31.4 C
Jakarta

Nasionalisme dan Pluralisme K.H Hasyim Asy’ari

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanNasionalisme dan Pluralisme K.H Hasyim Asy'ari
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ketokohan Hadratus Syeikh K.H Hasyim Asy’ari tidak bisa diragukan lagi. Sebagai tokoh agama peranya sangat besar untuk kemerdekaan Indonesia. Walaupun tidak secara langsung ikut mengusir penjajah di lapangan, Kyai Hasyim melawan dengan sumbangsih pemikiran dan fatwa-fatwanya.

Keberadaannya menjadi perhatian serius bagi kaum penjajah baik itu Belanda ataupun Jepang. Oleh sebab itu, Belanda dan Jepang selalu berusaha merangkulnya, seperti diberikanya penghargaan sebagai bintang jasa pada tahun 1937, namun ditolak mentah-mentah. Hal itulah yang membuat Belanda maupun Jepang gelimpangan, ditambah fatwanya tentang Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 dan fatwanya melarang umat Muslim yang akan melakukan ibadah Haji menggunakan kapal milik penjajah.

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang pada saat ini diperingati sebagai Hari Santri Nasional tidak lepas dari pemikiran beliau tentang konsepsi kebangsaan dan kenegaraan K.H Hasyim Asy’ari. Berawal dari Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, yang harus menjawab sebuah pertanyaan “wajibkah bagi kaum muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama Hindia-Belanda (Indonesia)  yang diperintahkan oleh orang-orang non muslim (kolonialis Belanda)”?

Hasil musyawarah Kyai-Kyai NU dalam muktamar tersebut adalah “wajib”, karena di kawasan Hindia-Belanda (Indonesia), ajaran Islam dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh warga bangsa secara bebas, dan dahulu ada kerajaan-kerajaan Islam di kawasan itu. Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam. Secara tidak langsung jawaban ini dapat menjadi dasar atas tidak wajibnya membuat Negara Islam, yang sebelumnya menjadi perdebatan sengit dalam kalangan muslimin pasca runtuhnya kekhalifan Turki-Usmani. Walaupun disisi lain tetap harus menghormati perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di kawasan tersebut.

Pendapat ketidakwajiban atas membuat Negara Islam yang kemudian hari dilegitimasi dengan keluarnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Karena setelah kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Soekarno dan Hatta pada 17 Agustus 1945, mendapat sambutan yang tidak ramah oleh pihak Belanda yang membonceng tentara sekutu untuk kembali menguasai Republik Indonesia. Melihat situasi Republik Indonesia tersebut, dengan sigap KH. Hasyim Asy’ari memerintahkan KH. Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan kyai-kyai NU lainya untuk mengumpulkan kyai se-Jawa dan Madura untuk bermusyawarah.

Hasil Musyawarah Kyai NU se- Jawa dan Madura itu menghasilkan fatwa untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu ;

1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan;

2.      Republik Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintah yang sah, harus dijaga dan ditolong;

3.    Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia;

4.   Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali;

5.   Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal alam radius 92 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang.

Fatwa tersebut ditulis dengan huruf arab pegon yang menjadi penyebab melutusnya pertempuran 10 November 1945 yang kita kenal sebagai Hari Pahlawan Nasional. Jika kita memahami Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 secara mendalam bukan hanya soal deklarasi dan reposisi politik NU terhadap perjuangan revolusi Indonesia pasca kemerdekaan, tetapi lebih itu.  Resolusi Jihad itu sendiri justru menjadi tindak lanjut dari keputusan Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin yang menjadi pedoman awal atas bentuk negara –tidak wajib bersistemkan Islam-, walaupun saat itu dipimpin oleh non muslim ( Kolonial Belanda ), dengan syarat kaum muslimin dapat mempratekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.

BACA JUGA  Tafsir Lingkungan di Tengah Kebijakan Penguasa

Akan tetapi apakah hanya sampai dapat mempratekkan ajaran Islam dalam sehari-hari, sedangkan secara ekonomi, politik dan kebudayaan masih belum bebas dan berdaulat, karena masih dalam kawasan penjajahan oleh kolonial Belanda? Maka dari itu, Resolusi Jihad juga dapat dimaknai sebagai tindak lanjut Muktamar NU tahun 1935, yang tidak hanya mempertahakan Republik Indonesia ( yang bukan Negara Islam ), tapi juga mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari kembalinya imprealisme Belanda.

Dari keterangan tersebut sudah jelaslah bagi kita bahwa Kyai Hasyim Asy’ari memiliki jiwa nasionalisme yang kuat. Resolusi Jihad menjadi bukti atas pemikiran Kyai Hasyim tentang penggabungan Nasionalisme dengan Agama, di mana sebelumnya nasionalisme di Eropa terkenal sekuler. Hubbul Wathon minal Iman (cinta terhadap negara adalah sebagian dari iman) yang sering digaungkan sekarang itu berawal dari Kyai Hasyim.

Pemikiran-pemikiran K.H Hasyim sendiri khusunya terkait kebangsaan sebenarnya banyak  terdapat dalam kitab-kitab yang dikarangnya. Salah satunya Al Muqaddimah Al Qanun Al Asasi Li Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ termasuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Selain itu bisa kita temukan pemikiran beliau tentang persatuan umat atau pluralisme yang sering digaungkang oleh cucunya K.H Abdurrahman Wahid walaupun penjelasan tersebut ditulisnya secara tersirat.

ومن المعلوم ان الناس لابد لهم من الاجتماع والمخالطة. لأن الفرد الواحد لايمكن أن يستقل بجميع حاجته. فهو مضطر بحكم الضرورة الى الإجتماع الذي يجلب الى أمته الخير ويدفع عنها الشر والضير.  فالإتحاد وارتباط القلوب ببعضها, وتضافرها على أمر واحد, واجتماعها على كلمة واحدة من أهم أسباب السعادة, وأقوى دواعي المحبة والمودة . وكم به عمرات البلاد, وسادات العباد, وانتشر العمران, وتقدمت الأوطان, وأسست الممالك, وسهلت ت المسالك, وكثر التواصل الى غير ذلك من فوائد الإتحاد الذي هو أعظم الفضائل, وأمتن الأسباب والوسائل.

Artinya: “Seperti dimaklumi, manusia pasti harus bemasyarakat, bercampur dengan yang lain, sebab seorangpun tak mungkin sendirian memenuhi segala kebutuhan-kebutuhannya. Dia mau tidak mau dipaksa bermasyarakat, berkumpul yang membawa kebaikan bagi umatnya dan menolak keburukan dan ancaman bahaya dari padanya. Karena itu, persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu perkara dan setiap kata adalah penyebab kebahagiaan dan faktor paling kuat bagi menciptakan persaudaraan dan kasih sayang. Berapa banyak negara-negara yang menjadi makmur, hamba-hamba menjadi pemimpin yang berkuasa, pembangunan merata, negeri-negeri menjadi maju, pemerintah ditegakkan, jalan-jalan menjadi lancar. Perhubungan menjadi ramai dan masih banyak manfaat-manfaat lain dari hasil persatuan yang merupakan keutamaan yang paling besar dan merupakan sebab dan sarana paling ampuh”.

Dalam redaksi tersebut, kata persatuan tidak diikuti dengan kata yang lain. Artinya, kata persatuan bermakna mutlak atau (umum). Namun jika melihat efek dari persatuan berupa negara yang menjadi makmur, maju dan lain sebagainya, dapat dipahami bahwa persatuan yang dimaksud ialah persatuan kebangsaan yang dapat mengakibatkan kesuksesan dan kemajuan bangsa dan negara.

Persatuan bangsa dari pemikiran K.H Hasyim Asy’ari sangat relevan di implementasikan sampai sekarang. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang bersatu tanpa melihat perbedaan suku, budaya, ras maupun agama. Nasionalisme juga harus didasari dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas.

Hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah), Hablumminannas (hubungan manusi dengan sesama manusia) dan Hablumminal’alam (hubungan manusia dengan alam) menjadi dasar rasa persatuan dan jiwa nasionalisme dalam kontek kehidupan bernegara. K.H Hasyim Asy’ari menyebutkan tujuan persatuan untuk kemajuan bangsa dan negara yang disebutkan dalam kitabnya, tidak dapat direalisasikan ketika dalam negara masih terdapat ketimpangan. Adanya kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata, serta persamaan hak dengan tidak adanya penindasan oleh yang kuat kepada yang lemah menjadi tumpuan untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru