29.7 C
Jakarta

Merawat Tanah Air dari Gempuran Terorisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniMerawat Tanah Air dari Gempuran Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Merebaknya virus takfirisme dan wahabisme di seluruh penjuru dunia, membuat bangsa Chechen (Chechnya) sejak tahun 2014 tidak luput dirundung terorisme. Atas tawaran kerjasama Iran yaitu melalui Jenderal Soleimani, Rusia sepakat memberantas militan Chechnya.

Penekanan kekuatan militer menjadi ujung tombak, disusul penambahan jumlah personel di seluruh Kaukasus Utara. Tidak ketinggalan kontrol terhadap media massa dan kehidupan politik, Rusia mengotorisasi unit kontra teror demi menghancurkan objek yang mencurigakan. Hasilnya, sufisme kembali menguat di Chechnya.

Di Irak, sejak jatuhnya kota Mosul, ulama Ayatullah Sistani mengumandangkan jihad melawan ISIS. Semangat berkobar di dada rakyat Irak, tidak peduli dari beragam etnis dan agama. Sikap meyakini dan saling menghargai telah membuat kota Mosul di tahun 2017 berhasil direbut kembali oleh rakyat Irak.

Di lain sisi, Suriah punya cerita berbeda. Suriah pernah membiarkan oposisi berunjuk rasa di jalanan. Meski tidak seluruh pihak oposisi terpapar ekstremisme, namun naasnya justru kaum radikalis didatangkan dari segala penjuru dunia oleh Barat ke Suriah. Kaum radikalis yang mengaku pemberontak moderat ini didukung supply dan lintas bantas tetangga sendiri. Namun bersama Rusia, Iran dan China, Suriah berhasil bangkit.

Sedikit juga yang menyadari, bahwa kaum radikalis yang didatangkan dari segala penjuru dunia ini nomaden ke negara Timur Tengah lainnya. Tidak terkecuali ke Asia. Paham ekstremisme bernapaskan intoleran dan radikal tersebut tak gentar tumbuh menjadi sel-sel tidur terorisme, siap untuk kapanpun meledak.

Baik. Kasus yang dialami Rusia, Irak, dan Suriah di atas menjadi tanda bahwa membebaskan bangsa dari ekstremisme dan radikalisme bukan perjuangan mudah. Kedaulatan tanah air jadi taruhannya. Indonesia sendiri sudah acap disebut sebagai sarangnya teroris. Dimulai dari yang terkenal Bom Bali I hingga bom bunuh diri di Gereja Pulau Jolo Filipina 2020, yang salah satu pelakunya ialah perempuan, simpatisan Abu Sayyaf yang pernah digrebek di Indonesia.

Bahkan tidak hanya itu, BNPT juga mengumumkan telah menangkap lebih dari 200 tersangka pelaku teroris selama pandemi 2020. Begitupun tidak ketinggalan dengan penangkapan teroris perempuan beberapa waktu belakangan. Realitanya, paham radikalisme dan ekstremisme ini semakin berkembang di Indonesia. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pola eksistensi mereka, terutama terkait tujuan dan pandangan yang hampir beda-beda tipis, namun menargetkan yang sama.

Misalnya, ada yang menuhankan basis ideologi; mereka menginginkan aktualisasi syariah Islam tanpa harus mendirikan negara Islam. Ada juga yang benar-benar ingin menegakkan sistem ”khilafah Islamiyah”. Dan ada pula yang sekadar ingin mengganti konstitusi sah RI, yaitu UUD 1945 dan Pancasila. Paling ekstrem tentu yang melakukan teror dan kekerasan, menganggap keyakinannya paling benar, sedang yang lain kafir.

Contohnya pada isu pembakaran dan pengusiran kelompok minoritas, kasus penyerangan gereja, maupun sebaran hate speech menentang pluralisme Nusantara di berbagai media sosial. Lucunya lagi, pihak ini justru mengklaim dirinya moderat di antara yang lain.

Orang moderat yakin bahwa beragama adalah melakukan pengabdian kepada Tuhannya, terutama dalam bentuk menjalankan ajaran-Nya yang berorientasi pada upaya memuliakan manusia. Sebab, menjaga kemanusiaan itu sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama. Tampaknya, jelas di sini, kelompok-kelompok yang mengaku berjihad di atas telah ’serong’ memahami makna moderat itu sendiri.

Di lain sisi, beberapa tempo lalu, tindakan tiga menteri Indonesia patut mendapat bintang apresiatif. Bersama Menteri Nadiem Makarim, Menteri Tito Karnavian, dan Menteri Yaqut Qholil, beliau bertiga menetapkan bahwa setiap murid di sekolah negeri berhak memakai pakaian berbasis keagamaan atau tidak, dan itu harus dihormati terutama oleh tiap pendidik. Keputusan kolaboratif ketiga menteri ini tentu tidak terjadi setelah menyoal isu sekolah di Padang, yang mewajibkan seluruh siswinya termasuk non-Muslim untuk memakai jilbab.

Tampaknya pemerintah mulai menggeletakkan keseriusan lebih besar dalam isu ini, karena sebelumnya juga terdapat salah satu guru SMA di Jakarta meminta para murid untuk tidak memberikan suara pada kandidat OSIS non-Muslim. Hal serupa dan bukan pengecualian adalah pernah digrebeknya seorang dosen IPB yang merakit dan menyimpan bom molotov demi sebuah ’aksi mujahid” tahun 2019 lalu.

Sampai penjelasan ini, tampaknya tindakan intoleran dan diskriminatif masyarakat Indonesia telah memasuki lampu kuning, dimana kekerasan dan kebencian seakan sudah jadi santapan tiap hari yang harus didengar dan disaksikan. Menyoal kasus ini, studi Hubungan Internasional menawarkan teori radical terrorism yang digandrungi oleh Fanon, Satre, Qutb, dan Marx.

BACA JUGA  Ini Alasan Logis Kenapa Nasionalisme Itu Wajib

Teori ini menjelaskan radikalisme dan terorisme berdasarkan sudut pandang individu, kelompok, maupun langsung kepada gerakan yang dicap sebagai teroris. Teori ini ditujukan untuk memberikan pembenaran terhadap konsep root causes. Root causes sendiri diyakini dapat menghitung alasan munculnya sebuah kasus terorisme.

Pemahaman yang didapat dari buku Root Causes of Terrorism: Myths, Reality, and Ways Forward, bahwa sang penulis Tore Bjorgo menawarkan sebuah tipologi yang dapat digunakan untuk memahami faktor penyebab munculnya terorisme. Dua kategori penyebab dalam tipologi itu yakni precondition soft-terrorism; faktor-faktor yang menyediakan kondisi-kondisi yang dalam jangka panjang dapat melahirkan terorisme, serta precipitant of terrorism; sebuah peristiwa atau fenomena spesifik tertentu yang secara langsung mendahului atau memicu terjadinya sebuah tindakan terorisme.

Lebih jauh, kedua kategori penyebab ini dapat diturunkan dari sejumlah faktor:

  1. Faktor penyebab struktural: faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat di tingkat makro (abstrak), kemungkinan faktor ini tidak disadari. Misalnya: ketidakseimbangan demografik, globalisasi, modernisasi yang sangat cepat, transisi masyarakat, meningkatnya individualisme dan ketercerabutan sosial dari akarnya, serta keterasingan dalam masyarakat (atomisasi), termasuk struktur kelas.
  2. Faktor penyebab fasilitator (akselerator): faktor yang menyebabkan terorisme menarik untuk dilakukan dan ditiru, meskipun bukan pendorong utama terjadinya terorisme, seperti: perkembangan media massa di era modern, perkembangan transportasi, teknologi persenjataan, lemahnya kontrol negara atas wilayah.
  3. Faktor penyebab motivasional: ketidakpuasan aktual (grievances) yang dialami di tingkat personal, memotivasi seseorang (radikalis) untuk bertindak. Para ideolog dan pemimpin politik memahami akan hal ini.
  4. Faktor pemicu: faktor penyebab langsung terjadinya tindak teroris, seperti adanya peristiwa provokatif atau peristiwa politik tertentu, atau tindakan yang dilakukan oleh pihak musuh yang menimbulkan reaksi.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipahami bahwa menjaga negara dan bangsa benar-benar memerlukan energi optimisme tinggi, terutama untuk menjaga keseimbangan di berbagai lini dan sisi. Seperti dalam isu ekstremisme, radikalisme, dan terorisme, kita tidak hanya lagi membutuhkan asupan religius yang damai untuk disebarkan. Namun juga pemahaman kajian geopolitik global, agar masyarakat tahu bagaimana batas dan proses isu transnasional bergerak.

Selain itu, pentingnya bagi seluruh pihak untuk saling merangkul dan bersinergi. Layaknya pihak media massa cobalah untuk mengerti dan bertanggung jawab terhadap berita yang disiarkan, bukan hanya copy-paste-terjemah, melainkan keharusan untuk memahami permainan bergudang kepentingan di lapangan. Tidak ketinggalan bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia sebagai pembaca yang budiman, agaknya berkenan untuk dibantu dan membantu pemerintah agar sama-sama kita mampu menyentuh akar dari setiap masalah lokal maupun global. Dengan begitu, keserampangan yang terjadi di permukaan dapat dirapikan.

Strategi ini mungkin dapat dimulai dari tingkat pendidikan formal di sekolah, misalnya dengan penambahan kurikulum khusus kebangsaan atau wajib geopolitik. Terutama dimulai dari lingkup institusi tinggi dalam proses perekrutan pegawai dan tenaga pendidik, maupun pada segala lingkup kemajemukan organisasi kampus, pengajian keagamaan, ceramah, perkumpulan organisasi, acara televisi, hingga huru-hara media sosial.

Upaya ini tentu bukan hanya awal dari harapan agar Indonesia utuh dan damai, atau bukan terus menjadi wacana dan resolusi tiap tahun baru belaka, melainkan sudah menjadi kewajiban bagi kita semua untuk membela, menjaga, dan mempertahankan harmonisasi serta keutuhan tanah air sendiri.

Surat al-Qashash ayat 85 menyebutkan  bahwa ”Sesungguhnya (Allah) mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.” Meski para mufassir menafsirkan kata ”ma’ad” berbeda-beda, namun Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa yang lebih mendekati ialah yang menafsirkan dengan Mekah.

Syekh Ismail Haqi dalam tafsirnya Ruhul Bayan mengatakan bahwa dalam al-Qashash ayat 85 tersebut: ”…terdapat petunjuk atau syarat bahwa ”cinta tanah air sebagian dari iman”. Dulu, Rasul dalam perjalanannya menuju Madinah juga banyak menyebut kata ”tanah air, tanah air”, hingga Allah mewujudkan permohonannya (dengan kembali ke Makkah). Sahabat Umar RA berkata; ”Jika bukan karena cinta tanah air, niscaya akan rusak negeri yang jelek (gersang), maka sebab cinta tanah airlah dibangun negeri-negeri.”

Jadi, bukankah indah jika kita dapat hidup berbangsa, bernegara, bersuku ragam ini dengan rukun dan damai? Di bawah payung harmoni konstitusi yang telah ada? Mari, yakinkan bisa.

Dyah Purbo Arum Larasati
Dyah Purbo Arum Larasati
Sarjana Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, Pendiri @noheroescape, sebuah ruang berbagi di Instagram yang berfokus pada isu terorisme, radikalisme, ekstremisme dan studi demokrasi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru