30 C
Jakarta

Nasrudin Joha, Narasi Radikal, dan Literasi Siluman ala eks-HTI

Artikel Trending

KhazanahOpiniNasrudin Joha, Narasi Radikal, dan Literasi Siluman ala eks-HTI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis—literasi—adalah bekerja untuk keabadian,” (Pramoedya Ananta Toer). “Kesusastraan adalah hasil proses yang berjerih payah, dan tiap orang yang pernah menulis karya sastra tahu ini: ini bukan sekadar soal keterampilan teknik. Menulis menghasilkan sebuah prosa atau puisi yang terbaik dari diri kita adalah proses yang minta pengerahan batin,”(Goenawan Mohamad).

Quote tersebut lahir dari dua sosok hebat dalam dunia literasi, Pram dan GM. Baik Pram maupun GM memiliki konsen dalam kesusastraan, tetapi keduanya berbeda haluan. Pram, sastrawan penerima Ramon Magsaysay Award pada tahun 1995 itu pernah saling berkirim surat dengan GM. Ia merespon surat terbuka GM yang meminta Pram menerima permintaan maaf Gus Dur, sebagaimana Nelson Mandela berekonsiliasi dengan para musuhnya.

Kendati keduanya berbeda haluan, namun dalam hal literasi, keduanya berada dalam satu rel: sama-sama menganggap literasi sebagai yang sakral. Sama-sama meyakini bahwa menulis tidak sekadar merangkai kata belaka. Ada peghayatan, ada analisis, dan menulis tidak pernah tercitrakan negatif. Semua penulis adalah orang yang benar, dan profesi tersebut mulia sekali. Tetapi, ternyata tidak demikian. Beberapa orang bisa menulis dan menjadikan keterampilannya justru untuk merusak.

Tak semua penulis ternyata seperti Pram, GM, atau Seno Gumira Ajidarma. Keterampilan khusus yang dimiliki beberapa penulis tak digunakan untuk mengeksplor ide, justru untuk memelintir, dan membuat narasi jorok yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satunya ialah, penulis fenomenal, penulis siluman. Siapa lagi kalau bukan Nasrudin Joha. Sebenarnya nama ini fiktif. Bukan asli. Ia menjadi juru bicara HTI unofficial. Tak tampak ke publik, tapi narasinya intens sekali.

Teka-teki Nasrudin Joha

Kefiksian Nasrudin Joha bukan penyamaran amatir, itu saja. Konon, penamaan Nasrudin Joha merupakan pelesetan dari nama seorang filsuf asal Turki, Nasruddin Hoja. Ia terkenal dengan keahliannya menyampaikan kebenaran melalui humor. Keterampilan menulisnya cukup provokatif, cukup kuat untuk membuat pembaca terhasut hingga membeci pemerintah, NKRI, dan terjerumus dalam utopia khilafah. Siapa pun itu, yang jelas ia bukan orang sembarangan.

Jum’at (10/1/2020) kemarin, beredar kabar bahwa polisi menangkap sosok yang diduga Nasrudin Joha. Namanya Ahmad Khozinuddin, SH, berasal dari Magelang, Jawa Tengah. Ia kemudian langsung ditahan oleh Cyber Patrol Mabes Polri atas tuduhan ujaran kebencian (hate speech) dan hoax. Sayangnya tidak ada media manapun yang memberitakan penangkapan tersebut. Hingga Khozinuddin ditahan, beberapa orang masih menganggap Nasrudin Joha asli tetap jadi teka-teki.

Minggu (12/1/2020) kemarin, beredar klarifikasi dari Khozinuddin, yang ternyata Ketua LBH Pelita Umat. Dalam suratnya, Klarifikasi Status Hukum Ketua LBH Pelita Umat, ia mengaku ditangkap pada Jumat, dini hari. Ia mengaku dijerat pasal 14 ayat (2) dan 15, UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan pidana dan/atau pasal 207 KUHP. Dalam sebelas poin klarifikasi tersebut, ia juga mengklaim tidak kenal dengan Nasrudin Joha. Berikut penggalan suratnya, dilansir dari Duta.co:

“[3] Bahwa ihwal yang menjadi dalih penangkapan saya adalah karena unggahan 5 (lima) buah artikel dri penulis Nasrudin Joha di laman Facebook milik saya… [4] Bahwa saya telah diambil keterangan … bahwa saya bukan, tidak kenal, tidak tahu, dan tidak pernah berjumpa dengan sosok penulis Nasrudin Joha.. saya suka mengcopy dan memposting ulang tulisan Nasrudin Joha yang terkenal viral di sosial media karena kritis, mencerahkan, memberi alternatif perspektif…”

Lalu siapa Nasrudin Joha yang asli? Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting. Tetapi ada yang lebih penting diketahui, yaitu betapa provokasi eks-HTI itu belum bubar. Ia hanya tak punya badan hukum. Dakwahnya kini tak lagi melalui orasi, melainkan literasi. Tentu, itu jauh lebih berbahaya.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

Hati-Hati Literasi eks-HTI

Ketika badan hukum HTI dicabut, pada Senin (7/5/2018) lalu, apakah secara otomatis dakwah mereka selesai? Jawabannya adalah: sama sekali tidak. Dilansir Kompas.com, pihak HTI mengaku akan tetap berdakwah, sebab yang dicabut hanya badan hukumnya. Itu artinya, Surat Keputusan menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 itu, bagi aktivis HTI, hanya pembubaran nama belaka. Sampai di sini kita segera paham, kenapa literasi eks-HTI memiliki basis yang kuat.

Lalu kenapa eks-HTI memakai penulis siluman? Jawabannya adalah: demi keberlangsungan dakwah literasi itu sendiri. Kita semua tahu, jejak digital lebih efektif daripada segala media yang ada. Persekusi adalah konsekuensi logis dari perseteruan di dunia maya. Mengemukanya identitas personal hanya akan membahayakan diri sendiri. Di samping itu, UU ITE mengintasi setiap gerak digital kita. Penghinaan, berita bohong, dan lainnya, bisa dijerat hulum. Itulah alasan penyembunyian identitas.

Prinsipnya, eks-HTI ingin dakwah khilafah tetap berlangsung di republik ini. Literasi adalah media yang mereka pilih. Tetapi mereka tak butuh ‘nama’ penulis, mereka hanya butuh ‘tulisan’nya. Lahirlah nama pena Nasrudin Joha. Tulisannya bagus. Diksinya apik. Analisisnya tajam, meski seringkali dipaksakan, dibuat-buat. Tampak, jelas ia bukan penulis amatiran. Ia memiliki keterampilan sigap merespons segala isu secepat wartawan membuat berita headline.

Melalui laman Facebook, Nasrudin Joha melancarkan provokasinya. Menuduh Pancasila sebagai ideologi kontra-Islami, menganggap khilafah sebagai solusi Muslim Uighur, sembari mencuci tangan, melakukan playing victim dengan mengklaim diri sebagai ‘Advokat Pejuang Pembela Umat’. Yang terakhir ini bahkan dilakukan oleh Khozinuddin sendiri, pada Senin (13/1/2020) kemarin. Apakah ia benar Nasrudin Joha atau sekadar alibi, belumlah jelas. Tetapi kita memang harus hati-hati dengan kekuatan literasi. Apalagi ini literasinya eks-HTI.

Literasi eks-HTI pasca Nasrudin Joha

Jika Khozinuddin memang benar sosok di balik Nasrudin Joha, maka nasib literasi eks-HTI ke depan—barangkali—dalam masa berkabung. Tetapi saya tidak yakin demikian. Semua yang terjadi pasti sudah dalam pertimbangan para dedengkot eks-HTI. Khozinuddin, melalui surat klarifikasinya, mengaku tidak mengenal Nasrudin Joha. Tetapi pada saat bersamaan laman Facebook Nasrudin Joha memuat tulisan Khozinuddin atas nama Ketua LBH Pelita Umat. Rasanya, peran siluman tengah dimainkan.

Peliknya siasat penulis siluman memaksa kita memiliki kepekaan yang tak kalah tinggi, agar siasat tersebut bisa dipahami. Eks-HTI sedang berusaha mengecoh kita, termasuk pihak kepolisian, tentang sosok Nasrudin Joha itu sendiri.

Tetapi untuk melakukan dualitas peran Khozinuddin dan Nasrudin Joha, eks-HTI pasti butuh aktor ketiga yang juga mumpuni dalam bidang literasi. Spekulasi pun bertambah, jangan-jangan keduanya hanya umpan belaka? Jangan-jangan yang benar asli masih berjibaku di atas mesin ketik?

Khozinuddin bisa saja tertangkap. Tetapi Nasrudin Joha sudah kadung menjadi simbol literasi siluman ala eks-HTI. Biar pun satu Nasrudin Joha tertangkap, Joha yang lain akan lahir. Begitupun seterusnya. Eks-HTI punya militansi tinggi, yang siap meyediakan (atau membayar?) penulis andal bergerak secara siluman, menjadi penulis bayangan semua narasi-narasi eks-HTI. Di balik intrik tersebut, pemangku kebijakan sepenuhnya adalah Biro Politik (Lajnah Siyasiyah) para aktivis eks-HTI.

Kendati demikian, masa depan literasi eks-HTI pasca Nasrudin Joha, atau pasca ditangkapnya Khozinuddin, tergantung intrik politik eks-HTI itu sendiri. Selama literasi merupakan basis dakwah provokatif mereka, maka Nasrudin Joha adalah simbol keberhasilan penyamaran literasi. Literasi siluman ala eks-HTI, dengan demikian, akan tetap hidup. Baik melalui simbol Nasrudin Joha, atau mungkin nama fiktif lain dengan kapasitas keterampilan menulis yang setara, atau lebih baik sekalipun.

Untuk semua siasat menyebalkan yang dioperasikan para aktivis eks-HTI ini, mengingat masifnya radikalisasi mereka,mengingat terstrukturnya gerakan mereka, mengingat agresifnya mereka di dunia siber, sekalipun tidak lagi aktif di ruas-ruas jalan, masih pantaskah mereka kita sebut “eks”?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru