29.5 C
Jakarta

Misi Jokowi, Memberantas Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamMisi Jokowi, Memberantas Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Terpilihnya presiden Jokowi di babak kedua menimbulkan tantangan dan harapan baru untuk melanjutkan visi-misi dalam bidang pemberantasan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Prosedurnya, tentu melibatkan lembaga negara yang bersangkutan. Antara lain, Polri, BIN, dan BNPT.

Sampai saat ini, tanda-tanda keberhasilan Jokowi terkait visi anti terorisme tampak terang di depan kita. Di mana, presiden dalam hal ini menggunakan pendekatan hukum. Juga pendekatan sistem kelembagaan yang difungsikan mencegah ideologi kelompok radikalisme yang berujung kepada terorisme.

Perburuan Jokowi terhadap terorisme terus dilakukan oleh aparat kepolisian, karena terorisme kian bergentayangan di mana-mana. Di mana, ada terorisme di situlah korban berjatuhan, sebab aksi para teroris yang semakin meresahkan masyarakat mengabarkan kepada kita, bahwa teroris kini semakin mengancam sistem keamanan nasional.

Target dan sasaran utama kelompok militan teroris untuk dibumi–hanguskan. Karena itu, pemerintah lebih serius menangani persoalan terorisme bukan sekadar retorika apalagi isapan jempol belaka. Mengutuk dan mengecam tak akan mendatangkan solusi, tetapi merancang bangun strategi untuk menangkap sekaligus memutus gerakan dan reproduksi ideologi terorisme jauh lebih penting sebagai solusi.

Patut dipresiasi langkah gerak cepat presiden Jokowi terhadap aparat keamanan berhasil mempersiapkan visi-misi dalam melumpuhkan dan memberantas teroris. Harusnya memang aparatur negara mencium gelagat kelompok teroris yang akan melakukan penyerangan di salah satu daerah yang jadi target penyerangan.

Jokowi Mendorong Fatwa Terorisme

Menurut beberapa buku penelitian yang penulis baca mengatakan terorisme adalah paham kekerasan dan kejahatan yang bisa menimbulkan korban. Korban itu tentu dari kalangan masyarakat yang tidak tahu soal motif dari sebuah serangan itu sendiri.

Berdasarkan Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2004 tentang Terorisme, bahwa terorisme telah memenuhi unsur tindak pidana (jarimah) hirabah dalam khazanah fiqih Islam. Para fuqaha mendefinisikan al-muharib (pelaku hirabah) dengan:

من حمل على الناس اسلاح وأخافهم

Artinya: “Orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka (menimbulkan rasa takut di kalangan masyarakat)”. Dalam konteks ini, terorisme dapat diterjemahkan sebagai paham kekerasan atau menaku-nakuti masyarakat. Bahkan, bisa kekerasan itu muncul dengan menggunakan agama.

Terorisme menjadi “momok” yang benar-benar menakutkan masyarakat internasional, karena terorisme bergentayangan di mana-mana. Terutama di tempat-tempat hiburan dan gedung besar yang dianggap sebagai sarang kemaksiatan. Dalam beberapa kasus penyerangan yang kerap kali dilakukan oleh kelompok militan terorisme adalah tempat yang ada simbol kemaksiatan menurut pandangan teroris.

Substansi terorisme adalah paham yang tidak dibenarkan oleh agama dan negara, karena kebenaran agama itu hanya untuk menciptakan perdamaian untuk masyarakat. Tetapi, bukan kekerasan yang sebenarnya agama tidak pernah mengajarkannya.

Parameter Terorisme

Ditilik dari konteks historisnya, terorisme adalah paham yang identik dengan kekerasan dan intimidasi melawan pemerintah (the use of violence, intimidation, etc to against and end; especially, a system of government ruling by terror). Zuhairi Misrawi dalam buku (Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian; 2010) mengatakan, sebab-sebab yang melatarbelakangi aksi terorisme (we have been tough on terror. It’s time to get tough on the causes of terror).

Selain itu, antara lain karena ada kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial serta gejolak politik global. Kesenjangan ekonomi ini karena dipicu oleh kemiskinan kian akut pengangguran semakin meningkat. Pada konteks lain, kelompok-kelompok militan semacam al-Qaida, ISIS dan kelompok ekstrimis-radikalis-teroris secara telanjang akan memerangi barat, khususnya AS yang sudah jelas melakukan konspirasi besar terhadap kelompok Islam garis keras yang berbasis agama, apalagi kelompok ini semakin kuat.

BACA JUGA  Meningkatkan Suluh Puasa dengan Menutup Pintu Radikalisme

Karena itu, tindakan terorisme tidak dibenarkan oleh agama apapun, karena doktrin terorisme melegalkan pembunuhan massal serta kerap bertindak kekerasan terhadap manusia. Ideologi terorisme yang melegalkan kekerasan berupa teror adalah doktrin ideologi sesat yang dilarang oleh semua agama.

Oleh karena itu, ketika terorisme menggunakan simbol-simbol Islam sesungguhnya merusak citra Islam sebagai agama yang sebenarnya melarang keras tindakan kekerasan apalagi pembunuhan. Pada kontek ini, Islam sangat menolak ketika terorisme dianggap sebagai bagian dari Islam.

Untuk itu, siapapun yang menuding Islam atau mengkaitkan term terorisme dengan Islam salah fatal, apalagi menuding Islam sebagai sarang terorisme. Namun, ulah segelintir kelompok yang mengatasnamakan Islam. Islam tegak berdiri di atas segala ajaran umat yang mengajarkan humanisme dan toleransi agama.

Strategi

Menurut penulis salah satunya karena nasionalisme kian retak di antara anak bangsa. Dalam hal ini, jika kita membaca kejadian terorisme belakangan ini bukan hanya faktor kesejangan ekonomi dan ketidakadilan global. Akan tetapi, karena rasa nasionalisme kita yang retak. Sehingga, dengan gampang dan mudah melakukan pembuhan terhadap sesama anak bangsa yang tak berdosa. Sudah tak terhitung berapa jumlah anak bangsa yang bergabung dengan kelompok militan baik terorisme maupun ISIS dengan beberapa alasan.

Paling tidak, yang beralasan karena ingin mendirikan negara Islam karena sudah alergi dengan sistem demokrasi yang dinilai tidak memberikan harapan dan kepastian terutama menyangkut kesejahteraan rakyat sipil. Artinya, nasionalisme pemuda retak pada dasarnya bersumber dari berbagai hal yang akhirnya berujung pada akumulasi kekecewaan akut.

Tentunya kalau sudah kecewa dengan sebuah harapan dan mimpi indah tentang pemerintahan yang baik dan sejahtera, maka dengan mudah berpaling dari bangsanya sendiri. Fakta ini benar-benar terjadi karena yang bergabung dengan kelompok militan seperti ISIS kerap melontarkan seruan jihad dan mendirikan negara Islam karena frustasi dengan model atau sistem demokrasi yang dianggap impor dan produk Barat. Terlepas dari itu, mari kita mendesain ulang falsafah kebangsaan agar nasionalisme kita tidak mudah retak dan tidak gampang dicuci otak kita dengan ideologi transnasional.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru