24.1 C
Jakarta

Nasib Anak Teroris, Hidup di Antara Harapan dan Trauma

Artikel Trending

KhazanahTelaahNasib Anak Teroris, Hidup di Antara Harapan dan Trauma
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam UUD 1945 Pasal 28 telah dijelaskan bahwa hak asasi manusia ialah hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi, hingga hak untuk mendapatkan pendidikan. Kalimat ini sangat memperjelas bahwa, hak tersebut harus dipatuhi oleh siapa pun, termasuk pemerintah terhadap warga negaranya, termasuk pemenuhan hak kepada anak-anak.

Dalam konteks kehidupan anak-anak, pemerintah memiliki peraturan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. Dalam Pasal 9 disebutkan bahwa: “Setiap Anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat.” Artinya, negara wajib menjamin hak hidup anak sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun, pada suatu kasus tertentu, ketegasan pemerintah untuk menjamin kehidupan yang layak perlu dipertanyakan demi keberlangsungan kehidupan masa depan bangsa Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada kasus anak terorisme, misalnya.

Dalam kasus terorisme yang terjadi pada Mei 2018 silam, pada kejadian pengeboman tiga gereja di Sidoarjo dan Surabaya, pelaku merupakan sebuah keluarga yang mengajak keempat anaknya dalam tragedi pengeboman yang menelan korban jiwa. Beruntungnya, satu dari keempat anak tersebut selamat dari ledakan dan langsung ditangani oleh pihak berwajib. Namun, bagaimana nasib anak yang hidup? Kejahatan teror yang dilakukan dengan ajakan orang tuanya, menempatkan dirinya sebagai pelaku. Padahal, di balik keikutsertaan dalam aksi pengeboman tersebut, ia hanyalah anak yang tidak bersalah dan korban dari dosa besar orang tua.

Dalam perundang-undangan yang terdapat pada Pasal 79 UU Nomor 11 Tahun 2012, anak pelaku terorisme bisa dijatuhi hukuman penjara. Artinya, anak tersebut akan kembali ke dalam lingkungan masyarakat sehingga anak perlu diberi bimbingan khusus untuk merehabilitasi dan deradikalisasi agar dapat menjalankan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan undang-undang tersebut, anak sebagai pelaku terorisme pada hakikatnya merupakan manus ministra atau tangan yang dikuasai sehingga anak bukanlah pelaku terorisme, melainkan korban. Tindakan anak dalam terorisme sejatinya adalah representasi dari pengajaran lingkungan atau bahkan orang tua mereka yang memberikan doktrin serta propaganda tentang terorisme kepada anak. Oleh sebab itu, meskipun terlibat dalam tindak pidana terorisme, anak tetap harus dilindungi secara hukum serta didampingi secara khusus agar tidak menghilangkan hak-haknya sebagai seorang anak.

BACA JUGA  Melihat Istilah ‘Tobrut’: Budaya Seksis yang Merenggut Hidup Perempuan

Atas dasar ini, pendampingan yang harus diberikan kepada anak semestinya harus maksimal. Memastikan kehidupan, masa depan, pendidikan, serta seluruh aspek kehidupannya adalah suatu keniscayaan yang harus ditunaikan oleh pemerintah.

Bagaimana Kenyataan di Lapangan?

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), prosedur penanganan anak sebagai pelaku terorisme belum diatur sehingga dalam pelaksanaannya harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dijatuhi hukuman penjara setengah dari hukuman untuk orang dewasa, maksimal selama 10 tahun.

Untuk tetap melindungi hak-haknya, anak harus didampingi di setiap tahap persidangan sebagai bentuk perlindungan hukum. Ketika anak selesai menjalankan hukumannya pun, anak harus tetap diberikan bimbingan dan pembinaan untuk kehidupannya dalam masyarakat, berupa rehabilitasi dan deradikalisasi.

Masyarakat juga dapat berkontribusi dalam memberikan perlindungan serta pembinaan kepada anak agar anak merasa diterima dan bisa menjalani fungsinya kembali dalam masyarakat. Melalui rangkaian ini, diharapkan anak sebagai pelaku terorisme tetap dapat hak untuk memperoleh pendampingan khusus serta perlindungan hukum untuk kembali menjadi bagian dari masyarakat. Meskipun demikian, prosedur dan penanganan yang tepat tetap perlu diatur dalam UU SPPA.

Ketika pemerintah belum memberikan penghidupan yang layak bagi anak teroris dengan fasilitas pendidikan, kehidupan dan ruang aman dalam menjalankan kehidupan, peran masyarakat sangat berpengaruh terhadap kehidupan yang dijalani oleh mereka.

Sikap masyarakat seharusnya tidak membeda-bedakan latar belakang keluarga yang dimiliki oleh seorang anak. Bagaimanapun, anak teroris adalah korban. Keterlibatan mereka dalam lingkaran setan terorisme, dipengaruhi oleh keluarganya. Jika mereka mendapatkan hukuman atas dosa yang dilakukan oleh orang tua, sangat melukai kehidupan yang dijalani.

Atas dasar ini, masyarakat diharapkan bisa menerima anak mantan terorisme dengan terbuka. Bimbingan serta bantuan apa pun, baik secara fisik maupun moral, yang menjadi penguat bagi anak, sangat dibutuhkan agar kembali melanjutkan kehidupannya menjadi lebih baik. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru