29.7 C
Jakarta

Negeri dan Kepentingan Politik

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuNegeri dan Kepentingan Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Komunikasi Politik dalam Masyarakat Tidak Tulus, Penulis: Nurudin, Penerbit: Prenada, Cetakan: I, Juli 2020, Tebal: xiv + 200 halaman, ISBN: 978-602-383-060-2, Peresensi: Sam Edy Yuswanto.

Buku berisi kumpulan opini ini membahas perihal dinamika perpolitikan di negeri ini yang sarat dengan kepentingan-kepentingan di dalamnya. Tak hanya itu, bila dicermati, ternyata dunia politik juga terkandung intrik dan drama penuh ketegangan yang bisa menjadi penyebab masyarakat terpecah belah. Bahkan tak jarang nyawa pun melayang karenanya.

Politik, sebagaimana diungkap Nurudin dalam buku Komunikasi Politik dalam Masyarakat Tidak Tulus ini, memang tetap politik yang mempunyai dunianya sendiri. Ia memang tak bisa dirasionalkan. Seteru bisa menjadi teman sejati. Sementara itu, teman sejati dalam sekejap pun bisa menjadi lawan.

Berdasarkan pengamatan Nurudin, sebenarnya masalah carut-marut kehidupan politik di negeri ini sejak dahulu hingga kini bermuara pada satu hal, yakni berkembang-biaknya komunikasi masyarakat yang tidak tulus. Tidak tulus di sini adalah penuh kepura-puraan. Penuh simbol-simbol artifisial. Penuh basa-basi. Penuh sopan santun tetapi hanya dalam lahiriah semata. Akibatnya, kepentingan berada pada semua bentuk hubungan dalam berkomunikasi.

Parahnya, ketidaktulusan ini kemudian memengaruhi sikap dan perilaku mereka. Salah satunya merembet ke kehidupan politis. Lalu kehidupan perpolitikan juga dihuni elite yang tidak tulus. Akhirnya, ketidaktulusan elite itu menghasilkan produk kebijakan yang tidak tulus pula. Kemudian, menguatkan ketidaktulusan masyarakat yang memang tidak tulus itu. Jadi, ibarat spiral ketidaktulusan. Atau sebut saja, lingkaran setan ketidaktulusan (hlm. v).

Saya sepakat dengan pendapat Nurudin, penulis yang juga berprofesi sebagai dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dalam buku ini. Menurutnya, negeri ini penuh dengan skenario politik. Hal inilah yang mesti dijelaskan kepada masyarakat luas. Pemerintah punya skenario, kelompok masyarakat yang berseberangan dengan pemerintah juga punya skenario. Sementara itu, masyarakat sering kali menjadi korban skenario elite politikus yang ada.

Mengapa hal tersebut perlu dijelaskan kepada masyarakat? Pertanyaan ini mungkin tercetus di benak sebagian kita. Jawabannya tentu agar masayarakat tidak mudah tergiring dengan opini atau perilaku skenario elite-elite politisi tersebut. Selamanya, elite-elite tersebut adalah para pemain politik, sementara masyarakat sering dijadikan “alat” untuk mencapai tujuan skenarionya. Dengan kata lain, elite sering meminjam tangan masyarakat untuk meraih ambisi politisnya [hlm. 3].

Alasan lain, sebagaimana dipaparkan oleh Nurudin, mengapa masyarakat perlu mengetahui hal tersebut ialah; pertama, agar masyarakat tidak terantuk batu kesekian kali untuk memilih elite politisi di masa mendatang. Kedua, agar masyarakat tidak mudah tergiring pada perilaku di luar kenyataan yang ada. Alasannya, sebagian besar perilaku elite hanya sebuah drama yang sedang diperankan dengan lakonnya. Ketiga, menyindir elite politisi bahwa perilakunya selama ini penuh dengan kesemuan belaka.

BACA JUGA  Nasionalisme itu Solusi, Khilafah itu Polusi

Partai Politik

Seorang pemimpin sekelas presiden, ia harus berani mengambil risiko yang bisa jadi berlawanan dengan partai politik yang telah berjasa mengantarkannya menjadi pemimpin. Misalnya, saat ia memutuskan suatu kebijakan atas suatu persoalan pelik, maka ia harus bisa mengambil keputusan yang memihak kepada rakyat. Selama ini, kita telah dibuat jenuh dan muak dengan aneka rupa kebijakan yang justru tidak memihak rakyat secara luas. Lantas, kebijakan macam apa sebenarnya yang mereka buat bila tak memihak pada rakyat secara luas? Jangan-jangan hanya sekadar memuaskan dahaga dan memihak kepentingan partai dan golongannya?

Dalam buku ini, Nurudin menyentil sikap penguasa dengan begitu cerdas. Ia menegaskan, bahwa negeri ini bukan milik partai (semua pejabat publik harus memahami hal ini). Memang benar, partai itu kendaraan politikus untuk mencapai kekuasaan politisnya. Sebaiknya juga, semua partai politik punya kebijakan bahwa setelah tujuannya tercapai dalam menggapai kekuasaan ia harus mengkhidmatkan diri menjadi milik bangsa, tidak lagi mendahulukan kepentingan partai. Jika tidak seperti ini, maka negeri ini hanya akan terus dihuni para penguasa yang mementingkan dendam saja. Sebelum berkuasa, ia dendam pada partai penguasa, giliran berkuasa perilakunya tak jauh berbeda.

Penting dipahami bersama, bahwa presiden memang jabatan politis. Artinya, untuk menjadi pemimpin tertinggi harus melalui perjuangan, kendaraan, dan bahkan intrik politis. Masalahnya adalah apakah seorang pemimpin itu memiliki sifat kenegarawanan berdasarkan jiwa kerakyatan atau tidak? Jika tidak, yang terjadi adalah pemimpin itu hanya mementingkan keselamatan jabatan dan partai pendukungnya, siapa pun partai pendukungnya itu [hlm. 42].

Opini-opini yang terangkum dalam buku ini sangat menarik dan enak dibaca (karena dikemas dengan bahasa yang tidak ndakik-ndakik sehingga mudah dipahami oleh siapa pun pembacanya) untuk selanjutnya menjadi bahan renungan bersama. Melalui buku ini pula, penulis seolah hendak mengajak kepada masyarakat luas agar berusaha santai dalam berpolitik, jangan terlalu menggebu-gebu mendukung si A, si B, Partai Anu, Partai Itu, dan seterusnya. Karena, sekali lagi saya tegaskan, dunia politisi penuh dengan intrik, sebagaimana pernah disindir dengan begitu jenaka oleh Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul Asik Nggak Asyik:

“Dunia politik penuh dengan intrik, cubit sana cubit sini itu sudah lumrah. Seperti orang pacaran, kalau nggak nyubit nggak asyik. Dunia politik penuh dengan intrik. Kilik sana kilik sini itu sudah wajar. Seperti orang adu jangkrik, kalau nggak ngilik nggak asyik.”

Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto
Bermukim di Kebumen, tulisannya dalam berbagai genre tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru