31.2 C
Jakarta

Minoritas dan Refleksi Keberagamaan Muslim Indonesia

Artikel Trending

KhazanahTelaahMinoritas dan Refleksi Keberagamaan Muslim Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
“Indonesia bukanlah negara Islam, akan tetapi mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam”. Begitu saya mengawali tulisan kecil sebagai refleksi dari berbagai kasus yang terjadi beberapa hari yang lalu. Ada sebuah jokes yang disampaikan oleh komedian Priska Baru Segu dalam  stand-up yang disampaikan pada Temu Nasional Jaringan Gusdurian tahun 2020.

“Kenapa selama ini kaum minoritas dipaksa untuk memahami mayoritas, misal kalau ketemu, pasti waktunya nyebut habis shalat Isya’, habis shalat Ashar. Kita yang bukan Muslim tidak paham waktu ini. Apalagi ketika kami melaksanakan puasa, tidak hanya Muslim, kami juga melaksanakan ibadah puasa meski tidak ramai seperti puasa Ramadhan, meski tidak ada iklan sirup Marjan ataupun yang lain. Tapi kalian tidak mencoba untuk memahami kami, sedangkan kami dipaksa untuk paham.”

Ini mungkin terlihat lucu sebagai sebuah stand-up. Akan tetapi sebenarnya, ini adalah kritik yang harus dipahami oleh kaum mayoritas untuk lebih melihat sikap yang harus diperaktikkan dalam relasi sosial.

Aturan untuk memakai jilbab bagi seluruh siswa memang sudah sejak lama ditetapkan. Kewajiban memakai jilbab di sekolah memang diawali dengan polemik yang cukup panjang. Jika menilik ketentuan  seragam sekolah telah diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendikbud tentang pakaian seragam sekolah ini tidak mewajibkan model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.

Dalam ketentuan tersebut cukup dipahami bagi sebuah sekolah agar bisa memahami konteks peraturan yang ada, sehingga bisa menyikapi berbagai latar bekakang siswa yang akan mengenyam pendidikan di sekolah itu sendiri.

Dilansir dari BBC.com LSM Setara Institute menyebut pemaksaan murid beragama lain mengenakan jilbab di sekolah negeri sudah berlangsung lama dan terjadi di berbagai daerah dengan alasan ‘tradisi’ atau ‘kearifan lokal’.

Elianu Hia, orang tua Jeni Cahyani Hia, siswa SMK Negeri 2 Padang Sumatera Barat, berdebat dengan pihak sekolah soal “kewajiban siswi mengenakan jilbab” pada Kamis 21 Januari lalu. Jeni dipanggil berkali-kali oleh sekolah sejak belajar tatap muka dimulai pada 11 Januari 2021 karena tak pernah pakai jilbab.

BACA JUGA  Melihat Gerakan Perempuan Akar Rumput dalam Upaya Pencegahan Radikalisme

Kasus SMKN 2 Padang menjadi sebuah refleksi sederhana yang mencuat di media, untuk kita renungi sebagai umat Muslim dalam memperlakukan kaum minoritas (red: non-Muslim). Meski sebenarnya banyak kasus serupa tidak ter-show up di media. Pemaksaan mengenakan jilbab adalah sebuah aturan yang tidak bisa dibenarkan dalam kehidupan sosial keindonesiaan yang plural.

Tidak hanya itu, Lembaga Nurani Perempuan di Padang mencatat, kewajiban ini tak hanya terjadi di sekolah, namun juga terjadi di Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan kantor Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Padang. Banyak ASN yang diwajibkan menggunakan jilbab. Lalu terpaksa ASN yang non-Muslim akhirnya menyesuaikan aturan ini. Mereka menggunakan baju panjang dan membawa selendang yang bisa ditutupkan di atas kepala.

Beberapa kasus yang sudah saya paparkan menjadi bahan ajar kita bersama bagaimana pola keberagamaan yang diterapkan oleh masyarakat Muslim dalam menyikapi perbedaan agama masih begitu rendah. Pemaksaan yang bersifat diskriminatif masih erat dipraktikkan. Apalagi dalam hal ini dipraktikkan oleh lembaga pendidikan yang seharusnya memberikan ruang belajar penanaman nilai toleransi, pluralisme menyikapi konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Toleransi seharusnya ditanamkan secara kuat dimulai dari pendidikan, seperti apa yang dikemukakan oleh John Dewey, pendidikan tidak lain adalah hidup itu sendiri. Hidup ini bukan hanya perkara hidup personal tapi secara luas menyangkut kehidupan masyarakat itu juga.

Karena itu pendidikan adalah sebuah keniscayaan dan berlangsung secara alami, berfungsi sosial lantaran berlangsung dalam masyarakat itu sendiri, memiliki nilai dan makna membimbing lantaran kebiasaan hidup generasi lama yang berbeda dengan generasi baru serta menjadi tanda perkembangan peradaban suatu masyarakat.

Pendidikan seharusnya bisa menjadi corong terapan dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan sosial keberagaman. Apalagi kesadaran memahami bahwa Indonesia tidak hanya milik kaum Muslim saja, melainkan terdiri dari berbagai agama, suku, rasa, budaya, adat dari Sabang sampai Merauke.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru