29.7 C
Jakarta

Ngaji Dustur: Kebobrokan Konsep Ijtihad Aktivis Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamNgaji Dustur: Kebobrokan Konsep Ijtihad Aktivis Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kanal YouTubeKhilafah Channel’ kembali menggelar kajian online spesial Ramadhan 1441 Hijriah. Pada Selasa (12/5) kemarin, mereka ngaji Muqaddimah Dustur Pasal 9, yaitu tentang ijtihad. Sebagaimana kita ketahui, Muqaddimah Dustur adalah kitab UUD Khilafah. Kajian tersebut melanjutkan episode sebelumnya, dengan pasal dan topik yang berbeda.

Dimulai dari prolog moderator, yang langsung membuat saya muak karena tidak bisa melafalkan mukadimah secara tepat. Ia salah ketika bershalawat kepada Nabi, ketika berujar begini: Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala alihi sayyidina Muhammad (perhatikan kata yang bold). Tidak lama-lama untuk menyimpulkan, sang moderator ternyata baru belajar Islam.

Syamsuddin Ramadhan diundang sebagai pemateri, seperti di edisi sebelumnya. Pada deskripsi identitas pemateri, ia disebut ‘ulama’. Tentu saja ulama di situ adalah ulama versi para dedengkot HTI. Bukan Gus Mus, bukan Quraish Shihab, tetapi Syamsuddin Ramadhan. Dan kali ini ia yang akan meng(k)aji dustur pasal 9: ijtihad. Ia berkata:

“Dalam pasal 9 ini, kita dijelaskan bahwa ijtihad merupakan hak seluruh Muslimin, selama mereka memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Jadi ijtihad ini hakikatnya adalah, satu hukum syariat yang telah dibebankan Allah Swt., yang dari sisi khitab adalah untuk kaum Muslim… Saya akan membacakan pasal 9: ألإجتهاد فرض كفاية, ولكل مسلم الحق بالإجتهاد إذا توفرت فيه شروطه”

Sekitar setengah jam, materi disampaikan, dan kini sudah ditonton lebih seribu kali. Tulisan ini berusaha menelanjangi kekeliruan-kekeliruan yang, menurut saya, disengaja. Ada pembelokan pemahaman tentang ijtihad, bahkan memberikan statement yang tidak benar tentang ulama terdahulu. Terakhir, mereka mengerucutkan ijtihad ke dalam agenda indoktrinasinya: khilafah.

Melancipkan lingkup hukum Allah ke dalam tataran ideologis adalah sesuatu yang fadhu ‘ain untuk ditentang. Segala yang diuraikan barangkali akan dianggap benar, jika tidak jeli menyimak, atau disimak oleh orang yang baru mengenal Islam. Para dedengkot khilafah sangat apik mengemas kajiannya. Padahal, ketika menguraikan tentang ijtihad, mereka, atau si pemateri, banyak kelirunya.

Kesalahan Memaknai Ijtihad

Ada beberapa poin penting yang harus ditelaah secara kritis dari uraian Syamsuddin Ramadhan. Pertama, anggapan ‘keterikatan terhadap syariat Islam sebagai refleksi keimanan’. Lazim diketahui, syariat adalah konsekuensi logis dari status kita sebagai Muslim. Mengaku Muslim, berarti harus menaati syariat. Sampai di sini, mereka benar. Tetapi, benarkah satu-satunya jalan terikat syariat adalah dengan melakukan ijtihad?

Tidak. Syariat itu sudah ditentukan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Rasul dalam hadis. Ada yang berhukum wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram. Ijtihad tidak terikat dengan syariat. Syariat adalah satu, dari sekian area ijtihad: ijtihad adalah cara mengkontekstualisasi syariat menghadapi kompleksitas kehidupan. Orang Islam boleh berijtihad dan boleh tidak, tetapi tetap wajib menegakkan syariat. Syariat bersifat fardhu ‘ain, sementara ijtihad adalah fardhu kifayah.

Kedua, ketika Syamsuddin menafsirkan al-Nisa’ [4]: 65, mengatakan: “…Bahwasanya orang yang tidak mau bertahkim, tidak mau berhukum dengan hukum Allah dan Rasul, maka hakikatnya mereka adalah orang-orang yang tidak beriman. Jadi apabila orang menolak untuk bertahkim dengan syariat Islam, maka tidak ada keraguan, mereka tidak memiliki keimanan. Ayat lain menjelaskan, seperti dalam al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47.

BACA JUGA  Polarisasi dan Disintegrasi: Residu Pemilu yang Harus Diantisipasi

Apakah benar kata yuhakkimûka dalam ayat tersebut berarti tahkim sebagaimana ditafsirkan para dedengkot khilafah itu?

Salah. Keliru fatal. Al-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib mengatakan, ayat tersebut turun berkenaan dengan kisah orang Yahudi dan orang munafik. Riwayat lain menyebutkan, ia turun berkaitan dengan polemik Urwah bin Zubair dengan lelaki Anshar. Lalu kenapa Syamsuddin mengaitkannya dengan surah al-Maidah [5]: 44, 45, dan 47?

Para dedengkot khilafah tidak paham makna ijtihad, lalu memakai ayat-ayat Al-Qur’an secara serampangan. Konsep ‘tahkim’ yang mereka gaungkan persis apa yang diuraikan Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Zhilal al-Qur’an.  Tahkîmiyah adalah salah satu doktrin ideologi khilafah. Mereka berusaha membelokkan definisi ijtihad terhadap doktrin tersebut.

Bahkan untuk agenda busuk tersebut, mereka juga memfitnah ulama terdahulu terkait dengan pintu ijtihad. Benarkah para ulama menutup pintu ijtihad?

Dedengkot Khilafah Memfitnah Ulama

Di Indonesia, ijtihad adalah sesuatu yang lumrah bahkan niscaya. NU dan Muhammadiyah memakainya sebagai kontekstualisasi hukum syariat, dari zaman ke zaman, dari tempat ke tempat yang lain. Sehingga syariat Islam, secara aplikatif, senantiasa shalih li kulli zaman wa makan.

Tidak ada yang berani mengatakan, pintu ijtihad sudah ditutup, kecuali itu ungkapan usang yang memfitnah al-Ghazali dan memojokkan imam mazhab. Tidak ada ulama terdahulu yang mengatakan menutupnya. Bermazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali bukanlah bentuk taklid. Sebagai turats, ia tidak lantas dibuang. Turats memiliki spirit pembaharuan dan istinbat hukum yang kuat, yang bisa diaktualisasi di era sekarang.

Pernyataan Syamsuddin bahwa “Orang-orang di era (empat mazhab) itu merasa pkewoh dengan keilmuan ulama sebelumnya… menyerukan untuk tidak melakukan ijtihad” adalah pernyataan yang tidak berdasar, fitnah, bahkan bertentangan dengan doktrin kesempurnaan Islam. Para dedengkot khilafah selalu berseru, Islam sudah sempurna sendiri, tetapi di saat yang lain juga menganggap ijtihad selalu butuh pembaruan.

Kenapa konsepnya amburadul? Apa sebenarnya yang mereka anggap ijtihad?

Dari amburadulitas itu lantas kita memahami, konsep ijtihad yang diusung para dedengkot khilafah adalah dalam arti negatif: “memperbarui sistem negara”. Mereka menganggap penegakan syariat di negeri ini tak sempurna, dan harus ada upaya ijtihad menggantinya dengan sesuatu yang dianggap lebih tepat: khilafah.

Mereka membungkus ideologinya sebagai ‘syariat’, dan membungkus indoktrinasinya sebagai ‘ijtihad’. Ng(k)aji dustur pun tak lebih dari usaha memprovokasi umat, serta membelokkan arti syariat dan ijtihad itu sendiri. Sedemikian kejam agenda mereka: membobrokkan sistem yang berlaku dengan menjelekkan ulama masa lalu.

Di tengah gonjang-ganjing indoktrinasi saat masa wabah ini, memperkuat keislaman adalah hal yang utama. Tetapi, mencari tokoh yang pas, yang benar-benar memahami konsep syariat dan ijtihad, juga adalah syarat yang tidak bisa ditinggalkan. Jika tidak, maka provokasi dedengkot khilafah akan menua keberhasilan signifikan.

Ada banyak ulama yang alim dan benar, di negeri ini. Kenapa harus memilih dari kalangan para dedengkot khilafah?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru