BPIP https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pembinaan_Ideologi_Pancasila#:~:text=Badan%20Pembinaan%20Ideologi%20Pancasila%20atau,pengendalian%20pembinaan%20ideologi%20Pancasila%20secara. Diakses 6/1/2021 jam 10:27.

[1] TAP MPRS no. XXV MPRS tahun 1966. https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt50768a41ad5ab/nprt/657/tap-mprs-no-xxv_mprs_1966-tahun-1966-pembubaran-partai-komunis-indonesia,-pernyataan-sebagai-organisasi-terlarang-diseluruh-wilayah-negara-republik-indonesia-bagi-partai-komunis-indonesia. Diakses 6/1/2021 jam 09:01

[2] Sejarah Perjalanan Investasi Asing di Indonesia https://www.idntimes.com/business/economy/indianamalia/sejarah-perjalanan-investasi-asing-di-indonesia/4. Diakses 6/1/2021 jam 09:44.

[3] IGGI dan Asal Usul Utang Luar Negeri Indonesia. https://tirto.id/iggi-dan-asal-usul-utang-luar-negeri-indonesia-cEW3. Diakses 6/1/2021 jam 09:49.

[4] BPIP https://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pembinaan_Ideologi_Pancasila#:~:text=Badan%20Pembinaan%20Ideologi%20Pancasila%20atau,pengendalian%20pembinaan%20ideologi%20Pancasila%20secara. Diakses 6/1/2021 jam 10:27.

[5] Andrew Heywood. (2016). Ideologi Politik: Sebuah Pengantar. Terj. Yudi Santoso, S. Fil. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 36

[6] Idem, hal 19.

[7] Taufiqul Hadi, Teuku. (2019). Ringkasan Disertasi Keterlibatan Milisi Asing Dalam Perang di Suriah Melawan Pemerintahan  Bashar al-Assad (Perang Suriah dalam Perspektif New Wars). Bandung: Program Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran. Hal. 9-10.

[8] Idem hal. 10.

[9] Munkler, Herfriend. 2004. The New Wars. Oxford: Polity dalam Taufiqul Hadi, Teuku. 2019. Ringkasan Disertasi Keterlibatan Milisi Asing Dalam Perang di Suriah Melawan Pemerintahan  Bashar al-Assad (Perang Suriah dalam Perspektif New Wars). Bandung: Program Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran. Hal. 14.

[10] Taqiyuddin an-Nabhani. (1953, 2001). Nizhamul Islam, Beirut: Hizbut Tahrir.

[11] Taqiyuddin an-Nabhani. (1953, 2001). At-Takattul Hizbi. Beirut: Hizbut Tahrir.

[12] Ayik Heriansyah (2020). Mengenal HTI Melalui Rasa Hati. Jakarta: Harakatuna.

[13] Sumantri, Haryo, dkk. (2019). Jati Diri Bangsa Kiai Muhammad Mukhtar Mu’thi, Sang Mujaddid Wawasan Kebangsaan. Jombang: Organisasi Shiddiqiyah. Hal. iv.

[14] Ayik Heriansyah. (2021). Dakwah Deradikalisasi. Jakarta: Harakatuna.

[15] Rex Tyran. Banalitas Kejahatan dan Radikalisme di Indonesia (Filsafat politik Hannah Arendt). http://publikasi.undana.ac.id/index.php/JP/article/view/393. Diakses 6/1/2021 jam 10:45.

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru