27.2 C
Jakarta

Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Mengampanyekan Terorisme Bermodus Jihad

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMujahidin Indonesia Timur (MIT) Mengampanyekan Terorisme Bermodus Jihad
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Beberapa hari yang lalu sekitar enam rumah di kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah diserang oleh orang tak dikenal (OTK). Beberapa media menyebutkan, orang tersebut adalah bagian dari kelompok Mujahidin Indonesia Timur atau yang lebih akrab disebut dengan MIT. Serangan itu, persis dilansir dari Pikiran Rakyat, merenggut korban jiwa berjumlah empat orang laki-laki yang terdiri dari mertua, anak, dan menantu.

Peristiwa ini menjadi trending topic nomor wahid di Twitter Indonesia. Terdapat lebih dari 7.101 tweets dengan tagar #PrayForSigi. Tagar ini sesungguhnya bentuk belasungkawa seluruh masyarakat Indonesia, mungkin juga orang luar negeri melihat pembantaian orang-orang yang jelas-jelas tidak bersalah. Mereka yang teraniaya jelas hanyalah korban dari kezaliman dan kepicikan anak buah Ali Kalora yang meneruskan jejak Santoso, pendiri MIT itu.

Sejenak mungkin Anda dan tentu juga saya pada mulanya bertanya-tanya: Siapakah Santoso itu? Kenapa  Santoso harus mendirikan MIT? Sekian pertanyaan yang terbersit ini mengantarkan saya mencoba mencari tahu, tentunya melalui beberapa literatur terpercaya. Terus, didapatkan sebuah uraian yang cukup luas dan saya sederhanakan, bahwa MIT itu bagian dari Islamic State of Irak and Syria (ISIS), sebuah organisasi yang didirikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi.

Lebih dari itu, Santoso secara ideologis juga dipengaruhi pemikiran Abu Bakar Ba’asyir, pendiri Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Ketiga orang tersebut, Santoso, Ali Kalora, dan Abu Bakar Ba’asyir, ditambah lagi ketiga organisasi MIT, ISIS, dan JAT termasuk bagian dari kelompok teroris. Mungkin sebagian orang yang hanya melihat Islam sebatas aksesoris akan terkecoh dengan penampilan Abu Bakar Ba’asyir yang akrab dengan pakaian gamis putihnya ditambah sorban di kepalanya. Sayangnya, penampilan itu hanyalah membohongi publik dan sesungguhnya mereka adalah pelaku dan otak terorisme.

Aksi-aksi terorisme itu bukanlah sesuatu yang baru-baru ini terdengar di Indonesia. Aksi ini mulai terdengar dan mencuri perhatian publik semenjak pengeboman di Bali yang dilakukan oleh teroris Amrozi dan Imam Samudra, sehingga mereka berdua mengakhiri hidupnya dengan hukuman mati yang sungguh sangat mengenaskan. Kendati begitu, terorisme belum tuntas sampai di situ. Beberapa tahun kemudian mulai beruntun peristiwa aksi-aksi terorisme yang terjadi di pelbagai wilayah di Indonesia. Tak terkecuali, aksi teroris yang dilakukan di Sigi itu kemarin.

Saya mulanya bertanya-tanya: Kok bisa orang itu rela mengorbankan nyawanya demi membela agama? Jika memang sungguh-sungguh mereka membela agama, benarkah pembelaan mereka dikehendaki oleh agama? Apakah agama itu membenarkan tindakan-tindakan kekerasan berwajah terorisme? Bukankah Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam dengan ramah dan santun? Terus, kalau begitu pelaku teror itu melanggar norma-norma agama?

Pertanyaan, yang menurut generasi milenial, terkesan kepo mengantarkan saya sedikit banyak tahu, bahwa pelaku teror itu bermula dari kebodohan mereka dalam memahami teks-teks agama. Tema jihad, misalkan, hanyalah dipahami sebatas peperangan melawan orang-orang yang dianggap kafir dan thaghut. Tidak perlu panjang lebar siapakah kafir dan thaghut itu. Yang jelas, mereka menganggap orang yang tidak sepemikiran adalah kafir dan thaghut. Lebih tragisnya, orang yang kafir darahnya halal dibunuh. Tindakan semacam ini tak ubahnya apa yang digaungkan oleh kelompok Khawarij pada masa kepemerintahan Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. Mungkin, teroris bila ditarik pada sejarah munculnya pemikiran radikal, bermula pada masa Khawarij ini berdiri.

BACA JUGA  Tafsir Lingkungan di Tengah Kebijakan Penguasa

Memahami jihad sebatas perang tentu termasuk penafsiran yang keliru. Jihad, bila mengingat gagasan yang disampaikan tokoh tafsir Indonesia Prof. Quraish Shihab, memiliki cakupan makna yang sangat luas. Sehingga, bila saya berkenan menyederhanakan, jihad itu adalah skill yang dimiliki masing-masing orang. Pebisnis jihadnya berbisnis, sehingga ekonomi tumbuh dan berkembang. Pelajar jihadnya menyelesaikan studinya. Penulis lagi jihadnya menarasikan gagasannya dalam bentuk tulisan. Begitu pula, pendidik cukup berjihad dengan memproduksi generasi-generasi yang terpelajar dan terdidik.

Membatasi jihad dengan perang tentu akan menggiring seseorang memiliki pikiran yang tertutup. Pikiran yang tertutup ini akan sulit terbuka terhadap perbedaan yang terbentang luas di jagat raya. Orang yang tidak terbuka akan merasa paling benar sendiri. Dari sinilah, orang ini mulai dikuasai pikirannya sendiri, apalagi didukung pemikiran serupa dari luar, sehingga mereka tergerak melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi mencelakai orang lain. Tindakan ini tidak lain adalah aksi-aksi teror. Aksi teror ini dilakukan melalui pelbagai bentuk. Ada yang berbentuk pengeboman. Ada juga berupa bom bunuh diri. Bahkan, seperti yang dilakukan kelompok MIT kemarin, berbentuk penyerangan terhadap objek yang dituju.

MIT dengan tindakannya semacam itu tentu bukanlah penjihad sejati. Apa yang dilakukannya tentu bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menghendaki perdamaian, kesejahteraan, dan menghindari pengrusakan. Kelompok MIT merasa paling benar di dunia dan gemar menyudutkan orang lain salah. Tunggulah, hari di mana Allah akan menghisab amal perbuatan mereka. Nanti mereka akan diminta pertanggungan jawab atas segala perbuatan teror yang mereka lakukan. Tentu, saya bukan mendahulu Tuhan, perbuatan mereka akan mengantarkan mereka mendekam di dalam neraka yang amat pedih.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru