26.7 C
Jakarta

Majelis Mujahidin Indonesia; Pembela Pancasila atau Promotor Negara Islam?

Artikel Trending

Milenial IslamMajelis Mujahidin Indonesia; Pembela Pancasila atau Promotor Negara Islam?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Keberuntungan di balik wacana RUU HIP adalah munculnya organisasi Islam radikal, yaitu Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang baru menjelang seminggu ini menggelar diskusi yang bertema “Indonesia Bersyariah Versus Komunisme”, dimana kajian tersebut diikuti 30 orang. Narasumbernya, Irfan S Awwas (Ketua Lajnah Tanfidziyah MMI). [25/06/2020]

Menurut pengamatan penulis, diskusi bertajuk seperti itulah yang menjadi akar pertumbuhan intoleransi semakin menguat di kalangan umat Islam, pembajakan terhadap simbol-simbol agama tampak menciptakan krisis sadar, dan etika sosial yang terkesan buruk dalam praktik keberagamaan. Adu domba, dan narasi fiktif-provokatif berpotensi menjadi ancaman serius terhadap komitmen persatuan umat Islam di tanah air Indonesia.

Kajian ekstrem yang berkedok agama tersebut dapat dibuktikan melalui ucapan, Irfan S Awwas, dalam memaparkan materi. Umat Islam banyak yang tersesat karena mengikuti tata cara hidup seperti orang kafir, beragama Islam. Tetapi, berideologi komunis. Jika ada keturunan Soekarno yang melindungi PKI, hal tersebut merupakan negara Islam berdasarkan alasan demografis, politik, hukum, hingga fatwa-fatwa Ormas Islam.[25/06/2020]

Legitimasi sepihak ini memuat unsur pernyataan jihad-politis, dan kajian radikal. Bagaimana mungkin seorang ustadz mudah bertindak main hakim sendiri? Dan kenapa sampai keluar statement banyak umat Islam yang meniru model kehidupan orang kafir? Bahkan, sampai-sampai berkata berideologi komunis/PKI. Ragam pertanyaan tersebut perlu dijawab objektif.

Pikiran-pikiran ustadz radikal sengaja mempertontonkan dan melempar bola liar (isu agama) terhadap umat Islam. Sehingga, psikologi umat pun terbawa narasi-narasi intoleran, ekstrem, dan radikal. Yang mampu membuat seluruh umat Islam emosi, dan benci hingga melihat kebijakan pemerintah hanya sebelah mata. Dan tak pernah peduli atas apa yang telah terjadi.

Dimanakah suara Irfan S Awwas dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) ketika negara dicap rezim represif, dan otoriter? Padahal, di balik putusan pemerintah adalah untuk menjaga dan melindungi Pancasila dari ancaman khilafah. Lalu, setelah DPR bersama-sama partai pengusung pemerintah yaitu PDI-Perjuangan merencanakan Revisi Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Kemudian, merasa sok Pancasilais seolah-olah membela Pancasila karena menuduh pemerintah pro komunis, dan kontra khilafah.

Paradoks Radikalisme Modern

Umat Islam yang ada di garda terdepan memilih Pancasila daripada khilafah tidak seburuk yang mereka pikirkan, lantas secara subjektif menuduh kita kafir, dll. Pikiran-pikiran kali ini menjawab kedok bahwa Irfan S Awwas dan MMI adalah pahlawan radikalisme agama yang sesungguhnya.

Jika sebelumnya FPI, dan HTI membenturkan Islam dan negara, serta mengkriminalisasi Pancasila melalui sistem khilafah. Sehingga, kini Irfan S Awwas, MMI, dan mereka (FPI-HTI) telah terbukti melakukan konspirasi bela Pancasila dengan menggerahkan aksi jihad radikal-politis menolak RUU HIP.

Di Indonesia, transformasi gerakan organisasi radikal telah menjadi wujud kongkret radikalisme modern merajalela tidak hanya di sekolah maupun pesantren. Melainkan juga marak di dunia maya, bahkan belakangan ini media sosial, dan situs online menjadi agen mereka menebar paham radikal.

Di sisi lain, pola dakwah kultural yang mereka kembangkan telah merubah strategi organisasi radikal. Justru, pendekatan ini sangat rasional bagi mereka untuk melebarkan sayap dan jaringan kelompok radikalisme di dunia maya. Tentu, secara psikologis pola tersebut dapat mempengaruhi cara berpikir dan perilaku umat Islam dalam memahami ajaran-ajaran agama.

Menurut penelitian SETARA Institute (2012), bahwa kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap sistem politik dan kondisi sosial yang ada memicu munculnya kelompok-kelompok yang menghendaki adanya transformasi masyarakat secara total, komplit, dan radikal. Dan kelompok Islam radikal menawarkan sebuah alternatif bahwa Islam adalah satu-satunya solusi.

BACA JUGA  Isu Kekacauan Politik, Senjata Indoktrinasi Aktivis Khilafah

Oleh karena itu, hasil riset tersebut menjawab secara lebih kongkret dan kompleks. Bahwa, paradoks radikalisme agama memang benar adanya dalam negara Pancasila. Sehingga, kebenaran Islam radikal tersebut menunjukkan misi ekstremisasi agama betul-betul ada dan menentang Pancasila.

Lebih-lebih operasi jihad dan dakwah radikal dikomondoi FPI, HTI, dan MMI. Mereka-mereka ini berupaya membesar-besarkan isu komunis/PKI yang sebenarnya Ormas seperti NU, dan Muhammadiyah menolak RUU HIP. Namun, tidak menebar propaganda, dan provokasi di lingkaran umat Islam.

Peran keduanya tercatat dalam riset SETARA Institute (2012), sebgaimana demi meneguhkan komitmen keislaman yang telah dibangun sejak lama, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah menegaskan diri sebagai kelompok Islam moderat dengan ciri utama menolak kekerasan dalam agenda perjuangannya dan akomodatif terhadap konsep negara modern.

Aksi Generasi Milenial

Milenial harus mendorong sosialisasi program deradikalisasi (BNPT – RI) dan penyerapan modul moderasi beragama (KEMENAG – RI) di sekolah tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Literasi Islam dan kebangsaan juga butuh kontribusi kelompok milenial untuk membumikan di dunia maya.

Apabila krisis literasi tersebut terjadi secara struktur dan masif, maka generasi radikalis-teroris di negeri ini semakin bertumbuh subur, tipu muslihat mereka tidak ada agenda lain. Tak terkecuali, mengajak seluruh umat Islam menentang kebijakan Presiden dan DPR-RI terkait aksi menolak RUU HIP.

Tanggung jawab milenial menggelar agenda aksi menolak ide FPI, HTI, dan MMI. Sebab itu, tindakan mereka tidak dapat dibiarkan ketika meminjam baju agama, dan mengerahkan umat Islam untuk berjihad secara politis. Haqqul yaqin, kelompok radikal tersebut hanya melakukan tipu muslihat.

Untuk itulah, aksi generasi milenial sangat menentukan arah kehidupan bangsa dan negara ke depan, salah satu tantangannya adalah membungkam suara Islam radikal yang kerapkali mengundang amarah publik. Agar Pancasila ini tidak lagi dipersoalkan oleh kelompok-kelompok ekstrem.

Judul yang diangkat dalam sebuah pertanyaan tersebut harus menangkal paham mereka yang nakal. Lalu, layakkah MMI dan Irfan S Awwas menjadi pahlawan Pancasila? Sangat layak, tetapi, hal itu mimpi di siang bolong. Toh, mereka tetap bersikap ekstrem. Sehingga, pahlawan radikalisme sangat tepat jika disematkan terhadap kelompok MMI, dan organ lainnya.

Hal ini berdasarkan sumber yang beredar di WhatsApp mengutip ucapan Irfan S Awwas, umat Islam menghancurkan PKI demi menyelamatkan NKRI, tetapi, umat Islam justru yang dituduh penghianat NKRI. Umat Islam harus tampil ke depan untuk menghancurkan PKI, dan Joko Widodo harus tegas tatkala ada yang ingin merubah Pancasila.[14/06/2020]

Suatu pemelintiran yang tidak boleh kita percaya atas mosi mereka menolak RUU HIP demi membela Pancasila, kalau pun umat Islam tidak sepakat. Tentu, jalur yang harus ditempuh adalah meneladani bagaimana cara NU, dan Muhammadiyah merespon RUU tersebut secara sopan-santun, dan bijaksana.

Sepatah kata yang harus mereka sadari bahwa memanipulasi ajaran agama hanya merusak hubungan harmonis umat beragama, sedangkan memanipulasi perjuangan Pancasila hanya angan mereka demi kepentingan bersama. Jadi, pahlawan Pancasila mustahil diberikan kepada pengganggu negara.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru