26.2 C
Jakarta

Milenial, Media Sosial, dan Perdamaian

Artikel Trending

KhazanahOpiniMilenial, Media Sosial, dan Perdamaian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setiap tanggal 21 September, dunia memeringati Hari Perdamaian Internasional (International Day of Peace). Peringatan yang ditetapkan sejak tahun 1981 oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini bertujuan menyerukan pentingnya menghentikan permusuhan dan perang yang telah banyak menyebabkan penderitaan di dunia. Tujuan awal dibentuknya Hari Perdamaian Internasional adalah untuk memperkuat cita-cita perdamaian di antara bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Upaya menciptakan kehidupan yang damai di era digital mendapatkan tantangan serius. Era digital tak hanya memberi kemudahan dan kecepatan dalam mengakses informasi dan berkomunikasi. Internet tak luput dimanfaatkan sebagian orang untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai oknum maupun kelompok, dengan motif masing-masing—baik motif ekonomi, politik, hingga ideologis, gencar menyebarkan konten-konten negatif. Mulai dari berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech), radikalisme, hingga kampanye hitam (black campaign).

Provokasi, kebencian, dan fitnah banyak ditebar di media sosial. Banyak orang tersulut dan terpancing. Saling caci tak bisa dihindarkan. Akibatnya, banyak orang terjerumus dalam jurang pertikaian di media sosial. Masyarakat, terutama yang masih lemah dalam hal literasi media, akan gampang terjatuh dalam jurang penyebaran konten negatif dan pertikaian tersebut. Di sini, media sosial seolah tak lagi menjadi media yang bermanfaat tempat berkomunikasi, mencari informasi, dan merajut silaturrahmi. Media sosial seakan telah menjadi ladang gersang tempat orang-orang saling mengumbar kebencian dan pertengkaran.

Jelas, itu semua merupakan kondisi bisa mengancam cita-cita perdamaian. Kita tak ingin media sosial menjadi tempat berkembangnya permusuhan. Kita tak ingin bangunan keharmonisan di masyarakat runtuh gara-gara pertikaian yang bermula dari perdebatan di dunia maya.

 Milenial

Melihat kondisi tersebut, siapa pun mesti bergerak menjaga dan menciptakan perdamaian lewat media sosial. Seperti halnya lingkungan sosial di dunia nyata yang perlu dijaga, media sosial juga butuh penjagaan. Dalam hal ini, generasi muda atau generasi milenial memiliki potensi besar sebagai penggerak perdamaian di dunia maya.

Milenial menjadi generasi yang paling diharapkan peran aktifnya dalam menjaga media sosial karena mendominasi pengguna internet di Indonesia. Pada tahun 2018, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), mencatat ada 171,17 juta orang pengguna internet di Indonesia. Dari jumlah tersebut, usia milenial antara 20-24 tahun memiliki angka penetrasi 88,5 %, umur 25-29 sejumlah 82,7%, umur 30-34 sejumlah 76,5%, dan kelompok umur 35-39 penetrasinya 68,5% (Detik.com, 16/5/2019).

BACA JUGA  Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Keaktifan dan intensitas kalangan milenial dalam beraktivitas di dunia maya menjadikannya berperan penting dalam upaya mencegah penyebaran narasi kebencian dan berbagai konten negatif di media sosial. Di sini, diharapkan milenial tak sekadar memanfaatkan media sosial untuk bertukar pesan dan hiburan semata. Setiap individu mesti punya kesadaran untuk turut menjaga kedamaian di dunia maya, lewat keaktifan memantau berbagai konten yang beredar di linimasa. 

Bekal

 Sebagai bekal untuk menciptakan perdamaian media sosial, milenial butuh pengetahuan dan kecakapan. Di sini, kecapan literasi digital menjadi hal paling mendasar yang harus dimiliki. Paul Gilster dalam Digital Literacy (1997) mengartikan literasi digital sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari berbagai sumber yang luas yang diakses melalui perangkat komputer. Di dalamnya mencakup kemampuan memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi berbagai pesan dan muatan dalam sebuah informasi.

 Di tengah merebaknya konten negatif, seperti hoax, ujaran kebencian (hate speech), kecakapan literasi digital akan menjadi benteng sekaligus pemandu seseorang untuk menilai secara jernih dan kritis, sehingga bisa mengukur sejauh mana kebenaran, kredibilitas sumber, dan keabsahan nalar dalam sebuah informasi atau konten yang ada di dunia maya. Dari sana, milenial diharapkan mampu menjadi penggerak utama di kalangan warganet untuk menciptakan linimasa yang aman, damai, dan jauh dari pengaruh konten-konten negatif.      

Selain bekal literasi digital, milenial juga memiliki karakteristik yang mendukung berkembangnya nilai-nilai perdamaian. Salah satu karakter generasi milenial adalah memiliki pikiran yang terbuka sehingga tidak menutup diri dari segala saran maupun kritikan, yang memudahkan mereka untuk terus belajar (Journal.sociolla.com). Sikap kritis berbekal kecakapan literasi digital yang ditopang pemikiran terbuka menjadi modal berharga bagi milenial untuk bisa menciptakan pola komunikasi, dialog, dan berbagai bentuk interaksi positif pendorong kesejukan di media sosial.

Generasi milenial mesti tampil secara aktif menyebarkan konten-konten positif di media sosial. Media sosial yang gersang karena penuh dengan hujatan dan kebencian, perlu kontra-narasi agar kembali sejuk dan damai. Hal ini bisa dilakukan kalangan milenial lewat status, tulisan, foto, video, dan berbagai bentuk konten yang sarat pesan-pesan positif penyemai perdamaian. Generasi milenial mesti punya kesadaran untuk berkontribusi, bahkan menjadi ujung tombak dalam upaya menciptakan perdamaian. Salah satunya adalah melalui media sosial.

 

Al Mahfud
Al Mahfud
Penikmat buku, penulis lepas, Aktif menulis topik-topik radikalisme-terorisme, Alumni IAIN Kudus.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru