27.3 C
Jakarta

Milenial, Sasaran Utama Ideologi Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahMilenial, Sasaran Utama Ideologi Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dibubarkannya HTI sejak 2017 silam bukanlah sebuah kenyataan akhir yang diterima oleh masyarakat Indonesia. Reinkarnasi organisasi licik terlarang ini terus menjelma dan eksis dalam berbagai ruang kehidupan, masuk dalam berbagai sektor yang membuat kita, utamanya generasi milenial, akan semakin kecolongan jika tidak segera mengambil peran di dalamnya.

Hingga 2021, HTI sebagai organisasi illegal justru semakin berkembang. Pergerakannya semakin masif merasuk pada generasi milenial, khususnya bagi mereka yang sedang mengalami kegalauan yang luar biasa, mencari jati dirinya, representasi ustaz-ustaz milenial yang selama ini justru memberikan kenyamanan pada generasi milenial, seperti Felix Siauw. Salah satu ustad kebanggaan para milenial yang banyak digandrungi oleh anak-anak muda yang sedang gencar melakukan hijrah.

Tidak hanya itu, akun Muslimahnews.com menjadi salah satu rujukan utama milenial sebagai konsumsi literatur keislaman yang berkenaan dengan konten-konten HTI. Gerakan yang sangat apik untuk menyebarkan ideologi khilafah yang dan  pernah surut. Sebab seluruh tulisan-tulisan di dalamnya, menyerukan untuk diterapkannya sistem khilafah. Ada salah satu tulisan yang menjadi alasan saya mengapa tulisan ini muncul, yakni berjudul “Berkah Generasi Muda: Modal Besar Membangun Peradaban Islam”.

Sebuah tulisan yang memantik pemahaman pembaca bahwa bagi mereka (red: pengikut khilafah), anak muda adalah sebuah konsesus yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah peradaban. Dalam sebuah negara, ia menjadi benteng pertahanan untuk melihat masa depan negara itu sendiri. Lebih lanjut, tulisan tersebut menjelaskan bahwa potensi pemuda sebagai pelopor perubahan mestinya diberdayakan untuk membangun peradaban Islam.

Lagi-lagi, tulisan tersebut berangkat pada interpretasi sistem pemerintahan Indonesia yang disebut “kapitalis” sebab bukan berasal dari Islam. Maka seyogianya, secara kaffah apapun yang terjadi harus kembali pada Islam. Penerapan sistem khalifah dimasa silam, menjadi sebuah cerminan mutlak, mengapa sistem tersebut juga harus diterapkan di Indonesia. Akhirnya, pemudalah yang harus mengembalikan peradaban tersebut untuk kembali pada sistem khilafah.

Ini menjadi fatal akibatnya jika kita abai terhadap kenyataan ini. Apalagi sejauh ini, potensi anak muda Indonesia begitu besar. Tantangan bonus demografi semakin membuka cakrawala, serta tidak bisa menafikkan kenyataan yang nantinya akan diisi oleh mereka, para pengikut khilafah.

BACA JUGA  Pemuda: Sasaran Indoktrinasi Khilafah oleh Aktivis HTI

Sebuah data yang cukup mencengangkan publik ketika pada akhir tahun 2020, BNPT memaparkan bahwa sekitar 85 % dari generasi milenial (usia 20-39 tahun) berpotensi tergabung dalam jaringan radikalisme-terorisme. Jika dikorelasikan dengan data diakhir 2019 dan awal tahun 2020, kenaikan simpatisan HTI meningkat 0,4 %.

Fakta ini diperkuat dengan maraknya konten-konten keagamaan  di media sosial yang tidak terbendung, sehingga tidak sedikit dari mereka yang jatuh hati ikut dalam berbagai pemikiran, konten keagamaan yang tidak diterimanya secara utuh menyebabkan kesalahpahaman dalam memaknai konsesus negara, narasi intoleransi, serta penolak-penolakan terhadap sistem pemerintahan yang tidak bersyariah dan menyimpang dari ajaran Islam.

Sinergi, Kolaborasi dan Berani

Masih segar dalam ingatan beberapa hari yang lalu, tulisan dari Buya Syafi’I Maarif yang  bertajuk “Pesan untuk Muhammadiyah dan NU” di Kompas (05/01/2021) menjadi spirit kebangsaan untuk terus optimis terhadap masa depan Indonesia. Setidak-tidaknya, dari berbagai pesan yang yang termuat dalam tulisan tersebut. Salah satu pesan yang bisa diambil dalam tulisan tersebut bagi generasi muda adalah generasi kedua organisasi tersebut yakni NU-Muhammadiyah harus berpikir lebih terbuka dan radius pergaulan yang tidak boleh terkotak-kotak dalam radius pergaulan yang sempit.

Bahkan, tulisan yang kemudian muncul sebagai respons tulisan Buya, yang ditulis oleh A Helmy Faishal Zhani, yang berjudul “Senyum NU dan Muhammadiyah” menjadi catatan penting bagi anak muda NU-Muhammadiyah agar berada di garda terdepan dalam menjadi benteng pengaruh arus utama radikalisme serta bersinergi, berkolaborasi untuk menebarkan “Islam yang tersenyum (Smiling Islam)”.

Tanpa menegasikan pemuda-pemuda lainnya. Secara de jure dan de facto, anak muda memiliki peran untuk berani melawan arus utama radikalisme yang semakin lama kian tidak terbendung. Semua harus optimis dengan melakukan berbagai cara, menebarkan konten-konten positif, ikut serta terhadap penggunaan media sosial secara santun, literatur keislaman yang mumpuni, pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan serta komitmen penuh terhadap negara Pancasila.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru