31.2 C
Jakarta

Muhammadiyah dan Jihad Tangkal Ekstremisme-Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMuhammadiyah dan Jihad Tangkal Ekstremisme-Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah ke-48 digelar di Aula Ahmad Dahlan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Hamka (UHAMKA), Kampung Rambutan, Pasar Rebo, Jakarta Timur, pada Sabtu (14/3) kemarin. Acara yang dimeriahkan oleh sekitar 350 orang tersebut mengangkat tajuk “Ekstremisme Sosial-Keagamaan dan Perdamaian Semesta”.

Menteri Agama Fachrul Razi hadir langsung bersama Zul Efendi, Staf Khusus Menag. Busyro Muqoddas selaku Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah juga hadir. Semua tokoh Muhammadiyah yang hadir, termasuk Sutrisno dari bagian Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, membuktikan kekompakan Ormas tersebut konsen untuk memberantas patologi  sosial-keagamaan.

Menariknya, Richard Daulay, pendeta dari The International Reformed Theological Institutions, dan juga mantan Sekretaris Jenderal Persatuan Gereja Indonesia, juga hadir dalam acara Muhammadiyah tersebut. Persoalan radikalisme-ekstremisme-terorisme bahkan hari ini memang patut dijadikan topik untuk dicari pemecahannya bersama. Semua demi NKRI tercinta.

Keterlibatan social society, yang Muhammadiyah ada di salah satu terbesarnya di Indonesia, merupakan keniscayaan. Persoalan yang dihadapi negara, misalnya konflik transnasional, yang menemukan legitimasinya melalui kleptokrasi kepemimpinan, seperti diutarakan Busyro Muqoddas, akan memperumit polemik ekstremisme itu sendiri.

Di situlah jihad Muhammadiyah menemukan posisi. Mesti ada kebijakan konkret yang tidak hanya atas ke bawah (top-down). Muhammadiyah harus betul-betul representatif dan dapat diaplikasikan, tidak sekadar menghasilkan program kerja belaka. Sebagai topik yang sedang menuai banyak perhatian, ekstremisme harus dikonter sesegera mungkin.

Ketika fobia Barat terhadap Islam merebak, ekstremisme di kalangan internal Islam sendiri adalah penyebabnya. Jihad Muhammadiyah untuk meminimalisir fobia tersebut adalah dengan melakukan pembenahan diri di kalangan Muslim. Cara keberagamannya, misal. Tanpa jihad civil society, dipastikan ekstremisme sosial-keagamaan akan panjang eksistensinya.

Tidak hanya ekstremisme yang akan berlangsung lama, tatanan sosial juga semakin hari semakin mengkhawatirkan. Bagaimana patologi agama merusak cita-cita moderasi sangatlah patut dilakukan penelaahan kembali. Ekstremisme  dan dua sekawan lainnya, radikalisme dan terorisme, sama-sama buruk, dan Muhammadiyah berada di garis jihad pertama dalam menangkalnya.

Ekstremisme Menghancurkan Tatanan Sosial

Kalau mau disebutkan berdasarkan hierarki, ekstremisme berada di antara dua titik, berada di tengah-tengah, antara radikalisme dan terorisme. Jika radikalisme bercita-cita mengganti sistem negara, meka perlu digarisbawahi, perjuangannya hanya di narasi belaka. Tetapi ekstremisme satu langkah lebih jauh, dan lebih riskan dari radikalisme tadi.

Ekstremisme bercita mendelegitimasi pemerintah namun dilakukan dengan pergerakan. Tidak segan tindakan anarkis dilakukan, menyusul cita-citanya itu. Namun perlu digarisbawahi pula, keanarkisannya selevel lebih rendah daripada terorisme. Ekstremisme tidak meledakkan bom, melainkan melakukan intimidasi, persekusi, sweeping, dan sejenisnya.

Tentu saja terlepas dari susuan hierarkisnya, ketiganya sama-sama sangat berbahaya. Dan pelaku dari ketiganya tidak hanya satu agama, Islam misalnya. Tidak. Agama lain juga memiliki potensi terjangkit patologi keagamaan tersebut. Ini tercermin dari apa yang disampaikan oleh Richard Daulay di seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Setelah agama Kristen berubah dari agama ilegal menjadi agama resmi negara, Kristen berubah dari yang dianiaya, justru menjadi agama yang sering menganiaya aliran yang berbeda… Gereja menjadi alat bagi kekuasaan untuk tujuan politik… (padahal) kekristenan yang merupakan buah dari gerakan Yesus adalah agama yang sangat menekankan kasih, pengampunan, pengorbanan, dan perdamaian. Tetapi dalam perjalanan sejarah terjadi berbagai konflik internal dan penindasan kelompok separatis (heresy) yang merupakan campuran dari unsur-unsur politik dan keagamaan,” terang Pdt. Richard.

Dengan demikian, mengidentikkan patologi agama seperti ekstremisme hanya ada dalam Islam adalah kekeliruan fatal. Jihad memerangi ekstremisme yang ditempuh Muhammadiyah adalah manifestasi pembelaan terhadap kemurnian kebelaskasihan agama. Perlu bahu-membahu semua elemen: pemerintah dan tokoh agama, sementara civil society berperan sebagai penggeraknya.

Orientasi jihad Muhammadiyah adalah lanjutan dari konsep Islam Berkemajuan yang diusungnya. Ada beberapa hal yang hendak dilakukan Muhammadiyah, yaitu mendorong pembaruan penegakan hukum yang sesuai dengan hukum internasional, di tingkat negara, dan pembaruan bidang pendidikan dan kebudayaan, di tingkat akar rumput (grass root).

Ujung jihad tersebut ialah terealisasinya moderasi beragama. Ekstremisme sosial-keagamaan akan teratasi, patologi agama musnah, melalui paham moderat.

Moderasi Sebagai Tujuan

Jika Nahdhatul Ulama (NU) punya konsep Islam Nusantara, Muhammadiyah punya konsep Islam Berkemajuan. Sekalipun berbeda istilah, esensinya sama: menyuarakan pandangan keagamaan moderat. Moderat sendiri bisa bermakna sebagai antonim ekstremisme. Atau bisa bermakna tengah-tengah antara ekstrem dengan lembek; antara rigid dengan liberal.

Memberantas patologi sosial-keagamaan jelas tidak cukup dilakukan satu pihak. Semua kekuatan civil society harus dikerahkan. Masing-masih bisa bergerak dengan gagasannya sendiri, yang jelas muaranya harus sama: memperjuangkan moderasi Islam. Agama lain pun juga demikian. Perlu pelurusan paham, agar ekstremisme tidak merusak citra agama itu sendiri.

Ekstremisme tidak ada sangkut-pautnya dengan agama manapun. Tidak Islam, tidak juga Kristen. Apa yang dijihadkan Muhammadiyah, dengan demikian, tidak dalam rangka memerangi suatu pandangan keagamaan, melainkan memerangi patologi keagamaan. Yang namanya patologi, ia tidak inheren dalam agama, melainkan berada dalam tataran eksternal: yaitu politik indoktrinasi.

Menarik apa yang disampaikan oleh Menag Fachrul Razi dalam seminar Pra-Muktamar kemarin, bahwa yang mesti bermoderasi bukan agama itu sendiri, melainkan cara keberagamaannya. “Konsep tersebut saat ini diimplementasikan oleh Arab Saudi dengan wacana membuka diri. Sementara UEA menekankan sikap toleransi… Sikap toleran akan berdampak secara langsung terhadap dinamika Islamphobia di dunia,” terangnya.

Jihad Muhammadiyah menangkal ekstremisme sosial-keagamaan memerlukan keikutandilan bersama selaku bangsa Indonesia. Pengampanyean Islam moderat, atau moderasi Islam, harus bertolak dari masing-masing umat Islam itu sendiri. Muhammadiyah—juga demikian NU—adalah mediator moderasi Islam, kita semualah aktornya. Sedangkan ekstremisme, ia adalah musuh bersama.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru