27.1 C
Jakarta

Metamorfosis Radikalisme Memanfaatkan Dualisme Relasi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMetamorfosis Radikalisme Memanfaatkan Dualisme Relasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Dalam garis dan kultur radikalisme, ia menyebar mula-mula dengan sangat konvensional sekali. Saya bisa memberikan sebuah gambaran jika sejak awal radikalisme ini berkembangan dan ditransfer di sebuah majelis perkumpulan. Artinya, dalam sejarah atau dinamika awal dari transfer paham radikal ini dilakukan dengan sangat sederhana. Bahkan, mungkin hal tersebut tidak terstruktur dan tersusun dengan sistematis. Tetapi apakah memanfaatkan dualisme relasi? Pertanyaan yang bagus.

Hipotesis ini saya tarik dari sejarah penyebaran Islam yang memang sejak awal sangat bergantung pada sebuah perkumpulan, majelis. Sejak zaman Nabi, perkumpulan-perumpulan itu memang sangat mendominasi dan berpeluang digunakan sebagai wadah penyebaran paham radikal.

Di sisi yang lain dan bersamaan pula, penyebaran ini menggunakan jalan hubungan kekerabatan. Timbal-balik antara satu orang dengan kerabatnya yang lain dapat memudahkan paham-paham itu menyusup. Kabar burukunya, dalam menggunakan metode yang kedua ini paham tersebut mungkin akan sangat diam-diam dalam menyusup ke dalam kepala seseorang.

Karena dalam penyebarannya indoktrinasi bejalan dengan senyap atau ibaratnya berjalan di balik layar, itulah mengapa radikalisme ini seolah-olah menjadi paham yang agresif tiba-tiba. Sebab, sejak awal, penyebarannya sangat tertutup.

Namun, akhirnya mau tidak mau, mereka yang dengan senang hati menganut paham ini dan orang-orang yang menganjurkan kekerasan terhadap orang lain mulai keluar dari zona seperti itu. Keadaan memang akan mengkonstruk manusia untuk terus beradaptasi. Karena yang bertahan bukan semata-mata kelompok yang kuat, melainkan yang mampu beradaptasi.

Di saat keadaan juga sudah mulai berubah maka tata cara penyebaran mereka juga mengalami pola yang berubah. Hal ini yang patut diapresiasi betapa mereka sangat cekatan terhadap keadaan. Mungkin, juga sudah bisa mampu membaca peluang di masa yang akan datang. Kita harus waspada!

Jika, semula sangat senyap dalam manuver-manuver yang dijalankan. Semakin ke belakang semakin berbeda dan terus mengalami perkembangan. Kita sudah bisa menikmati bagaimana badai bernama radikalisme agama itu sangat terang-terangan. Tidak salah dan tidak lain lagi, media sosial menjadi ajang yang sangat potensial untuk penyebaran ini. Seharusnya medan orang-orang yang mendaku moderat sudah “bukan” di atas panggung.

“Bukan” dalam tanda kutip yang berarti panggung hari masih di bawah superioritas media sosial. Orang tidak lagi perlu lelah untuk duduk di sebuah majelis perkumpulan atau pengajian, sebab telepon pintar (smartphone) telah menyediakan segalanya.

BACA JUGA  Menjadikan Ruang Maya sebagai Ajang Politik Damai

Dualisme Relasi

Dualisme relasi atau juga relasi biner di sini yang hendak saya kemukakan. Betapa dalam kajian ihwal radikalisme sejauh ini, hanya dua relasi yang mampu saya tangkap. Relasi pertama tidak lain adalah relasi langsung (direct relationship), ambil contoh lewat kekerabatan—sebagaimana saya contohkan di muka. Sebagaiamana yang telah dipaparkan di atas, relasi langsung ini yang berlangsung cukup lama sebelum akhirnya bermetamorfosis ke media sosial.

Di relasi ini, titik tekan emosional memang juga tidak kalah menentukan dalam proses indoktrinasi. Ketika pembicaraan sudah menggunakan model kekrabatan maka keintiman dalam proses indoktrinasi berlangsung lebih mudah. Proses ini juga lebih cepat dibandingkan dengan perkembangan dari satu panggung atau majelis ke majelis lainnya. Kemudian, relasi yang kedua adalah relasi yang tidak langsung (indirect relationship). Model tidak langsung semacam ini membutuhkan sebuah alat sebagai medium penyambung.

Media sosial hadir untuk itu dan mengambil peran dalam konsep relasi yang tidak langsung. Ia mampu membuat banyak orang kepincut untuk menjadikannya sebagai sebuah alat penyambung. Di dalam ranah ini, indoktrinasi paham-paham radikal mulai terkesan sangat terbuka dan dapat dilacak dengan baik. Metamorfosa dari relasi yang biner ini, diakui atau tidak, telah membuat pemahaman seperti itu masih kuat mengakar. Atau bahkan, jika lebih menggunakan kacamata pesimis, tentu tidak akan bisa dengan mudah dikalahkan.

Usaha orang-orang yang selalu mendaku moderat, tidak lain hanya memberikan perlawanan-perlawanan. Untuk menumbangkan dengan secepat kilat paham-paham mereka tentu tidak akan mudah. Mereka telah menggunakan media sosial dengan sangat maksimal. Maka, tugas selanjutnya bisa dilacak strategi macam apa yang akan digunakan proses indoktrinasi mereka ke depan.

Manuver-manuver apa dan lewat medium seperti apa yang akan digunakan oleh mereka. Sebab, kita telah nyaris kalah di dua relasi itu, antara relasi langsung dan tidak langsung. Bahkan di media sosial, kita keseringan tertatih-tatih dalam melancarkan ide-ide moderat bahkan hiper-moderat.

Moh Rofqil Bazikh
Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Mukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Harian Bhirawa, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru