31.2 C
Jakarta

Muhammad bin Abdul Wahhab dan Gerakan Dakwah Eksklusif-Radikal

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahMuhammad bin Abdul Wahhab dan Gerakan Dakwah Eksklusif-Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Salah satu gerakan dakwah eksklusif-radikal yang muncul pada 18 M adalah gerakan dakwah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahhab atau biasa disebut dengan kelompok Wahhabi. Dia lahir di Uyainah pada tahun tahun 1115 H, dengan nama lengkap Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman at-Tamimi.

Sebagai seorang yang lahir dari keluarga bani Tamim, Muhammad bin Abdul Wahhab lahir dalam lingkungan yang penuh dengan ilmu dan ketakwaan. Sejak kecil sudah belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Ayah dan kakeknya adalah ulama di daerahnya, termasuk orang-orang yang ada di lingkungannya pada waktu itu juga banyak dari kalangan ulama.

Setelah masa kecilnya dihabiskan untuk belajar kepada sang ayah, Abdul Wahhab pergi ke Hijaz untuk melanjutkan belajar. Selama di Hijaz, Abdul Wahhab banyak menghabiskan waktunya di Mekkah dan Madinah. Selama di Mekkah, dia belajar kepada Syekh Abdullah bin Ibrahim bin Saif dan Syekh Muhammad Hayat as-Sindi al-Hanafi.

Kunjungan Abdul Wahhab  ke Hijaz, selain adanya faktor keluarga yang dari kalangan ulama juga tidak lepas dari peran salah satu gurunya yaitu Abdullah bin Ibrahim bin Saif. Yang merupakan seorang ulama yang bermazhab Hanbali, dan menguasai hadis serta tinggal di Madinah. Lewat tokoh inilah, Abdul Wahhab mengenal dan membaca karya-karya Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qoyyim. Selain dua tokoh tersebut, Abdul Wahhab juga banyak berguru kepada ulama lain saat masih di Hijaz.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku Sejarah Lengkap Wahhabi karya Nur Khalik Ridwan, selama masa belajar Abdul Wahhab senang membaca berita dan kisah-kisah para pengaku kenabian seperti Musailamah al-Kadzdzab, Sujah, Aswad al-Ansi, dan Thulaihah al-Asdi. Kesenangannya inilah yang juga menjadi salah satu sebab Abdul Wahhab mempunyai pribadi yang keras ketika melakukan dakwah.

Di masa belajarnya juga, Muhammad bin Abdul Wahhab melihat banyak umat Islam di sana yang menurutnya “tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik.” Karena mereka mengunjungi makam Nabi dan makam seorang tokoh agama untuk memohon sesuatu kepada kuburan dan penghuninya. Hal ini dianggap sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah Swt.

Abdul Wahhab juga pernah melakukan perjalanan ke Irak. Dan ketika sedang berada di Bashrah selepas dari Hijaz, sebagian ada yang menyebut saat berada di desa al-Majmu’ah Irak. Abdul Wahhab mengecam praktik-praktik tertentu yang dianggap syirik dan bid’ah. Dia berinisiatif berdakwah sesuai keyakinan dan pemahamannya terhadap agama Islam. Padahal menurut ayahnya sendiri, Abdul Wahhab adalah sosok yang tidak selesai dalam belajar agama sehingga dia tidak begitu menguasai fiqh.

Namun ketika berada di Irak, dakwahnya kurang bersinar dan menemui banyak rintangan serta halangan. Karena dia mendapat banyak tekanan dari para tokoh ulama yang dituduh sesat olehnya. Dia pun kembali mengembara ke beberapa daerah untuk menyebarkan keyakinannya.

Namun selama berada di Irak, Abdul Wahhab melihat banyak orang yang menghormati makam Imam Ali dan Imam Husein. Hal tersebut membuatnya memusuhi orang-orang yang memuliakan makam Imam Ali dan menolaknya. Karena ulahnya tersebut, dia diusir dan kembali ke Huraimala. Ternyata sesampainya di tempat ini, dia kembali mengkritik praktik-praktik keagamaan yang olehnya disebut bid’ah. Di tempat ini juga, Abdul Wahhab kitab at-Tauhid yang menjadi rujukan utama kelompok Wahhabi dalam bidang tauhid.

Tahun 1139 H, sang ayah pindah dari Uyainah ke Huraimala. Saat itu Abdul Wahhab sudah ikut dengan sang ayah dan belajar kepadanya. Namun dia tetap menentang secara keras terhadap amalan-amalan agama di Nejd yang dianggap syirik. Hal ini membuat adanya pertentangan, dan perselisihan yang hebat dengan ayahnya serta penduduk Nejd dan hal tersebut terjadi sampai sang ayah meninggal.

Saat berada di Uyainah, Abdul Wahhab juga membuat gerakan dengan  cara membuat kerusakan alam dan situs-situs budaya dengan menumbangkan dan memotong pohon-pohon besar, menghancurkan kubah para syuhada dan kuburan. Pohon-pohon besar yang mengandung cadangan air melimpah juga dihancurkan dengan dalih menghidupkan Sunnah dan menghancurkan bid’ah.

Pemikiran-pemikiran eksklusif dan radikal Abdul Wahhab tersebut ternyata sudah muncul sejak dia berumur 20 tahun. Bahkan hal tersebut pernah membuat sang ayah dipecat dari jabatan hakim hingga membuatnya meninggalkan Uyainah dan pergi ke Huraimala.

Semangat dakwah yang tinggi yang dipunyai oleh Abdul Wahhab namun tidak dibarengi dengan keilmuan yang mumpuni membuatnya terjerumus ke dalam dakwah yang eksklusif, radikal yang melahirkan pertentangan dengan para gurunya bahkan ayah dan keluarganya. Bahkan ayah Abdul Wahhab sendiri menyuruh untuk menjauhi putranya, karena tidak paham mendalam tentang fiqih dan dianggap sesat oleh ayahnya.

Setelah sang ayah meninggal, Abdul Wahhab mulai melancarkan dakwahnya dengan lebih keras yang akhirnya dikritik oleh sebagian ulama mazhab Hanbali. Dia terus menyebarkan kritikan kepada kaum Muslim, terutama terhadap mereka yang melakukan istighasah, tawasul, berdoa kepada Allah di sisi kuburan dan untuk berziarah. Atas kritikan yang lebih menyerupai penghinaan tersebut, pengaruhnya jadi tersiar “melawan kaum Muslim” dan konsolidasinya mulai terbangun.

Ketika berdakwah di Uyainah pada tahun 1157 H, Abdul Wahhab mendapat sambutan dari pemimpin Uyainah yaitu Utsman bin Ma’mar. Bahkan pemimpin Uyainah tersebut menikahkkannya dengan bibinya yang bernama Jauharah. Namun di tempat ini, Abdul Wahhab banyak mendapat penolakan dari masyarakat dan para ulama yang resah dengan model dakwah yang dilakukannya. Apalagi malah didukung oleh penguasa setempat.

Setelah mendapat penolakan dan tidak diterima di Uyainah, Abdul Wahhab pindah ke wilayah Dir’iyah pada 1158 H yang dikuasai oleh Muhammad Saud. Di Dir’iyah inilah, Abdul Wahhab memulai konsolidasinya lebih intensif bersama para pengikutnya yang menamakan diri sebagai Wahhabisme. Konsolidasi tersebut dilakukan dengan penguasa Dir’iyah yang menyambut dengan baik gerakan dakwah yang dilakukan oleh Abdul Wahhab.

Kolaborasi tersebut kemudian melahirkan kerajaan Arab Saudi pertama, dengan menjadikan Wahhabisme sebagai bagian resmi alat kekuasaan Muhammad bin Saud yang dimulai 1744 M. Muhammad bin Saud sendiri merupakan seorang yang berasal dari keluarga Yahudi. Namun, untuk menutupi bahwa pendiri kerajaan Saudi Arabia tersebut berasal dari keluarga Yahudi. Para pendukung Wahhabisme memalsukan nasabnya, kalau Muhammad Saud masih keturunan Nabi Muhammad Saw.

Persekongkolan dengan Muhammad Saud yang telah berhasil melahirkan kerajaan Arab Saudi, kemudian menjadi gerakan dakwah yang dilakukan oleh Abdul Wahhab dan kelompoknya berubah menjadi besar. Karena gerakan dakwah yang diusungnya kemudian dijadikan alat resmi kekuasaan dan mazhab resmi negara.

Muhammad Saud kemudian mengajak Abdul Wahhab untuk melakukan jihad terhadap mereka yang menyelisihi tauhid versi pendiri Wahhabi. Muhammad Saud juga bersedia menolong gerakan Wahhabi dengan berbagai syarat.

Setelah mendapat dukungan dari Muhammad Saud. Di Dir’iyah inilah, Abdul Wahhab melancarkan gerakan dan membina para kader di bawah perlindungan Muhammad bin Saud. Kolaborasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan berbagai serangan ke daerah-daerah sekitar, yaitu daerah-daerah yang dihuni kaum Muslim. Serangan dakwah tersebut juga disokong oleh para tentara dan penyokong yang telah dicekoki dengan ideologi Wahhabisme.

Dengan dukungan tentara, mereka melancarkan serangan dakwah ke berbagai daerah. Para pemimpin daerah yang dituju diajak untuk kembali ke ajaran yang benar, yaitu ajaran Islam versie Wahhabi yang diprakarsai Muhammad bin Abdul Wahhab dengan bahasa kembali ke tauhid. Apabila mereka tidak mau mengakui Wahhabisme, maka mereka akan diserang. Di antara daerah-daerah tersebut adalah Riyadh, Manfukhah dan lain sebagainya.

Atas keberhasilan kolaborasi dan memajukan ajaran Wahhabisme, para pembela Wahhabisme kemudian menganggap Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai sosok agung pembela dakwah Salafiyah bukan disebut sebagai pembela Ahlussunnah wal Jama’ah. Keberhasilan indoktrinasi dan gerakan dakwah yang radikal para pengikut Wahhabi kemudian dilanjuutkan dari generasi ke generasi, hingga akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Arab Saudi kedua di atas pertempuran demi pertempuran, dan hujatan demi hujatan terhadap kelompok-kelompok muslim lain yang dianggap mempraktikkan bid’ah.

Para pengikut Wahhabisme sendiri menjadikan Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai rujukan utama  sekaligus Imam dakwah Salafiyah yang selalu menggunakan slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah, memerangi praktek bid’ah. Dari kelompok inilah kemudian muncul banyak pengkafiran-pengkafiran terhadap mereka yang dianggap melakukan praktik bid’ah. Dari kelompok ini juga, ideologi radikal banyak menjamur di dunia Islam. Yang mana penyebarannya banyak dilakukan dengan membangun lembaga pendidikan, kemudian melakukan indoktrinasi ideologi ajaran Islam versi Wahhabi.

Nur Hasan, Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru