28 C
Jakarta

Nasionalisme KH. Hasyim Asy’ari dalam Historis Kemerdekaan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuNasionalisme KH. Hasyim Asy’ari dalam Historis Kemerdekaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Nasionalisme Pemuda: Pemikiran-Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari, Penulis: Seto Galih Pratomo, ISBN: 978-623-96338-2-0, Penerbit: Literasi Bangsa, Tahun Terbit: Maret, 2021.

Harakatuna.com – KH. Hasyim Asy’ari mempunyai ciri politik yang unik dalam menghadirkan kemerdekaan Indonesia. Melalui tangan beliau, NU menjadi organisasi pertama yang mengakui Pancasila sebagai dasar negara. Sikap politis ini ditujukan agar harmonisasi paham kebangsaan dan keagamaan tetap terjaga. Hal ini penting, mengingat sensitifitas keagamaan dan kebangsaan yang terus menguat di tengah arus politik Indonesia.

Pokok pikiran KH. Hasyim Asy’ari sangat luas dalam meramu kemerdekaan Indonesia. Hal ini dikumpulkan oleh Seto Galih Pratomo dalam sebuah buku yang berjudul “Nasionalisme Pemuda: Pemikiran-Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari”. Tidak hanya itu, Seto Galih Pratomo juga berusaha mengkontektualisasikan pemikirannya dalam dunia pendidikan.

Tujuannya, agar pendidikan yang dienyam para pemuda mampu menjadi instrumen internalisasi semangat kebangsaan, sekaligus menjadi perekat solidaritas nasional.
Seto Galih Pratomo memulai tulisannya dengan sejarah K.H. Hasyim Asy’ari. Digambarkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari lahir di lingkungan Pondok Pesantren [hlm. 15].

Digambarkan pula, dalam buku “KH. Hasyim Asy’ari Bapak Umat Islam Indonesia” bahwa sudah sedari kecil ia memiliki minat tinggi dalam menimba ilmu. Dalam usia 15 tahun, KH. Hasyim Asy’ari sudah pergi ke Pondok Pesantren Wonokoyo, Probolinggo, Pelangitan, Terenggilis, Madura, dan beberapa Pondok Pesantren lainnya.

Demikian KH. Hasyim Asy’ari melakukan perantauan ilmu dari satu pondok ke pondok lainnya. Pada akhirnya, beliau tiba di Pondok Siwalayan Panji, Sidoarjo pada tahun 1307 M/ 1891 H. Beliau mondok disana selama lima tahun dan diminta oleh kiyainya untuk menikahi putrinya. Namun sayang, tidak berlangsung lama istri tercinta meninggal dunia. KH. Hasyim Asy’ari sempat pulang-pergi ke Makkah untuk menimba ilmu disana, yang kemudian beliau menetap di Pondok ayahnya untuk mengajar [hlm. 18].

Dari segi politik, corak pemikiran KH. Hasyim Asy’ari umumnya sejalan dengan doktrin politik Sunni yang dikembangkan oleh al-Mawardi dan al-Ghazali [hlm. 31]. Doktrin yang dikembangkan sangat akomodatif dengan penguasa karena dirumuskan saat dunia Islam mengalami kemunduran. Sejalan dengan itu, K.H. Hasyim Asy’ari dan para ulama lainnya juga akomodatif dengan penguasa, baik yang Muslim maupun non-Muslim.

Oleh karena itu, perjuangan KH. Hasyim Asy’ari lebih banyak dilakukan dengan proses diplomasi. Beliau berkecimpung dalam beberapa organisasi kemerdeaan. Kiprahnya yang sudah terkenal di masyarakat, membuatnya dipercaya menahkodai beberapa organisasi ternama. Beliau langsung diberikan amanat sebagai ketua dan wakil ketua dari beberapa organisasi yang berbau politik, di antaranya:

BACA JUGA  Membangun Keluarga Pancasilais Penjaga Negeri
1. Shumbu (Kantor Urusan Agama)

Dalam organisasi ini, Jepang berupaya menaklukan masyarakat Indonesia dengan kebijakan yang bersifat depolitisasi umat Islam. Beberapa organisasi keagamaan dilarang tampil di depan publik. Pada awalnya, organisasi ini dipimpin oleh tentara Jepang, namun karena rakyat tidak terlalu menyukai pemimpin asing, maka digantilah dengan Hoesein Djajadiningrat.

Karena kerjanya tidak maksimal, dipilihlah KH. Hasyim Asy’ari yang mempunyai pengaruh kuat di masyarakat. Akan tetapi, pada akhirnya harus diganti karena penolakannya pada pelaksanaan seikere (menghormat ke arah Tokyo).

2. MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia)

Organisasi ini khusus didirikan untuk menyatukan kekuatan dari Muslim modernis dan muslim tradisionalis. Tokoh-tokoh ternama seperti KH. Mas Mansyur dari Muhammadiyah dan Wodoamiseno dari Serikat Islam sepakat untuk mendirikan organisasi ini. Mereka semua bergabung menyatukan kekuatan untuk menghadapi ancaman ataupun kepentingan bersama.

Dalam organisasi ini, bergabung 13 organisasi Islam dalam federasi untuk menghadapi politik Belanda. Dan KH. Hasyim Asy’ari ditunjuk sebagai ketua badan legislatif, yang harapannya bisa menarik lebih banyak massa Islam dari desa.

3. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia)

Didirikan pada tanggal 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI. Pada waktu itu, Jepang memerlukan organisasi untuk menggalang dukungan dari masyarakat Islam Indonesia. Zaman pendudukan Jepang, Masyumi belum sepenuhnya menjadi partai politik. Masyumi merupakan gabungan dari 4 organisasi besar Islam di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.

Karena Nahdlatul Ulama pada saat itu memiliki peran besar dalam pembentukan Masyumi, maka KH. Hasyim Asy’ari diangkat menjadi pemimpin tertinggi Masyumi saat itu.
Corak diplomasi yang dilakukan tentunya dapat ditiru oleh kalangan muda. Bagaimana perjuangan beliau dilakukan dengan cara cerdas dan menggebarak penjajahan. Generasi milenial bisa menjunjung tanah air dengan gagasan kebangsaan dan lobi-lobi politik luar negeri.

Dengan cara cerdas, Indonesia bisa tampil di kancah Nasional. Dan tentu saja, nasionalisme itu harus tetap ada dalam setiap perjuangan yang dilakukan. Lembaga Pendidikan bisa membantu meningkatkan nasionalisme dengan menceritakan sejarah. Salah satunya, bagaimana sikap KH. Hasyim Asy’ari menolak aksi seikere, meskipun telah diberikan jabatan yang tinggi.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru