28 C
Jakarta

Moderasi yang Tak Moderat dan Radikalis yang Mungkir

Artikel Trending

Milenial IslamModerasi yang Tak Moderat dan Radikalis yang Mungkir
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Untuk mengulas tentang moderat dan radikal, saya akan memulai tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah saw. Bersabda:

يَأْتِي فِيْ اخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَنَاءُ الْأَمْنَنِانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلاَمِ يَقُوْلُوْنَ مِنْ خَيْرٍ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الْإِسْلاَمِ كَمَا يَمْرُقُ الشَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لاَ يُجَاوِزُ إِيْمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْرواه البخاري

Pada akhir zaman nanti akan datang sekelompok orang dari kalangan muda, dengan pemikiran yang sempit. Mereka mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi mereka keluar dari kebenaran seperti panah lepas dari busurnya. Iman mereka hanya sampai di tenggorokan (tidak sampai ke hati sehingga dapat memahaminya dengan baik).” (HR. Bukhari)

Hadis ini seringkali menjadi bola umpan kalangan moderat dan kalangan radikal. Mereka yang memiliki pandangan keagamaan eksklusif-radikal menganggap orang moderat sebagai Muslim yang kebablasan. Karena mereka menafsirkan Al-Qur’an karena ingin menjustifikasi pluralisme, relativisme, dan sebagainya.

Sedangkan kalangan moderat menganggap mereka yang radikal lebih pas dengan hadis di atas. Karena mereka menafsirkan ayat sesuai selera sendiri. Hanya menafsiri secara harfiah, tidak peduli tentang konteks pemaknaan. Akhirnya Al-Qur’an tidak pernah masuk ke dalam hati, sekadar senjata kepentingan sesaat.

Baik yang mengaku moderat maupun yang dianggap radikal terlibat saling tuding satu sama lain. Bahkan, sampai tak jarang sama-sama terlibat perdebatan yang berujung stigmatisasi. Akhirnya tidak jelas, siapa yang benar-benar moderat, dan siapa yang sesungguhnya radikal-eksklusif.

Misalnya, suatu organisasi mengklaim diri sebagai kalangan moderat, yang menampilkan moderasi Islam. Tetapi kenapa tak sedikit yang mengucilkan pandangan yang berbeda dengan paham moderat ala mereka? Apakah itu moderasi? Perlu ditelaah. Lalu kenapa juga yang jelas-jelas radikal juga masih mungkir?

Antara moderasi yang—faktanya—seringkali tidak moderat, dan radikalis yang mungkir mungkin menemukan titik terang jika duduk perkara dari dua term tersebut diperjelas. Moderat dan radikal bukanlah perang ideologi, melainkan perbedaan konsep keberagamaan.

Harusnya, konsep moderasi tak inklusif dalam eksklusivitasnya, dan konsep radikal berbenah diri, bukan mungkir atas keradikalannya. Umat pun tidak akan bingung menentukan sikap keberagamaannya.

Moderat Ideologis atau Ideologi Moderat?

Penting untuk diutarakan, term moderat (tawassuth) sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Yusuf al-Qardhawi membahas moderasi dalam beberapa karyanya. Kendati demikian, disadari atau tidak, term tersebut muncul sebagai antitesis dari stigmatisasi Islam sebagai agama yang bertendensi ke arah kekerasan. Stigmatisasi tersebut bahkan melahirkan Islamophobia.

Padahal, meringkas apa yang dikemukakan Muchlis Hanafi  dalam bukunya, Moderasi Islam: Menangkal Radikalisme Berbasis Agama (2013: 32-33), stigmatisasi Islam sebagai agama yang lekat dengan kekerasan setidaknya dipengaruhi beberapa faktor.

Pertama, ketidaktahuan orang Barat terhadap Islam yang sebenarnya, karena mereka hanya memahami Islam seperti apa yan dikemukakan para orientalis tentang Islam yang seringkali beriklim kebencian (phobia). Kedua, trauma serangan 11 September 2001 terhadap gedung WTC dan Pentagon. Islam kemudian tertuduh identik dengan terorisme, fundamentalisme, radikalisme dan bahkan oleh Samuel Huntington dianggap “the clash of civilization”.

Ketiga, ini yang menjadi pokok kajian tulisan ini, yakni karena gairah keagamaan hingga sampai pada taraf berlebihan (al-ghuluw) dan ekstrem (al-tatharruf). Kerancuan pemahaman mereka terhadap amar ma’ruf nahi munkar kemudian menjadikan Islam seakan tidak ramah menghadapi perbedaan. Dan jelas, ini disebabkan sebagian umat Islam sendiri.

BACA JUGA  Hilangnya Nalar Waras di Zaman yang Tidak Jelas

Yang ketiga inilah yang berusaha dibuat antitesis dengan menawarkan moderasi Islam. Permasalahannya adalah: pandangan moderat tersebut bersifat ideologi, atau justru ideologinya yang moderat?

Moderat ideologis artinya, adalah suatu organisasi keislaman yang mengusung pandangan moderat. Misalnya Muhammadiyah dan NU. Dua organisasi tersebut memiliki pandangan keagamaan yang moderat, inklusif, dan menjunjung toleransi-perdamaian. Sikap moderat tersebut sudah menjadi identitas ideologi Muhammadiyah dan NU itu sendiri.

Sedangkan ideologi moderat, idealnya tidak memiliki afiliasi organisasi mana pun. Ia merupakan manifestasi konsep universal Al-Qur’an. Tentang bagaimana Al-Qur’an mengajarkan keadilan, kesetaraan, dan intoleransi. Ideologi moderat yang dimaksud di sini, artinya, ialah moderasi itu sendiri tanpa berada dalam suatu organisasi, melainkan konsep universal Al-Qur’an an sich.

Mungkir untuk Dianggap Radikal

Kelompok radikal memang itu sebuah istilah. Tetapi istilah itu sangat tepat, saya pikir, untuk disematkan kepada mereka yang cenderung tidak toleran terhadap kelompok yang berbeda,” terang Mohammad Shofan, Direktur Riset Maarif Institute, saat wawancara di kediamannya sepuluh hari yang lalu, Sabtu (18/1/2020).

Tidakakan ada orang yang mau dianggap radikal. Ia adalah term stigmatis, konotasinya tidak enak didengar. Tetapi, kita bisa mengenal mereka dari narasi keagamaan yang selalu diserukan, juga dari tindakan keagamaan setiap harinya. Mereka yang tak mengindahkan toleransi, dan memiliki keinginan untuk merombak ideologi negara, jelas adalah radikal. Sekalipun tidak mengakui.

Pada saat yang bersamaan, moderasi Islam adalah konsep universal Al-Qur’an. Baik toleransi, kesetaraan, keadilan dan lainnya sudah diatur di dalamnya. Klaim moderat adalah wujud upaya  menjadi seperti yang diperintahkan Al-Qur’an. Perkara ternyata moderasi tersebut bernuansa ideologis, tak jadi masalah, asal tak mencederai elemen-elemen moderasi itu sendiri.

Sebaliknya, menjadi radikal artinya melawan konsep universal tersebut. Seberapa pun ia dipungkiri keberadaannya, ia mesti dilawan. Selain karena bertentangan dengan idealisme Islam, ajaran Al-Qur’an, ia juga kontradiktif dengan eksistensi negara. Dalam hal ini Indonesia, umpamanya, yang terdiri dari multi-agama, multi-ras, multi-suku, atau yang disebut ‘plural’.

Tetapi setiap klaim moderasi harus merepresentasikan dari sikap moderat itu sendiri. Tidak boleh ada perasaan supremasi dari yang lain. Tidak boleh ada caci-maki, dan sejenisnya, karena itu semua akan mencederai moderasi yang diklaim. Juga menjadikan moderasi sebagai konsep yang peyoratif, yang menjadi tak ada bedanya dengan paham radikal.

Moderasi yang tak moderat tersebut berbanding lurus dengan radikal yang tak diakui. Keduanya sama-sama berbahaya bagi eksistensi NKRI. Yang pertama akan berdampak terhadap citra buruk Islam, dan yang kedua berdampak terhadap sosial-politik NKRI.

Kita mesti bagaimana? Yaitu: menjadi Muslim yang benar-benar moderat, benar-benar beragama dengan konsep moderasinya, sambil tidak menampakkan sikap keberagamaan yang mengarah pada sikap-sikap tak toleran. Tidak pernah mencaci, karena jadi tak ada bedanya dengan yang radikal.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru