29.7 C
Jakarta
Array

Ngajak Orang Baca, Tetapi Ia Malas Baca Sendiri

Artikel Trending

Ngajak Orang Baca, Tetapi Ia Malas Baca Sendiri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengajak orang membaca belakangan menjadi tren. Lapak-lapak baca bermunculan. Perpustakaan komunitas juga makin marak. Bantuan buku didistribusikan. Namun satu pertanyaan, adakah yang membacanya dengan serius?

Atas nama perjuangan literasi, kerap kali program demikian dibuat. Relawannya pun banyak. Ini sangat positif. Setidaknya, untuk lebih mendekatkan buku pada masyarakat. Buku-buku itu harus datang ke masyarakat, tidak hanya tertata rapi di rak perpustakaan.

Tetapi jika digali lagi efektifitasnya, mungkin perlu banyak evaluasi. Misalnya, buku-buku disajikan melalui lapak-lapak. Pengunjung datang, melihatnya sekilas, mungkin membaca sebagian. Berapa persen yang kemudian tertarik untuk membawanya ke rumah dan membaca habis?

Atau, berapa banyak yang terpantik untuk memiliki bukunya sendiri. Sebagian lagi mungkin justru ingin mendengar cerita.

Suatu ketika ada lapak buku digelar, pengunjung melihat lihat bukunya, dan bertanya isinya secara umum menyangkut tentang apa?

Ternyata relawan yang menggelar lapak buku jalanan itu belum bisa menjawab, karena belum baca juga. Entah berapa persen relawan lapak buku jalanan yang juga sekaligus sebagai pembaca bukunya.

Padahal, dengan membaca bukunya terlebih dahulu, justru bisa terjadi dialog antar pengunjung. Setidaknya, relawan bisa memberikan pantikan terkait isi buku tersebut. Seputar apa isinya, lalu seberapa pentingnya dibaca.

Persis ketika pelapak menjelaskan barang dagangannya. Bayangkan ketika kita menjual suatu barang yang tidak kita tahu spesifikasi dari barang yang kita jual. Kita akan tergeragap ketika ditanya pembeli.

Namun pelapak buku bukan pedagang. Tentu saja. Mereka relawan, yang mewakafkan waktunya demi mendekatkan buku kepada masyarakat. Mereka pejuang literasi yang tanpa pamrih. Rela tidak dibayar dan harus berlelah-lelah membawa tumpukan buku yang beratnya berkilo-kilo.

Karena itulah, relawan justru yang harusnya paling memetik faedah dari kerja sosialnya. Jangan menjadi lilin yang menyinari sekitar, namun sendirinya meleleh. Itu masih mending. Daripada sudah tidak menyinari, tetapi meleleh juga.

Sebab bagaimanapun, membaca adalah kegiatan individual. Kembalinya ke individu. Ini berbeda dengan penggalangan dana untuk korban bencana, atau gotong royong untuk membantu sesama.

Seringkali orang suka membaca, justru bukan terkesan pada buku pertama yang ia baca, namun terkesan pada seseorang yang banyak membaca. Saya misalnya, terkesan dengan beberapa figur inspiratif, yang mereka begitu cerdas nan berwawasan, karena suka membaca buku.

Inspirasi itulah yang membuat langkah saya begitu ringan menuju perpustakaan, sekalipun harus menempuh jarak puluhan kilometer. Karena terinspirasi dengan orang tersebut.

Lapak buku jalanan yang ada sebenarnya bukan hanya menawarkan buku yang bisa dibaca, namun juga mempertemukan masyarakat dengan seorang pembaca yang inspiratif.

Bisa jadi, pengunjung tertarik membaca justru bukan karena melihat buku-buku yang tersedia, namun karena takjub dengan perbincangan singkat dengan pelapaknya yang berwawasan luas dan memiliki cara pandang berbeda.

Pada akhirnya, kekuatan sejati tidak terletak pada bukunya. Namun pada kekuatan pikiran. Buku hanyalah sekumpulan kertas yang dicetak, dijilid, dan disampuli. Isinyalah yang kuat. Relawan literasi atau pelapak buku jangan sampai kalah kharisma dengan bukunya.

Menyiapkan pembacanya

Saat ini, distribusi buku sudah lumayan baik. Toko-toko buku banyak, bahkan sampai di pelosok. Atau lewat online. Tiap daerah hampir selalu memiliki perpustakaan daerah. Belum lagi taman baca, perpustakaan jalanan dan komunitas.

Ketersediaan buku bacaan harus terus digiatkan, namun jangan sampai lupa, penting juga menyiapkan pembacanya. Karena itu literasi tidak cukup sekedar menyediakan buku, atau membaca. Perlu juga diskusi, menulis, dan berikutnya teraplikasi secara pribadi dalam kehidupan sosialnya masing-masing.

Saat ini semangat penyediaan buku itu yang sedang marak. Perlahan, gerakan literasi tidak cukup hanya membaca. Namun juga mendiskusikan apa yang dibaca, selanjutnya bacaan-bacaan itu jadi salah satu “bahan bakar” menulis.

Pada tahap menulis, membaca bisa memiliki makna yang luas. Tidak sekedar membaca buku, namun juga membaca diri sendiri, dan realitas sosial yang lebih luas.

Namun pengayaan diksi, pemetaan wacana, dan pengasahan pola pikir disumbang dari membaca buku. Tanpa membaca, tahapan lain akan sulit dilalui. Diskusi akan hambar tak berisi jika tak disertai sumber argumentasi. Menulis tak akan pernah terlaksana dan selesai jika kurang bahan bacaan.

Jangan sampai perjuangan literasi hanya terhenti pada penyediaan bahan bacaan. Harus melangkah lebih jauh. Apalagi, saat ini bahan bacaan sudah banyak tersedia di perpustakaan dan sebagian diformat secara elektronik. Belum lagi sumber bacaan dari website yang bejibun, khususnya dari situs-situs yang punya kredibilitas tertentu.

Perlu dipersiapkan pembacanya. Komunitas berperan, misalnya dalam komunitas menulis. Ketika seseorang menggeluti dan menekuni menulis, maka otomatis ia akan menjadi seorang pembaca.

Begitu pun dengan kelompok diskusi, mereka juga sebagian pada akhirnya akan menjadi pembaca. Meski antusiasme untuk kelompok diskusi dan komunitas menulis mungkin lebih sedikit dibanding kelompok baca atau gerakan donasi buku.

Jangan sampai buku-buku banyak tersedia, namun tidak ada lagi pembacanya. Karena kita selalu terpaku bahwa gerakan literasi itu berarti mengoleksi buku. Penting untuk menyiapkan pembacanya. Ketika pembaca sudah ada, maka dimanapun keberadaan buku pasti akan dicari. []

(*) Pegiat Literasi

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru