26.9 C
Jakarta

Mengulik Aksi Selamatkan Indonesia oleh Barisan Oposisi Sakit Hati (Bagian 2)

Artikel Trending

Milenial IslamMengulik Aksi Selamatkan Indonesia oleh Barisan Oposisi Sakit Hati (Bagian 2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pada bagian sebelumnya, sudah diulas, tokoh-tokoh KAMI, yang semuanya berkomitmen selamatkan Indonesia dari persoalan-persoalan genting yang tengah terjadi, baik dalam politik, ekonomi, hukum, dan lainnya, bukanlah pemain baru. Karenanya, narasi selamatkan Indonesia itu sendiri masih absurd, antara idealisme gerakan  dengan kepentingan pragmatisnya. Apakah ia benar-benar akumulasi massa yang mewakili suara masyarakat, atau gabungan politisi yang kecewa, sakit hati, kepada pemerintah?

Yang demikian harus dicari kejelasannya. Banyak sudah aspirasi yang mengatasnamakan masyarakat namun semakin jauh malah kentara kepentingan politik. Ini tidak sama dengan para aktivis khilafah yang memang terang-terangan ingin mengganti sistem pemerintahan. KAMI berangkat dari tokoh-tokoh politik, sementara pejuang khilafah rata-rata tokoh agama yang ingin masuk politik dengan baju keagamaannya itu. Mereka mendoktrin, khilafah yang diperjuangkan HTI bagian dari syariat Islam, meski semuanya adalah manipulasi belaka.

Aspirasi masyarakat lainnya tidak berangkat dari manipulasi agama, melainkan ‘emosi umat Islam’. Misalnya Persaudaraan Alumni 212. Komunitas PA 212, mulanya, berasal dari kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok, hingga membuatnya mendekam di balik jeruji besi. Keterlambatan pemerintah menangani kasus tersebut mengundang aksi berjilid-jilid, yang narasinya adalah membela agama, habaib, dan ulama. Lama-lama, sepak terjang politik mereka mengemuka juga. Orang-orang di dalamnya adalah para politisi, tetapi berkopyah dan berbaju agamis.

Memahami titik balik munculnya suatu aspirasi, yang semuanya berangkat dari satu niat suci: selamatkan Indonesia, dari komunis, dari liberal, dan terakhir dari oligarki, sangatlah penting, karena dengannya kita bisa membuka tabur kemana orientasi aspirasi tersebut hendak dibawa. Para aktivis khilafah bertolak dari doktrin palsu agama, berakhir ingin mengganti pemerintahan. PA 212 mengaburkan kemurnian FPI, menjadi ormas Islam tersebut lebih politis dari sebelum munculnya PA 212.

Jangan-jangan—ini  yang mesti dikhawatirkan—KAMI juga demikian. Ia bertolak dari para oposisi pemerintah hingga pejabat yang sakit hati, lalu menyatukan narasi ingin memperbaiki Indonesia, padahal ingin mengais simpati masyarakat lalu kelak menjadi kekuatan politik yang mengalahkan elektabilitas pemerintah itu sendiri. Bukan mustahil aktivis khilafah, aktivis PA 212, dan oposisi sakit hati itu menyatu, dan KAMI menjadi gerakan politik oposisi paling kuat. Dengan kata lain, KAMI dengan narasi selamatkan Indonesia ternyata merupakan momen bersatunya para oposisi Jokowi. Sangat mungkin, bukan?

Bersatunya Oposisi Jokowi

Tinggal empat tahun, Jokowi tidak lagi akan memimpin negeri ini. Karena itu, sementara kalangan menyakini, sepak terjang politik mantan Walikota Solo itu sangat oligarkis, dan melakukan apa saja demi melanggengkan kekuasaan. Misalnya, dengan pencalonan Gibran, putra Jokowi, sebagai Walikota Solo. Banyak yang beranggapan, Jokowi tengah mempraktikkan dinasti politik, dan banyak yang meyakini bahwa Jokowi ingin Gibran ikut langkah dirinya: mulai Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, lalu Presiden Republik Indonesia.

Barangkali karena hal itu, KAMI dibentuk. Kekhawatiran terhadap lahirnya pemerintah oligarki dirasa memerlukan penanganan segera. Rakyat diharap untuk berkoalisi, bersatu, melawan kemungkinan terburuk tersebut. Jika benar demikian, maka aspirasi KAMI sah-sah saja sebab memperjuangkan idealisme. Masalahnya adalah, ketika akumulasi aspirasi tersebut heterogen, dan idealisme yang diperjuangkan KAMI menjadi tidak seideal rancangannya.

Bahwa ternyata selamatkan Indonesia merupakan narasi belaka, belum dapat dikatakan secara pasti. Din Syamsuddin, Rocky Gerung, Rizal Ramli, dan para anggota lainnya adalah sosok-sosok Pancasilais yang tidak akan pernah rela Indonesia menerapkan khilafah atau menjadi NKRI Bersyariah. Tetapi Abdullah Hehamahua yang satu sisi merupakan aktivis PA 212, atau misal nanti Ismail Yusanto dan Felix Siauw bergabung, tolok ukur apa yang akan KAMI pakai dalam narasi-aksi ‘Selamatkan Indonesia’-nya?

BACA JUGA  International Women’s Day dan Peran Perempuan dalam Terorisme

Pasti terjadi simpang siur kepentingan yang bermuara pada satu cita: ingin duduk di sistem pemerintah, atau bahkan merombaknya. Ada peribahasa Prancis yang terkenal mengenai bersatunya oposisi Jokowi ini, yaitu bahwa “kawan dari musuh saya adalah musuh saya, dan musuh dari musuh saya adalah kawan saya”. Semua elemen oposisi bersatu, tentu sangat diterima nalar, dengan analogi peribahasa tersebut. Benarkah ‘selamatkan Indonesia’ itu konotasinya adalah ‘rebut kekuasaan pemerintah’?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab, seiring waktu KAMI bermain di lapangan. Anggota yang heterogen, ideologi yang tidak seragam, dan baru bersatu lantaran sama-sama oposisi, akan menentukan arah gerakan mereka ke depan. Berbahaya atau tidak, baiknya tidak ada prasangka buruk, selama itu merupakan aspirasi. Tetapi melihat gerak-geriknya ke depan merupakan keniscayaan. Dengan aktor-aktor yang beragam, kita ajukan pertanyaan paling substansial: seperti apa masa depan Koalisi Aksi Selamatkan Indonesia?

Masa Depan Aksi Selamatkan Indonesia

Pada 17 Agustus 2020, usia kemerdekaan Republik Indonesia sudah 75 tahun. Tentu, usia tersebut tidak lagi muda. Negara ini sudah melewati banyak proses demokrasi yang alot dan berdarah-darah. Pembantaian, pelengseran, perseteruan politik, hingga perang ideologi bukan lagi sesuatu yang anyar Indonesia alami. Boleh jadi itu adalah konsekuensi logis dari demokrasi, yang mengakomodasi kebebasan menyampaikan aspirasi. Selama tidak mencederai Pancasila, aspirasi-aspirasi itu menemukan tempatnya.

Aksi selamatkan Indonesia merupakan ikhtiar wajib seluruh elemen bangsa. Selamatkan Indonesia artinya mempertahankan ideologi, falsafah bangsa, dan menjaga keberlangsungan socio-democracy, demokrasi kemasyarakatan. Misalkan hari ini ada komunitas baru yang mengatasnamakan koalisi penyelamat bangsa, bisa jadi mereka mengetahui masalah apa yang tengah dihadapi Indonesia. Namun masalahnya adalah, substansi penyelamatan tersebut berbentuk apa? Tentu jika hanya wacana, masyarakat akan menolaknya.

Maka dari itu, aksi selamatkan Indonesia mesti menjadi konsensus setiap warga negara. Sementara, masa depan koalisi tersebut, KAMI maksudnya, itu tergantung dinamika politik yang ada di dalamnya. HTI bersuara mengatasnamakan agama, sekarang bubar. FPI ingin menolong bangsa dari liberalisme, tetapi Habib Rizieq selaku pemimpinnya terjerat kasus, hingga memaksanya tinggal di Arab Saudi. Yang ada sekarang tinggal PA 212 dan aktivis personal khilafah yang, keduanya, jelas-jelas berorientasi politik.

KAMI bisa menjadi mitra pemerintah di satu sisi, sekaligus menjadi watchdog di sisi lainnya, selama mereka tidak tergerus kepentingan politik juga. Ke depan, semua rakyat akan menyaksikan, benarkah kelompok masyarakat tersebut mampu bertahan dari godaan politik, atau sama saja dengan pendahulunya. Apakah KAMI akan menjadi seperti PA 212 yang semula demi kepentingan membela agama namun bergeser juga ingin memperoleh kuasa? Tidak ada yang tahu pasti.

Selamatkan Indonesia tidak bergantung terhadap berdirinya KAMI, sehingga KAMI ada atau tidak bukanlah soal, selama masyarakat memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Mengkritik pemerintah, mengkontrol kebijakan mereka, adalah satu poin mengamalkan demokrasi. KAMI masih berada di garis permulaan. Jika suatu saat ia mengalami polarisasi politik, bertendensi merebut kekuasaan belaka, maka ia bukan lagi ingin selamatkan Indonesia, melainkan ingin mengambil-alih pemerintahan belaka.

Wallahu A’lam bi as-Shawab.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru