29.1 C
Jakarta

MUI dan Politisasi Salam

Artikel Trending

Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Imbauan MUI Jawa Timur agar para pejabat tidak menyebutkan salam semua agama saat berpidato mendapat respons yang beragam. Imbauan ini tertuang dalam sebuah surat yang diteken langsung oleh Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori (detik, 12 Desember).

Mengapa sebuah imbauan tersebut menuai kontroversi? Seberapa penting salam itu diucapkan? Apakah salam hanya terbatas pada kalimat ‘Assalamu’alaikum’? Sebenarnya, apa yang melatarbelakangi perdebatan ini semakin sengit? Benarkah karena kepentingan politik? Atau hanya sikap fanatik pemeluk agama? Dan seterusnya.

Sebelum menjawab aneka pertanyaan yang terbersit dalam benak tersebut, sebaiknya diperhatikan terlebih dahulu perintah mengucapkan salam yang terekam dalam Al-Qur’an: Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, “Salamun alaikum (Mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu)”. (Qs. al-An’am [6]: 54).

Secara sepintas ayat tersebut memang memerintah Nabi Muhammad Saw. untuk menyampaikan salam kepada orang mukmin saat bertemu satu sama lain. Menurut al-Fudhail Ibn Iyadh—sebagaimana dikutip oleh al-Qurthubi, ayat ini diturunkan untuk mengingatkan Nabi Muhammad Saw. yang berpaling ketika datang sekelompok orang Islam menemui Nabi Saw. kemudian berkata: “Sungguh, kami telah melakukan banyak dosa, maka mohonkan ampun kepada Tuhan kami.”

Bila melihat kronologis ayat tersebut, seakan-akan ayat itu memerintahkan siapapun, lebih-lebih orang Islam untuk mengucapkan salam. Lebih dari itu, salam bukan hanya sebatas selesai di mulut, namun hendaknya merambah pada ranah spiritual. Karena, menurut al-Qurthubi, salam yang diucapkan itu merupakan sebuah doa untuk keselamatan agama dan jiwa seseorang.

Agama yang selamat dapat diukur dari perdamaian pemeluknya. Tidak ada perpecahan antar sesama, karena faktor perbedaan keyakinan. Tidak ada tindakan kekerasan yang dapat merugikan banyak orang. Begitu pula, tidak ada tindakan teroris yang berpotensi merusak tatanan alam semesta. Sedangkan, keselamatan jiwa dapat dirasakan dengan ketenteraman psikis seseorang. Dengan ketenteraman jiwa, seseorang selalu menjadikan syukur dalam setiap langkah hidupnya, sehingga nikmat yang didapatkan menjadi berkah.

Masing-masing agama sesungguhnya memiliki redaksi salam yang beragam. Islam menggunakan redaksi ‘Assalamualaikum’. ‘Om Swastiastu’ adalah salam yang diucapkan oleh umat Hindu. Sedangkan, ‘Namo Buddhaya’ merupakan redaksi salam yang biasa disampaikan umat Budha. Biasanya aneka salam ini diucapkan oleh sebagian pemerintah Indonesia, termasuk Presiden Jokowi (nusantaratv, 12 November).

Kebiasaan pemerintah mengucapkan salam berbagai agama sesungguhnya tidak bermasalah, baik secara teologis maupun secara ideologis. Secara teologis, perintah salam bukan fokus pada perbedaan redaksi yang biasa diucapkan oleh masing-masing agama, namun perintah salam itu bermaksud menjadikannya doa antar sesama tanpa memandang status agama dan menjadikan pengingat bahwa kita semua adalah bersaudara. Karena itulah, pesan tersirat di balik salam itu dapat mendorong kita saling menghormati antar sesama, bukan karena seagama, tetapi karena kita bersaudara. Sementara, secara ideologis perbedaan redaksi salam semuanya dapat dibenarkan.

BACA JUGA  Mengapa Konsep Perubahan Penting Ditegakkan di Negeri Ini?

Mereka, termasuk MUI Jawa Timur, yang membatasi salam hanya pada redaksi ‘Assalamualaikum’ merupakan sikap yang picik. Karena, mereka memahami perintah salam dalam ayat Al-Qur’an hanya berhenti pada ranah teks dan melupakan konteks ayat. Mereka tidak melihat pesan toleransi agama yang dapat dikemas dengan pembudayaan mengucapkan salam secara beragam. Karena, dengan pembudayaan ini kehangatan persaudaraan semakin terasa.

Bahkan, Ibnu al-Jauzi menyebutkan bahwa salam itu merupakan perintah Allah untuk menghormati orang lain. Saya pikir, menghormati mereka salah satunya mengapresiasi kreativitas yang dimiliki orang tersebut, termasuk ucapan salam yang dibuat oleh semua agama. Mengapresiasi ini dapat dilakukan dengan mengucapkannya, baik saat berpapasan maupun saat berbicara di depan publik, seperti yang telah biasa dipraktekkan oleh Presiden Jokowi. Sikap Jokowi ini dapat disebut bagian dari pendidikan seorang presiden kepada rakyatnya untuk menanamkan sikap saling menghormati antar semua agama. Karena, menghormati orang lain itu termasuk budi pekerti yang baik.

Perbedaan redaksi salam itu hanyalah perbedaan budaya yang dibangun oleh masing-masing agama yang berbeda. Karena, dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada redaksi salam yang baku sebagaimana telah disebutkan pada ayat tadi dan ayat ini: Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. (Qs. Maryam [19]: 33).

Bahkan, dalam beberapa hadis hampir perintah salam itu ditekankan pada pesan perdamaiannya bukan pada redaksinya. Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Amr Ibn al-Ash, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah Saw.: “Apakah (amal dalam) Islam yang paling baik?” Maka Rasul Saw. bersabda: “(Yaitu) kamu memberi makan (orang yang membutuhkan) dan mengucapkan salam kepada orang (Muslim) yang kamu kenal maupun tidak kamu kenal”. (HR. Bukhari).

Demikian pula, dalam hadis yang lain, disebutkan: Kalian tidak akan masuk Surga sampai kalian beriman (dengan benar) dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai (karena Allah Azza wa Jalla). Maukah kalian aku tunjukkan suatu amal yang jika kalian kerjakan, maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkan salam di antara kamu. (HR. Muslim).

Thus, pembatasan salam pada redaksinya seperti yang diimbau oleh MUI Jawa Timur sebaiknya tidak direspons secara serius. Karena, imbauan itu bukan sesuatu yang bermutu. Imbauan itu hanya berpotensi memecah persatuan, lebih-lebih NKRI. Ingat, salah satu tanda orang yang memiliki paham radikal dan ekstrem dapat dilihat dari cara mereka menjadikan agama sebagai jalan untuk memecah persatuan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru