30.1 C
Jakarta

Muslim Cyber Army, Harakatuna, dan Keberagamaan Milenial

Artikel Trending

Milenial IslamMuslim Cyber Army, Harakatuna, dan Keberagamaan Milenial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jika ada pertanyaan: apa agenda terbesar yang bersemayam di balik kegiatan hiper-liturgis seperti Maulid Nabi PA 212 di Monas kemarin? Jawabannya adalah: kepulangan Imam Besar mereka, Habib Rizieq Shihab. Pengerahan massa sebanyak-banyaknya seperti itu hanya menjadikan keberagamaan sekadar bungkus belaka. Sejatinya mereka ingin menunjukkan pada publik, tentang jumlah, tentang kekuatan mereka. Sungguh, itu adalah arogansi tingkat tinggi.

Rumor kepulangan Rizieq Shihab juga memiliki daya tarik sendiri; menarik massa agar penasaran ingin hadir. Padahal, jeratan hukum kepada Rizieq Shihab tergolong rumit, sehingga memulangkannya tidak semurah ongkos pergi ke Monas saja. Bagaimana mereka kemudian mengemasnya dengan Maulid Nabi sejujurnya adalah bagian dari taktik. Ini semacam pemecah ketabuan, Rizieq Shihab akan hadir di Maulid Rasulullah. Padahal bulan Rabiul Awal sendiri sudah berlalu sebelum mereka berbondong ke Monas.

Tetapi, itu dalam tataran dunia nyata. Beda halnya dengan yang terjadi di dunia maya. Pasukan Siber Muslim (Muslim Cyber Army) adalah senjata andalan para pengikut Rizieq Shihab. Anggota MCA, dalam dugaan saya, pasti adalah sekelompok milenial yang ahli meretas web, ahli IT, tapi bodoh dalam keberagamaan. Mereka memanfaatkan keahlian IT-nya untuk menyerang siapapun yang  tak mau berkomplot dalam pemahaman keberagamaan mereka yang tertutup terhadap keberagaman.

Bermula dari Eksklusivisme Keberagamaan

Semuanya bermula dari sesuatu menjijikkan yang disebut eksklusivisme, pemahaman agama yang cenderung apologetik terhadap pendapat sendiri dan menyalahkan pendapat selainnya. Selain dimunculkannya provokasi bahwa Rizieq Shihab tengah diasingkan pemerintah Indonesia, mereka berupaya yakinkan rakyat, menarik bahu-membahu sesama Muslim untuk menuntut kepulangannya. Mereka yang tak sependapat, akan dicap sebagai Muslim munafik bahkan kafir.

Mari masuk ke dalam area pembuktian. Bukti dari kebrutalan MCA dalam menuntut kepulangan Rizieq Shihab adalah justifikasi hacking media-media penentang narasi mereka. Harakatuna Media (www.www.harakatuna.com/harakatuna) adalah saksi penting, setelah situsnya diretas, pada Senin (2/12/2019) kemarin, selama beberapa jam sejak 15.40 WIB. Perang siber menjadi sisi gelap yang lain setelah mereka, para maniak Rizieq Shihab itu, membungkus hipokrisi politiknya dengan keagamaan.

Label “Muslim” dalam MCA sendiri tentu saja bukan sebuah kebetulan. Mereka sudah merencanakan semuanya secara terstruktur dan masif. Jadi, di belakang aksi massa berjilid-jilid itu, mereka bergerak di wilayah siber, dengan mengatasnamakan gerakan Muslim. Sekali lagi, label keagamaan di sini adalah wujud eksploitasi belaka. Bukan suatu kebanggaan bila hanya ahli meretas, apalagi meretasnya dipakai untuk membungkam kebenaran. Mereka busuk, tapi berlindung di bawah label ke-Muslim-an.

Intrik hack meng-hack semacam ini, bagi mereka, mungkin adalah prestasi yang pantas dibanggakan. Tetapi sejujurnya justru melahirkan stigma buruk bagi umat Islam, karena mereka menggunakan ‘Muslim’ sebagai pondasi intrik busuknya. Sebagai sebuah tumbal, Harakatuna akan jadi sasaran empuk. Barangkali mereka menyadari, narasi kontra radikalisme, atau bahkan kontra-Rizieq Shihab, begitu tinggi. Sehingga untuk meredamnya adalah menumbalkan media yang konsen di gerakan deradikalisasi dan kontra radikalisme dan terorisme.

Bercokolnya eksklusivisme beragama, kepentingan politik pengusung khilafah/NKRI Bersyariah, dan keputusasaan luar biasa setelah berbagai cara memulangkan Rizieq Shihab tidak berhasil, adalah alasan Harakatuna diretas. Apalagi pesan peretas adalah, “Pulangkan Imam Besar Kami!”. Lebih jauh, marilah kita tanyakan pada diri kita, apakah benar peretasan Harakatuna sekadar peretasan website biasa? Jelas tidak. Ini adalah perang siber antara kaum eksklusif melawan narasi kontra-radikal.

Eksklusivisme vis-à-vis Narasi Kontra Radikalisme

Penting untuk diutarakan, yang mereka serang, sejujurnya bukan Harakatuna saja yang ingin dibungkam, melainkan seluruh penentang mereka. Yang menimpa Harakatuna adalah lampu kuning, bahwa media Harakatuna akan selalu jadi aksi kebusukan mereka. Betapapun tak dapat dipungkiri, konsen Harakatuna terhadap narasi kontra-radikalisme patut diperhitungkan. Jika Harakatuna dijadikan target utama, berarti bagi mereka, Harakatuna adalah ancaman besar. Itu poin pentingnya.

BACA JUGA  Kaum Radikal-Ekstremis Lakukan Propaganda "Hijrah", Hati-hati!

Padahal, selama ini, Harakatuna tidak pernah menyuguhkan konten invalid yang kebenarannya tak bisa dipertanggungjawabkan. Semua narasi kebangsaan, keislaman, dan narasi kontra radikalisme dikemas secara ilmiah dan argumentatif. Perspektifnya pun beragam, sehingga sajian Harakatuna mencerminkan kompleksitas. Apalah daya, ketika mereka tidak mampu melawan narasi ilmiah secara ilmiah pula, dengan argumentasi sepadan, senjata yang mereka andalkan adalah meng-crack Harakatuna itu sendiri.

Karena itu, penguatan IT para pengusung konten deradikalisasi dan kontra radikalisme merupakan sesuatu yang mendesak. Begitupun dengan intelektual keberagamaan, harus sama-sama semakin intens dalam mengkaji betapa bahayanya virus MCA ini. Mereka tidak hanya membungkam dakwah, seperti yang menimpa Harakatuna. Lebih dari itu, mereka berupaya menjadi oposisi yang superior di bidang IT. Jika yang seperti ini dibiarkan, akan banyak website keislaman-kebangsaan-deradikalisasi yang diretas laiknya Harakatuna.

Tetapi, semua ini harus dilalui dengan langkah positif, untuk menguatkan literasi kita tentang kontra radikalisme.  Betapapun risikonya besar, Harakatuna tidak akan kendor sedikitpun. Persoalan Rizieq Shihab biarkan jadi urusan konstitusional Negara, dan PR kita semua adalah melawan sekuat tenaga lahirnya radikalisme akut. Adalah tugas kita, agar ghirah menjaga keutuhan bangsa, moderasi Islam, senantiasa lebih kuat daripada tipu daya kaum eksklusif. Menuntaskan deradikalisasilah kuncinya.

Kendati jaringan MCA besar dan mumpuni di bidang IT, gairah memberantas golongan yang ingin merongrong kedaulatan NKRI harus lebih besar, melebihi gairah mereka memorakporandakan Indonesia. Harakatuna juga tidak akan gentar sedikit pun menyuarakan inklusivisme beragama dan kontra narasi radikalisme dan terorisme. Ini adalah statemen kemantapan diri demi NKRI tercinta. Adalah pantangan membuat sejenis MCA melakukan aksinya, seberapa tinggipun mereka lakukan perang siber.

Cyber War, Ancaman Jalan Keberagamaan

Kenapa perang siber (cyber war) bisa terjadi, dan siapa yang rela menjadi tangan kanan para pengusung kaum radikal? Jawabannya adalah: milenial. Adalah kenyataan yang tak dapat disangkal, bahwa generasi milenial kita memiliki kemelekan digital yang cukup tinggi. Juga tak dapat disangkal pula, bahwa bersamaan dengan meleknya mereka terhadap teknologi, pengetahuan keagamaannya cukup rendah dan memprihantinkan. Jadi tidak perlu heran kenapa mereka mau jadi tangan kanan.

Kesenjangan antara pengetahuan digital dengan pengetahuan keagamaan menjadi ladang kaum radikalis untuk menyeret mereka ke dalam kebusukan-kebrutalan bertindak. Membungkam media adalah satu proyek utamanya. Meminta Rizieq Shihab dipulangkan dengan meretas website keislaman-kebangsaan adalah alasan yang sangat manipulatif. Sebenarnya yang jadi prospek utama mereka adalah meredam narasi anti-radikalisme, dan mengampanyekan pemberontakan kepada pemerintah.

Jika demikian adanya, cyber war menjadi musuh yang harus kita hadapi bersama-sama. Ia adalah bukti konkret radikalisme dunia digital, di samping konsen mereka menebar hoaks di media sosial tentang narasi menentang pemerintah. Betapapun secara hukum mereka bisa dituntut, kita tetap harus melawannya secara digital pula. Seperti yang telah diijtihadkan Harakatuna, kita harus mendalami keislaman-kebangsaan, dan menguatkan literasi untuk melawan intrik licik MCA dan kawanannya.

Atas semua itu, MCA tidak hanya sekadar meretas Harakatuna, melainkan juga memproyeksikan nasib keberagamaan kita di masa depan. MCA cukup menjadi potret tentang betapa bahayanya kemampuan teknologi yang bersanding dengan minimnya pengetahuan agama. Mereka klaim diri sebagai “Muslim”, tepatnya Muslim yang berjuang di dunia siber, tetapi amaliahnya justru berkonotasi pada kerusakan. Merusak kebenaran yang berusaha disuarakan Harakatuna, apakah itu sikap seorang Muslim?

Yang jelas, Harakatuna tidak akan bungkam untuk menggemakan narasi keislaman-kebangsaan dan kontra-radikalisme, betapapun tinggi risikonya. Tetapi sekali lagi, yang menimpa Harakatuna hanyalah satu potret dari segala kemungkinan nasib buruk para pejuang deradikalisasi. Ke depan, tindakan MCA akan lebih masif. Itu pasti. Tugas kita bersama adalah mengkonter sekuat tenaga demi kukuhnya NKRI, dan mencegah jaringan peretas MCA berkuasa.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru