30 C
Jakarta

Nikah Cina Buta dalam Perspektif Syari’at

Artikel Trending

Asas-asas IslamSyariahNikah Cina Buta dalam Perspektif Syari’at
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kehidupan yang kita jalani dalam berumah tangga, kasus perceraian kerap terjadi dalam masyarakat. Fenomena tersebut tidak dapat dipungkiri akan terjadi dalam masyarakat, walaupun itu tidak pernah diinginkan dan direncanakan. Tentu saja itu terjadi disaat tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah tidak lagi membuahkan hasil di antara mareka berdua. Setelah semua usaha gagal, barulah diperbolehkan menempuh cara terakhir yang disyariatkan Islam, sebagai jawaban terhadap kondisi darurat dan pemecahan terhadap permasalahan tersebut hanya bisa diselesaikan adalah perpisahan secara baik-baik. Cara inilah yang disebut dengan talak (perceraian). Islam membenarkan menempuh cara ini secara terpaksa, tidak pernah menganjurkan apalagi mendorongnya. Nabi saw. bersabda: “Diberitakan oleh Ahmad bin Yunus yang disampaikan oleh Mu’arif dari Mu¥arib ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: sesuatu yang halal tapi paling dibenci Allah Ta’ala adalah talak. (HR. Abi Daud).

Seorang laki-laki mengawini perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa-iddahnya kemudian mentalaknya dengan maksud agar bekas suaminya yang pertama dapat kawin dengan dia kembali disebut kawin “Cina Buta”. Orang Melayu menamakan nikah muhallil dengan istilah “Nikah Cina Buta”, yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang telah diceraikan suaminya sampai tiga kali. Setelah habis ‘iddahnya perempuan itu diceraikan supaya halal dikawini oleh bekas suaminya yang telah mentalaknya tiga kali. Ahli fikih tidak sepakat kebolehannya, mereka berbeda pendapat bagaimana jika seorang yang telah mentalak tiga isterinya itu meminta orang lain untuk menikahi mantan isterinya dengan syarat akan menceraikannya, misalnya untuk satu malam. Disini timbul perbedaan pendapat ulama, ada yang mengatakan bahwa nikah semacam itu boleh alias sah dan ada yang menolaknya.

Mazhab Syafi’iyah menghukumi nikah itu sah, sekalipun makruh selama tidak disyaratkan dalam akad nikah apa yang menjadi tujuan dasarnya. Adapun mazhab Malikiyah, Hambaliyah dan Syi’ah memandang niat atau tujuan tersebut secara tegas telah membatalkan akad nikah. (Muhammad Mawardi al-Basri, al-Hawi al-Kabir fi Fiqh…, h. 3035) Perbuatan seperti meminta laki-laki lain atau mengongkosi (upah) untuk menikah dengan perempuan yang ditalak tiga (nikah cina buta) dengan perjanjian cerai merupakan sebuah upaya mempercepat proses mempersatukan sebuah rumah tangga yang terlajur bercerai. Tindakan tersebut dibenarkan dalam fikih Syafi’i selama tujuan tersebut tidak diucapkan dalam akad dan tanpa mengenyampingkan rukun nikah itu sendiri.

Tindakan melaksanakan pernikahan tanpa menyebutkan maksud untuk menghalalkan seorang perempuan yang ditalak tiga di dalam akad nikah merupakan sebuah siasat (tipu daya) hukum, dimana pernikahan itu dilaksanakan seolah-olah seperti pernikahan biasa, padahal sesungguhnya pernikahan tersebut dilakukan untuk sementara waktu. Tindakan memanipulasi hukum seperti itu diistilahkan dengan ilah. Nikah cina buta itu lahir dari penafsiran firman Allah:  “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui“.(QS. Al-Baqarah’ [2]: 230)

BACA JUGA  Menelan Ludah Bercampur Darah, Batalkah Puasanya?

Dalam suatu riwayat, turunnya ayat di atas berkenaan dengan pengaduan ‘Aisyah binti Abdurrahman bin ‘Atik kepada Rasulullah saw:  “Diberitakan kepada kami oleh Sa’id ‘Ufairi ia berkata, diberitakan kepada kami oleh al Layi£ ia berkata, diberitakan kepadaku oleh ‘Uqaili dari ibn Syihab ia berkata, dikhabarkan kepadaku oleh ‘Urwah bin Zabir bahwa Aisyah menceritakan tentang isteri Rifa’ah al-Qursi mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata: wahai Rasulullah saw. sesungguhnya Rifa’ah telah mentalak saya dengan talak tiga, lalu saya dinikahi oleh Abdirrahman bin Zabir al-Qursi dan selama bersamanya seperti ujung kain (lemah syahwat). Rasulullah saw. menjawab: apakah kamu mau kembali kepada Rifa’ah? Jangan, sebelum ia merasakan madu kamu dan kamu merasakan madunya. Perkawinan dengan suami kedua (terhadap isteri yang telah ditalak tiga) merupakan sebuah syarat mutlak maksud ayat dan hadis di atas. Perkawinan tersebut harus dilakukan secara patut dan sah, jika suami kedua telah menceraikannya barulah bekas suami pertama dibolehkan kawin lagi dengan bekas isterinya itu. (Sunan Ibnu Majah, jilid I, h. 621. Lihat juga. Asy-Syafi’i, Al-Umm, jilid V, h. 248.)

Islam mengenal ada beberapa istilah dalam pernikahan. Salah satunya popular dengan istilah nikah “cina buta”. Asal mula istilah ini berasal dari bahasa ‘amiyah (pasaran), yang populer dalam masyarakat rumpun Melayu. Dalam kitab-kitab fikih berbahasa Arab tidak ditemukan sebutan istilah cina buta atau nikah cina buta, kecuali dijumpai dalam beberapa tulisan yang berbahasa Indonesia. Namun demikian istilah nikah “cina buta” sudah resmi dipakai dalam bahasa Indonesia dan telah terdapat dalam kamus Indonesia, yaitu terjemahan dari nikah tahlil (muhallil).  Menterjemahkan “nikah tahlil” dengan istilah “nikah cina buta”, yaitu seseorang laki-laki mengawini perempuan yang telah ditalak tiga kali sehabis masa-iddahnya kemudian mentalaknya dengan maksud agar bekas suaminya yang pertama dapat kawin dengan dia kembali.

Sebutan istilah “nikah cina buta” adalah sebutan masyarakat Melayu untuk pelaku nikah tahlil.[1] Perkawinan seseorang dengan suami yang kedua itu, seandainya hanya bermaksud supaya dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama, maka perkawinan itu dinamakan “al-muhallil wal muhalla lahu“, atau yang lebih populer dalam ungkapan bahasa Indonesia perkawinan “cina buta”. (Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, h. 122.) Istilah “nikah cina buta” merupakan sebutan yang sudah populer bagi pelaku nikah tahlildalam masyarakat Indonesia atau masyarakat Aceh. Jadi nikah cina buta adalah pernikahan antara seorang perempuan yang ditalak tiga dengan suami kedua. Setelah bermalam bersamanya lalu mentalak kembali dengan maksud setelah habis masa iddahnya dapat menikah kembali dengan suami pertama.

 

Tgk. Helmi Abu Bakar El-langkawi, Dewan Guru Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga dan Ketua PC GP Ansor Pidie Jaya, Aceh.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru