25.4 C
Jakarta

Nilai-nilai Tasawuf dalam Mengetaskan Kemiskinan

Artikel Trending

Asas-asas IslamTasawufNilai-nilai Tasawuf dalam Mengetaskan Kemiskinan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kemiskinan saat ini masih menjadi salah satu problem utama umat Islam. Berbagai negara yang mayoritas penduduknya Islam memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi, misalnya Bangladesh, Aljazair, Pakistan, Maroko, negara-negara di Afrika, bahkan di Indonesia. Hanya sedikit negara dengan maayoritas penduduk Muslim dengan perekonomian yang baik atau makmur dan sejahetera. Faktor utamanya pun negara-negara itu didukung oleh sumber daya alam yang memadai, misalnya negara-negara di Arab Teluk dengan sumber daya minyak bumi yang melimpah ruah. Itu pun  yang mengelolah sebagian dari kalangan non-muslim.

Imam Suprayogo selaku Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang berpendapat bahwa penyebab utama bencana kemiskinan yang diderita sebagian umat Islam adalah rendahnya pemahaman terhadap ajaran Islam yang menekankan etos kerja yang tinggi dan semangat perubahan yang lebih maju. Islam baru dipahami sebagai agama yang hanya mementingkan ritual, aspek-aspek seperti kualitas, keadilan, dan profesionalisme dalam bekerja belum disentuh dengan nuasan keislaman.

Imam Suprayogo, berpendapat bahwa untuk mengatasi masalah itu diperlukan upaya reformulasi pemahaman umat Islam terhadap ajaran dan nilai luhur Islam secara utuh sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw., terutama pada sektor pendidikan dan keagamaan. Lembaga pendidikan Islam perlu mengembangkan keilmuan secara menyeluruh, tidak hanya ilmu-ilmu agama saja yang dipelajari, namun juga penguatan sains, teknologi, dan peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

Kemiskinan yang menjadi problematika umat Islam tampaknya akan dapat terselesaikan apabila tiap Muslim memiliki kesadaran, bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan seluruh aspek kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, bahwa Muslim yang kuat (dari aspek lahiriah seperti ekonomi, tubuh, dan kewenangan dan aspek batiniah, seperti iman yang tinggi, khusyu’ dan cerdas) lebih Allah cintai ketimbang Muslim yang lemah. Seharusnya, umat Islam memperhatikan betul ucapan Nabi Saw.

Namun, apabila melihat sejarah peradaban Islam terdahulu, didapati bahwa Islam adalah agama yang sangat dikagumi oleh bangsa dan peradaban lainnya. Umat Islam adalah umat yang terpandang sebagai intelektual dan cendikiawan.

Apa sebenarnya yang terjadi pada umat Islam saat ini ?, Ada suatu hipotesis yang berkembang di kalangan umat yakni bahwa peradan Islam mengalami keterbelakangan dan umat Islam mengalami berbagai masalah karena menyebarnya sufisme di kalangan umat Islam.[1] Benarkah penyataan ini ?

Apabila kita lihat kembali ke peradaban yang dibangun oleh Dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, sufisme justru tumbuh subur di peradaban mereka. Dan banyak dari mereka menghasilkan karya yang bermanfaat bagi peradaban dunia. Misalnya saja, Al Farabi. Beliau adalah sufi yang cerdas dan telah menghasilkan berbagai karya yang dibaca jutaan sarjana barat. Al Farabi digambarkan sebagai seorang pembesar ilmu sains dalam Islam, dan ia adalah seorang Sufi.

Melihat faktanya yang demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis tentang “peradaban Islam mengalami keterbelakangan dan umat Islam mengalami berbagai masalah karena menyebarnya sufisme di kalangan umat Islam”, adalah salah. Lantas apa yang sebenarnya terjadi ?

Muhammad Al Ghazalli (w. 1996) dalam kitabnya Rakaiz al Iman baina al ‘Aql wal Qalb memberikan definisi tentang sufisme dengan sangat terperinci. Menurutnya, sufisme ditandai oleh tiga hal yakni : 1. Berusaha menjadikan iman yang bersifat nalar perasaan jiwa yang bergelora, mengubah iman ‘aql (rasional) menjadi iman qalb (keyakinan hati); 2. Melatih dan mengembangkan diri menuju tingkat kesempurnaan, dengan mengumpulkan sifat-sifat mulia dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela; 3. Memandang dunia materi hanya sebagai bagian kecil dari kehidupan yang luas yang merentang sampai hari yang kekal.[2]

Al Ghazalli mengatakan bahwa sufisme ditegakkan di atas Al Qur’an dan As Sunah. Maka ajaran-ajaran yang terkadung dalam sufisme adalah nilai-nilai Islam.[3] Diantara banyaknya ajaran dalam sufisme, penulis hanya akan menyebutkan dua saja, yang hemat penulis kedua ajaran sufisme ini dapat membantu membebaskan umat dari bencana kemiskinan.

  1. Zuhud

Terbayang dalam benak seseorang apabila mendengar kata “tasawuf” atau “sufi” adalah sesosok manusia yang serius, kalau tak malah murung, tak banyak bergaul dan cenderung sendiri, berpakaian seadanya serta hidup serba kekurangan, dan menghabiskan waktu-waktunya untuk melakukan ibadah (mahdhah).

Hakikat zuhud adalah tidak menyukai sesuatu dan menyerahkannya kepada yang lain. Barangsiapa yang meninggalkan kelebihan dunia dan membencinya, lalu mencintai akhirat, maka ia adalah orang zuhud di dunia. Derajat zuhud tertinggi adalah tidak menyukai segala sesuatu selain Allah Swt. bahkan terhadap akhirat.[4]

BACA JUGA  3 Hal Yang Bisa Memupuk Keimanan

Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H) menyebutkan tiga tahap zuhud yakni meninggalkan segala yang haram, meninggalkan hal-hal yang berlebihan dalam perkara yang halal, dan meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah.

Pertama, meninggalkan segala yang haram, maka menuntutnya untuk mencari rejeki dengan cara yang halal. Bekerja yang halal maksudnya ialah ia bekerja dilandasi dengan nilai-nilai Islam, seperti jujur, amanah, disiplin, profesional, adil dan semangat. Orang zuhud dalam pekerjaannya akan meninggalkan hal-hal yang dapat mendatangkan murka Allah, seperti korupsi, nepotisme, kolusi, suap-menyuap, merugikan orang lain, dan menindas orang lain.

Apabila mereka tidak menjadi karyawan pada suatu intansi perusahaan, maka ia akan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri yang mempunyai nilai sosial masyarakat. Dan hal itu dapat membantu kegiatan perekonomian umat sehingga lebih maju.

Kedua, menghindari hal-hal yang berlebihan walaupun halal, hal itu menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, dan menghindari hidup berfoya-foya, bermewahan. Zuhud melahirkan sikap menahan diri dari sifat boros pada hal-hal negatif dan memanfaatkan mengubah harta bukan saja sebagai aset yang mempunyai nilai ekonomis, namun juga harta memilki nilai sosial. Sehingga adanya harta dapat membantu sesama manusia yang sedang ditimpa musibah.

Ketiga, meninggalkan apa saja yang dapat memalingkan diri dari Allah Swt. hal itu menunjukkan bahwa setiap aktifitas perbuatan orang yang zuhud ia pandang sebagai wujud penghambaannya kepada Allah Swt. Ia akan menjalani kehidupan di dunia dengan memandang bahwa setiap makhluk adalah ciptaan-Nya yang wajib ia mulia, termasuk manusia. Ia akan bekerja dengan atas dasar agama dan ia berwirausaha dengan asas agama pula.

Namun, betulkah berbagai sikap yang tercermin dalam zuhud dapat membebaskan orang dari kemiskinan ? Nevaskar pernah meneliti keberhasilan kaum Quaker di Amerika dan kaum Jain di India. Kedua kelompok ini mempunyai empat nilai yang sama dalam sufisme yakni pasivisme, zuhud, kejujuran, dan berusaha mencari makanan yang halal. Secara ekonomis, kedua kelompok ini berhasil meningkatkan taraf perekonomian mereka.

  1. Al Itsar

Itsar artinya mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingannya sendiri. Sebagaimana firman-Nya  : Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.[5]

Jadi, itsar memiliki kebalikan arti dari sifat kikir. Orang yang mengutamakan orang lain berarti meninggalkan apa yang sebenarnya diperlukan untuk dirinya sendiri.[6]

Abu Ismail Al Harawi pengarang kitab Manazil As Sairin mengatakan bahwa itsar ada tiga derajat yakni 1. Lebih mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri dalam hal-hal yang tidak berkaitan dengan agama. Artinya, mendahulukan kemaslahatan bagi orang lain daripada kemaslahatan bagi dirinya sendiri, 2. Mengutamakan rida Allah Swt. daripada rida selain-Nya, sekalipun berat cobaannya. Artinya, seorang hamba berkehendak dan melakukan sesuatu yang dimaksudkan untuk mendapatkan rida Allah Swt., 3. Merasa dan menyadari bahwa itsar yang ada pada diri seorang hamba itu berkat karunia Allah Swt. bukan dari dirinya. Artinya, Allah Swt. lah yang membuat seorang hamba bisa mengutamakan rida Allah Swt. Apabila seorang hamba mengaku bisa mengutamakan selainnya, berarti dia memiliki kekuasaan.

Muhammad Fani, Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di IAIN Surakarta

[1] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Penerbit Mizan, 1986), hal. 96

[2] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Penerbit Mizan, 1986), hal. 99

[3] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-ceramah di Kampus, (Bandung: Penerbit Mizan, 1986), hal. 99

[4] Imam Abu Hamid Al Ghazalli, Mutiara Ihya Ulumuddin terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2008), hal. 357

[5] Abdul Mujieb, Ahmad Ismail, dan Syafi’ah, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al Ghazalli, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), hal. 210

[6] Abdul Mujieb, Ahmad Ismail, dan Syafi’ah, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al Ghazalli, (Jakarta: Mizan Publika, 2009), hal. 210

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru