27.4 C
Jakarta

Nalar Sesat Khilafah Islamiyah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifNalar Sesat Khilafah Islamiyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di tengah pandemi Covid-19, masih saja ada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang berjualan sistem khilafah. Bahkan, dalam konteks pembahasan RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang menuai banyak kritik karena selain dibahas di tengah pandemi namun juga memungkin tafsir tunggal Pancasila, pengusung khilafah tampil garda terdepan membela Pancasila. Ini tentu saja membahayakan persatuan dan kesatuan NKRI yang telah padu di bawah Pancasila sebagai ideologi bersama, karena mereka sebenarnya bukan bermaksud membela, justru menggantinya dengan ideologi transnasional Khilafah Islamiyah.

Memang, ide Khilafah Islamiyah menuai banyak penolakan karena bercorak satu warna agama saja. Dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai organisasi pengusung ide tersebut telah dibubarkan. Hanya saja, selama keyakinan mereka terhadap ilusi sistem kenegaraan tidak dihilangkan, maka kampanye-kampanye terselubung pendirian negara Islam akan tetap ada. Mereka ereka berpendapat bahwa kejayaan Islam bisa dikembalikan apabila sistem Khilafah Islamiyah dilaksanakan kembali di negara yang mayoritas Islam, seperti Indonesia. Menurut mereka, sejarah masa kejayaan Islam di masa lalu disebabkan oleh peletakan Islam sebagai dasar negara (baca: khilafah).

Dalam konteks NKRI, semua bersepakat bahwa menetapkan Khilafah Islamiyah sebagai bentuk negara akan bertentangan dengan semangat keberagaman yang menjadi fitrah NKRI. Berbagai kritik pun dilayangkan terhadap konsep khilafah. Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.

Pun, sejarah mencatat bahwa pelaksanaan Khilafah Islamiyah pun tidak sesempurna seperti yang dibayangkan para pengagum khilafah. Masa-masa kelam dalam sejarah Islam juga banyak dialami sebab pelaksanaan konsep khilafah yang berbeda-beda setiap khalifah itu sendiri.

Nalar Sesat dan Kritik Fouda

Farag Fouda, salah satu pemikir revolusioner Mesir, kolumnis, dan aktivis HAM berpengaruh adalah orang yang berani mengungkap secara jujur praktik politik umat Islam pada masa klasik. Pemikiran-pemikiran kritis Farag Fouda bisa kita lihat dalam karya-karyanya, seperti al-Haqiqah al-Ghaibah, Qabla al-Suquth, Hiwar Hawla al-Almaniyah dan lainnya. Dalam bukunya al-Haqiqah al-Ghaibah (Kebenaran yang Hilang), Fouda menuliskan pemikiran kritisnya terhadap sejarah kelam kekhalifahan Islam, dari zaman sahabat hingga Daulah Abbasiyah.
Dalam buku-bukunya, Fouda banyak mengkritik dunia politik Islam pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW dengan menampilkan fakta dan penjelasan yang diambil dari kitab klasik. Ia secara jelas menentang pandangan kaum fundamentalis Islam bahwa khilafah merupakan bentuk sistem negara yang par exelence dengan menyajikan fakta-fakta sejarah berikut.

Pertama, Masa Khulafaurrasyidin. Usman bin Affan wafat karena dibunuh oleh umat Islam sendiri dan bahkan jasadnya harus menunggu dua hari untuk dimakamkan karena sebelumnya ditolak oleh kaum Anshar untuk dimakamkan di makam umat Islam. Lalu, dimakamkanlah di tempat-tempat orang Yahudi. Bahkan, sebelum mencapai makam, jasadnya diludahi dan salah satu tulangnya dipatahkan.

Kedua, Masa Dinasti Umayyah. Muawiyah bin Abu Sofyan dengan segala kelicikannya melawan Ali bin Abi Thalib dengan memecah-belah persatuan umat Islam. Putranya, Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan menolak pertanggungjawaban atas terjadinya perang Karbala yang menewaskan Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu kesayangan Rasulullah.

BACA JUGA  Zakat: Jembatan Solidaritas Umat Anti-Radikalisme

Ketiga, Masa Dinasti Abbasiyyah. Abu Abbas As- Saffah, perintis Dinasti Abbasiyyah menjagal puluhan anggota keluarga Bani Umayyah sambil makan malam. Pun, keturunannya, Al-Walid bin Yazid, dikenal sebab kegemarannya mabuk, homoseksual, dan hobi membidik al-Qur’an dengan anak panah. Bahkan, bukan hanya perangainya yang buruk, Al-Walid juga dikenal orang yang memonopoli fatwa ulama agar membenarkan segala perilaku khalifah dengan dalih, bahwa khalifah merupakan ahli surga.

Implikasi Khilafah Islamiyah dalam NKRI

Mencermati fakta-fakta sejarah yang telah diungkapkan oleh Fouda, sejatinya, penerapan sistem khilafah memungkinkan beberapa problematika serius yang dapat merusak kebhinekaan NKRI. Pertama, klaim kebenaran tunggal. Islam menjelma menjadi timbangan ukuran kebenaran dan bahkan, Islam dipersepsikan mampu mengatasi persoalan dalam agama-agama lain.

Kedua, kemunculan monopoli tafsir. Penerapan khilafah sebagai sistem negara mendorong potensi monopoli tafsir yang dilakukan oleh penguasa dan orang-orang berpengaruh lainnya guna mengklaim kepentingannya sejalan dengan agama. Ketiga, kekerasan mengatasnamakan agama. Oleh karena doktrin yang sakral dan diskriminatif, dalam skala komunitas selanjutnya terjadi segregasi yang mengatasnamakan agama sebagai motifnya.

Tentu saja, hal-hal ini tidak diharapkan terjadi di Indonesia apabila sistem Khilafah benar-benar diterapkan di Indonesia. Mengingat, NKRI merupakan negara yang berdiri dengan ragam suku, agama, ras, bahasa, budaya, dan pandangan politik. Jika salah satu agama disakralkan, niscaya akan memicu kecemburuan sosial dari pemeluk kepercayaan lainnya. Di sisi lain, pemeluk agama Islam bisa menjadi semakin arogan dan intoleran dengan kebhinekaan yang notebene fitrah kebangsaan NKRI.

Oleh karenanya, sistem khilafah yang diterapkan di Indonesia bukan berdasarkan Islam, melainkan berdasar Pancasila. Meminjam bahasa al-Qu’an, Pancasila adalah kalimatun sawa’ atau “alat tunggal pemersatu” kebhinekaan. Din Syamsuddin menyatakan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai “pernyataan politik”, tapi juga sebagai “pernyataan ideologis”. Sebagai pernyataan politik, ia mempersatukan berbagai kepentingan dan aliran politik. Sebagai pernyataan ideologis, Pancasila adalah penunjukan nilai-nilai yang terdapat pada banyak kelompok masyarakat, baik agama maupun adat. Diterapkannya Pancasila, menjauhkan benturan beragam kepercayaan yang bersemayam di Indonesia.

Jadi, pada dasarnya menjaga stabilitas kebhinekaan sesungguhnya jauh lebih penting dibandingkan menerapkan Khilafah Islamiyah yang berpotensi membawa kerugian terhadap keragaman NKRI. Pun, Nabi Muhammad SAW dalam sejarah Islam mencatat bahwa persatuan, kesatuan, dan perdamaian selalu lebih diutamakan daripada jalur peperangan. Lihat saja, apa yang dilakukan Rasulullah ketika memimpin Madinah atau Yatsrib sebagai nabi sekaligus kepala negara. Ia juga tidak memberikan petunjuk khusus sistem negara dan konsep suksesi kepemimpinan dalam tubuh umat Islam.

Maka itu, jika fakta sejarah Khilafah Islamiyah saja dipenuhi dengan masa-masa kelam dan tidak sesempurna seperti yang digaungkan kaum radikal Islam, jelas bahwa terdapat nalar sesat terhadap sistem ketatanegaraan. Dan, apabila diterapkan akan berpotensi memporak-porandakan kebhinekaan NKRI sebagaimana porak-porandanya persatuan umat Islam oleh doktrin-doktrin yang dibuat secara sengaja pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam!

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru