25.9 C
Jakarta

Nataru, ‘Target Favorit’ Teroris

Artikel Trending

Milenial IslamNataru, ‘Target Favorit’ Teroris
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Nataru (Natal dan Tahun Baru) sudah berjalan beberapa hari. Namun, kekhawatiran tetap mengiringi dan menghantui. Nataru kali ini mungkin tidak seperti Nataru-nataru sebelumnya. Namun tetap saja Nataru 2022 menjadi momen kalabu.

Nataru berpotensi terjadinya ancaman munculnya aksi terorisme. Meski menurut beberapa peneliti sangat kecil ancaman yang akan terjadi. Prediksi itu tidak selalu benar. Karena menjelang Natu kemarin, sudah terjadi bom bunuh diri yang disengaja menyembutnya dengan teror.

Maka itu, bukan tidak mungkin Nataru kali aman dari rutinitas bom dan teror yang selama ini terjadi. Kendati aparat pengaman harus memperketat keamanan sebaik mungkin, baik tempat ibadah, pusa-pusat keramaian dan juga tempat-tempat pos polisi sendiri.

Kambuhnya Teroris

Kambuhnya teroris saat perayaan Natal harus diwaspai. Sebab, sepanjang Desember ini, polisi telah menangkap 26 terduga terorisme baik dari jaringan JAD dan JI di lima provinsi. Oleh sebab itu, sudah pasti para teroris sangat marah, sakit hati, tidak terima dan karena itu pula, mereka hanya menunggu momen pas untuk berbalas dendam.

Apalagi, diperkuat dengan ideologi dan argumen keagamaan teroris yang sudah mereka pegang dan percaya. Bahwa dengan bom-bom yang mereka ledakkan di Nataru menjadi bagian dari Jihat. Jika mereka melakukan itu semua, dianggapnya sudah sempurnalah keagamaan mereka.

Dalam catatan sejarah, sudah tidak asing dan terlalu panjang catatan bom yang mereka lakukan dalam aksi bom Nataru. Kita tahu, aksi-aksi teror di malam Natal hingga tahun baru, telah berlangsung lama sejak tahun 2000, yang menelan banyak korban jiwa. Serangan terakhir terjadi pada 7 Desember 2022 lalu, yaitu aksi bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, yang menewaskan satu orang polisi dan sembilan luka-luka.

Aksi Teror di Penghujung Tahun

Sebagai pengingat, rangkain aksi-aksi teror di Indonesia telah terjadi beberapa kali di penghujung tahun baru. Misalnya, pada malam Natal, 24 Desember 2000, rangkaian bom yang diotaki kelompok JI meledak di beberapa gereja di sejumlah kota di Indonesia, dengan mengakibatkan belasan orang meninggal dan puluhan luka-luka.

Dua tahun kemudian, pada 1 Januari 2002, terjadi ledakan bom di Jakarta dan beberapa gereja di Palu dan Poso. Di tahun yang sama, pada Oktober serangan bom mengguncang Bali dan menewaskan ratusan orang dan luka-luka.  Bahkan hingga sekarang, mereka tidak sembuh hingga sekarang, sementara pelakunya telah berkeliaran keluar alias dibebaskan.

BACA JUGA  Telaah Efektivitas Kontra-Terorisme: Antara Deradikalisasi dan Kontra-Propaganda

Lalu berulang kembali, pada 12 Desember 2004, sebuah ledakan bom menggetarkan Gereja Immanuel, di Palu. Dan masih di kota yang sama, bom di sebuah pasar menewaskan puluhan orang pada 31 Desember 2005. Oleh sebab itu, Nataru kali ini, tidak boleh terjadi lagi. Pemerintah harus berjiwa perkasa dengan mengedepankan deteksi dini, serangan preventif, dan penjagaan ketat di tempat ibadah dan pusat keramaian lainnya.

Nataru, ‘target’ teroris

Perlu diketahui, Nataru menjadi target favorit teroris. Ini tidak bisa dipungkiri. Sebagaimana kata ‘pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta, aksi teror di Indonesia kerap terjadi di periode tertentu yang menjadi target pilihan para teroris, seperti Nataru. Nataru menjadi waktu favorit mereka beraksi.

Kedua, adalah saat perayaan HUT Kemerdekaan RI setiap 17 Agustus, sebagai bentuk perlawanan terhadap negara. Kemudian, saat bulan puasa. Alasannya, karena teroris beranggapan aksinya akan mendapat pahala berlipat ganda ketika ngebob di bulan Puasa.

Ketiga, adalah pengeboman di hari-hari tak nentu alias hari pembalasan. Misalnya mereka beraksi sekadar ingin memperingatkan bahwa apa yang musuh mereka lakukan tidak benar. Seperti, aksi Agus di Astanaanyar lalu yang diduga dipicu kematian pemimpin ISIS di Timur Tengah dan mereka melakukan aksi balasan.

Atas dasar itu, kita sebaiknya perlu waspada. Kita belum tahu apa yang bakal terjadi hari ini dan hari esok ke depan. Yang paling penting, kenangan kelam masa lalu jangan sampai terjadi kembali di masa kini. Ledakan bom bukanlah suatu seni untuk membahagiakan, meninggikan martabat, dan membaguskan peradaban keagamaan.

Teror bom adalah bentuk keringkihan dalam beragama, yang takut kalah, takut bersaing, dan tidak utuh sebagai penganut agama. Tak ada agama yang baik, ketika suatu agama mengancam keamanan orang. Oleh sebab itu, dibutuhkan sinergitas bersama untuk mencegah terjadinya aksi teror pada Nataru 2022 ini.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru