25.3 C
Jakarta

Mewaspadai Strategi “Politik Gincu” Kaum Radikal untuk Makar di NKRI

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMewaspadai Strategi “Politik Gincu” Kaum Radikal untuk Makar di NKRI
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sejarah peradaban Islam tidak lepas dari keberadaan kaum Bughat. Yakni kelompok pemberontak yang membangkang pada pemerintahan yang sah. Hukum bughat dalam Islam dilarang alias haram.

Meski demikian, kontestasi politik dan perebutan kekuasaan kerap kali memunculkan kelompok sempalan yang beroposisi pada kekuasaan yang sah dengan jalan mengangkat senjata.

Seiring berjalannya waktu, kelompok bughat di dunia Islam kini kian bertransformasi dan bermetamorfosa. Kini, gerakan bughat tidak melulu mewujud dalam pemberontakan mengangkat senjata. Namun, lebih banyak mewujud ke dalam upaya-upaya mendelegitimasi pemerintahan yang sah.

Hal serupa terjadi dalam konteks Indonesia selama kurun waktu dua dekade belakangan. Pasca Reformasi 1998 yang menandai awal dibukanya keran kebebasan dan demokrasi, ruang publik kita diramaikan oleh gerakan-gerakan keagamaan yang secara terbuka menunjukkan sikap anti Pancasila dan NKRI.

Kelompok islamis kanan ini getol menyuarakan agenda amandemen UUD 1945. Tujuannya adalah mengembalikan sila pertama Pancasila sesuai dengan  Piagam Jakarta yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya”.

Upaya mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu merupakan bagian dari skenario formalisasi syariah. Yaitu menjadikan hukum Islam (syariah) sebagai landasan hukum positif negara. Di awal era Reformasi, gaung formalisasi syariah ini cukup mendapat simpati luas umat Islam.

Di level pusat, gerakan formalisasi syariah memang gagal mengamandemen UUD 1945. Namun, di level daerah gerakan formalisasi syariah itu mewujud ke dalam fenomena peraturan daerah islami atau yang kita kenal dengan perda syariah.

Islam Institusional dan Politik Gincu

Meminjam istilah Bassam Tibi, gerakan-gerakan berbasis Islam yang bertentangan dengan ideologi negara juga sistem demokrasi namun tidak mengangkat senjata ini disebut sebagai “islamis institusional”. Yaitu gerakan pembangkangan yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan namun lebih mengedepankan strategi sosio-politik.

Lain halnya dengan Mohammad Hatta yang menyebut gerakan-gerakan Islam simbolik dan formalistik itu dengan istilah “politik gincu”. Frasa itu merujuk pada fenomena ketika agama (Islam) dijadikan sebagai senjata dan komoditas untuk meraih kekuasaan. Kelompok-kelompok tersebut, menurut Hatta tidak memperjuangkan Islam dan umat muslim, melainkan memperjuangan kepentingan golongan mereka sendiri.

BACA JUGA  Meneguhkan Jihad Algoritmatik Berbasis Moderasi Beragama di Tengah Gaung “All Eyes On Rafah”

Fenomena “islamis institusional” dan “politik gincu” inilah yang harus diwaspadai. Mereka adalah bentuk-bentuk baru dari gerakan bughat di era kontemporer. Mereka memang tidak mengangkat senjata, atau setidaknya belum. Namun, manuver mereka tidak kalah berbahaya.

Mereka menyusup kemana saja. Menempatkan orang-orangnya di institusi sosial atau lembaga pemerintah yang strategis. Mereka menebar propaganda anti-kebangsaan di dunia naya secara leluasa. Pendek kata, mereka membajak demokrasi untuk menghancurkan NKRI.

Gerakan neo-bughat ini juga tampak belakangan ini dalam konteks polemik Perppu Cipta Kerja yang baru saja diteken presiden. Sejumlah pihak menjadikan polemik Perppu Cipta Kerja untuk menyerang pemerintah dengan berbagai macam narasi. Salah satunya menyebut pemerintah sebagai thaghut.

Bughat Bertentangan dengan Agama dan Konstitusi

Gerakan bughat ditinjau dari sisi agama maupun konstitusi merupakan gerakan terlarang. Dari sisi fiqih, sebagaimana disebut di atas, mayoritas ulama mengharamkan tindakan bughat kepada pemimpin atau pemerintah. Sepanjang ulil amri tersebut tidak melanggar akidah dan syariah, maka wajib hukumnya kita patuh terhadapnya.

Sedangkan dari sisi konstitusi Republik Indonesia, bughat kiranya bisa disejajarkan dengan tindakan makar. Yakni upaya mengkhianati kekuasaan pemerintahan yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 106 dan 107 KUHP. Adapun makar yang dimaksud dalam pasal 106 dan 107 KUHP adalah menggulingkan pemerintahan—meniadakan atau mengganti bentuk pemerintahan.

Tindakan makar ini tidak hanya tindakan yang dilakukan dengan kekerasan (bersenjata), namun juga mencakup perbuatan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Misalnya saja, seruan untuk melakukan pembangkangan sipil (civil disobedience) untuk memprotes sebuah kebijakan. Juga hasutan untuk tidak mempercayai pemerintah dan menuding pemerintah zalim atau thaghut. Hal-hal itu bisa dikategorikan tindakan makar karena berpotensi melahirkan gelombang pembangkangan dan pemberontakan dalam skala luas.

Diperlukan langkah tegas pemerintah dalam menghalau kaum bughat yang lihai dan licik dalam bermanuver. Hukum harus ditegakkan bagi semua pelaku ujaran kebencian terhadap pemerintah. Di saat yang sama, kita perlu membangun budaya kritik yang konstruktif. Kritik berbasis argumen dan solusi, bukan kritik yang hanya mengumbar nyinyir dan benci.  Lawan!

Nurrochman
Nurrochman
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru