31 C
Jakarta

Moderasi Mencegah Merebaknya Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahModerasi Mencegah Merebaknya Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Persoalan terorisme tidak hanya mejadi masalah yang dihadapi oleh para penganut agama saja tetapi juga menjadi masalah bagi semua ideologi di dunia. Tentu saja tidak hanya agama Islam yang menjadi korban dengan merebaknya fenomena radikalisme, agama-agama lain juga menghadapi hal yang sama. Radikalisme yang berujung terorisme bisa menjangkiti siapa saja, kelompok apa saja, tanpa pandang bulu

Misalnya, Hindu garis keras di India (RSS-Rashtriya Swayamsevak Sangh), kelompok ekstrim Budha “Gerakan 969” bentukan biksu  Ashin Wirathu dan kelompok Yahudi ekstrim di Israel adalah beberapa contoh kelompok radikal di luar Islam. Beberapa kelompok non agama juga melakukan tindakan radikalisme dan terorisme yang tidak kalah menakutkan dampaknya. Ambil saja contoh  pengeboman Oklahoma April 1995 dilakukan oleh Timothy McVeigh, Kelompok Rasis Ekstrim di Amerika Serikat (Ku Klu Klan), berbagai aksi terorisme di Palestina dilakukan melalui gerakan pendudukan oleh Israel. Macan Tamil ultranasionalis juga menjadi pelaku terorisme di Srilangka. Terbaru seorang yang diduga menjadi anggota kelompok White Supremacy melakukan penembakan brutal di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, pada 15 Maret 2019, menewaskan 49 jamaah masjid.

Memotret Radikalisme

Menurut Emmanuel Sivan (1985) dalam bukunya berjudul Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics radikalisme dijabarkan sebagai suatu keyakinan dan keinginan untuk melakukan suatu perubahan politik, ekonomi dan sosial secara drastis (radikal).  Sikap radikal ini dapat menimbulkan konflik apalagi jika dilakukan dengan cara kekerasan.

Radikalisme tidak mengenal kompromi dalam mencapai cita-cita yang diimpikan. Di samping itu sebagaimana dibahas oleh Mark Juergenmeyer (2001) dalam bukunya Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence bahwa  mereka yang digolongkan radikal memiliki kecenderungan menolak aturan yang ditetapkan oleh negara maupun anti terhadap lokal. Karena meresa paling benar mereka pun sering bersika memaksakan pemikiran dan keyakinan yang dianutnya.

Greg Fealy (2004) dalam  artikelnya :”Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?” menyebutkan ciri-ciri kelompok radikal antara lain; (1) Islam harus diterapkan secara “sempurna” dan literal seperti apa yang ada di dalam Qur’an dan Hadits  tanpa ada kompromi, (2) sangat reaktif baik dalam bentuk bahasa, gagasan dan kekerasan fisik terhadap apa saja yang mereka anggap sekuler, materialistik dan kelompok-kelompok menyimpang, (3) menentang penguasa sekuler dan “status quo” dan menginginkan untuk merubahnya dengan Islam (Negara Islam).

Menjadi tanggung jawab kita bersama mencegah maraknya fenomena radikalisme di Indonesia. Moderasi menjadi cara paling efektif dalam mencegah radikalisme. Moderasi mengajarkan sikap akomodatif dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada dengan mengedepankan adanya kesamaan, penghargaan dan toleransi.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Meneguhkan Asas Moderasi

Bagi seorang muslim, moderasi bukan hanya sekedar menerapkan nilai-nilai luhur ajaran agama tetapi merupakan sebuah gerakan menemukan kembali identitas. Identitas Islam adalah moderat karena dari awal Islam telah mengajarkan untuk menjadi umat pertengahan dan bersikap moderat (tawasuth). Perintah ini secara jelas ditegaskan dalam al-Qur’an, “Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan  wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi  saksi atas (perbuatan) kamu…” (QS. al-Baqarah:143).

Tentu saja sikap moderat sebagaimana dijabarkan oleh KH Ahmad Siddiq (1980) dalam bukunya Khittah Nahdiyah bukanlah suatu sikap serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Moderasi beragama mengajarkan untuk mencari kebaikan agar terhindar dari sikap-sikap ektrim baik itu yang radikal maupun liberal.

Moderasi mengandung makna aktif dengan mempromosikan nilai-nilai toleransi, saling percaya dan memahami. Karenanya moderasi tidak terbatas hanya dimanifestasikan dalam bidang agama saja tetapi harus dijadikan panduan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Indonesia menjadi contoh terbaik dalam praktik moderasi. Ini dibuktikan dengan lahirnya Pancasila sebagai ideologi  negara melalui proses yang panjang. Suatu proses mencari kesepakatan bersama yang dilakukan oleh para pendiri bangsa dengan menempuh jalan tengah guna menyelesaikan kebuntuan dalam menentukan dasar negara.

Dengan Pancasila, Indonesia terhindar dari konflik dan pertikaian yang disebabkan oleh sikap ekstrim berlebihan. Ada semacam sikap menerima dan saling memberi guna mewujudkan Indonesia yang berdaulat dan merdeka. Indonesia hingga saat ini bukanlah negara berdasarkan pada agama tertentu dan tidak pula negara sekuler yang anti agama. Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Pancasila yang salah satu sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Itulah jalan moderasi yang diwariskan oleh para pendiri bangsa.

Tidak bisa ditunda-tunda lagi, moderasi harus menjadi kampanye bersama semua elemen bangsa. Ini dilakukan agar bangsa Indonesia kembali menemukan karakter aslinya sebagai bangsa yang cinta damai, penuh harmoni dan toleransi. Moderasi tidak bisa tidak harus menjadi gerakan bersama menyelamatkan Indonesia dari ancaman radikalisme dan ekstrimisme dengan kekerasan.

Oleh: Yon Machmudi

Ketua Prodi Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG UI, Direktur Eksekutif Institut Moderasi Indonesia (InMind)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru