26.1 C
Jakarta

Merawat Rumah Kebhinekaan NKRI

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMerawat Rumah Kebhinekaan NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kebhinekaan merupakan keniscayaan (takdir) yang tidak akan dapat dilepaskan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Realitas ini harus diterima tanpa dapat diperdebatkan. Ia merupakan sunnatullah. Artinya, jika seorang merusak kebhinekaan, sama juga dengan melawan sunnatullah. Dan, melawan sunnatullah adalah potret perilaku yang diskrimantif akibat tidak menyukai perbedaan.

Perlu diingat, dalam setiap kebhinekaan selalu memungkinkan adanya kesepakatan. Pancasila ialah kesepakatan yang mempertemukan keberagaman suku, etnis, bahasa, dan agama yang mendiami Indonesia. Oleh karena itu, semboyan kita adalah Bhineka Tunggal Ika. Kalimat tersebut merupakan kutipan dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kalimat aslinya adalah Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Kakawin ini sungguh istimewa sebab mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Budha. Bhineka Tunggal Ika bermakna, meskipun Indonesia berdiri atas ragam etnis suku, agama, ras, tradisi adat, budaya, bahasa, kesenian dan keyakinan yang menyebar di seluruh gugus pulau, namun tetap satu kesatuan sebangsa dan setanah air. Dipersatukan dengan bahasa nasional, mata uang, lagu kebangsaan, bendera dan latar belakang penjajahan yang sama.

Para Founding Fathers menyadari bahwa kita merupakan bangsa yang majemuk. Tapi, kita mesti bersatu. Oleh karena itu, pada 28 Oktober 1928, mereka mengikrarkan Sumpah Pemuda, yakni bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu: Indonesia. Akhirnya, ketika kita mencapai kemerdekaan, kita sepakat untuk membentuk Negara Kesatuan (nation-state) yang berbentuk Republik (demokrasi) dan berideologikan Pancasila. Konsensus tersebut bersifat final untuk mengakomodasi setiap golongan yang mendiami NKRI.

Hanya saja, dalam negara majemuk seperti Indonesia, pertentangan dan gesekan akan mudah muncul. Benturan kepentingan antar-individu, antar-kelompok yang menjadi pemicunya. Kenyataan bahwa kita adalah negara yang bhineka yang sering dimanfaatkan oleh penentu saja, ini berpotensi memecah-belah NKRI. Namun, jika dikelola dengan baik, niscaya akan menjadi kekuatan besar. Semua bisa saling berbagi peran untuk memajukan NKRI.

Mukti Ali, Menteri Agama di Era Orde Baru menuturkan, harmoni keberagamaan selayaknya dibangun atas dasar agreement in disagreement (sepakat dalam perbedaan). Artinya, meskipun individu atau kelompok secara bersama-sama menyatakan diri berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu tidak dijadikan alasan untuk berkonflik. Justru, perbedaan itu menciptakan kedekatan hamba dengan Tuhan-Nya dan mengagumi kekuasaan-Nya.

Sebab, sekiranya Tuhan mau menyatukan perbedaan, tidaklah sulit. Namun, Allah Swt. tetap menciptakan manusia berbeda-beda agar bisa saling mengenal, berbagi peran dan melengkapi satu sama lain (QS. Al-Hujurat: 13). Meski potensi konflik akibat berbeda semakin besar, tapi inilah ujian makhluk berakal dan berbudi untuk bersama menjalin harmoni kehidupan.

Ancaman Intoleransi Beragama

Meski kebhinekaan telah menjadi landasan integralisasi semangat kebangsaan, fakta sosial menunjukkan bahwa praktik anti-kebhinekaan masih saja mengemuka di jagat nusantara. Menguatnya polarisasi politik identitas dalam setiap penyelenggaraan pemilu, praktik intoleransi agama yang disertai dengan munculnya fundamentalisme agama, radikalisme dan terorisme.

Dalam laporan tahunan Social Progress Index yang dirilis oleh Social Progress Imperative, 2017, memperlihatkan bahwa tingkat intoleransi beragama masih cukup tinggi. Dari skala 100 sebagai tolak ukur tingkat toleransi di kancah internasional, tingkat toleransi di negara kita masih jauh lebih rendah. Padahal, Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara telah jelas mengatur untuk saling bertoleransi dengan sesama. Artinya, terjadi kegagalan internalisasi nilai (value) dalam diri masyarakat Indonesia sehingga kita gagal menyemai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan damai serta penuh toleransi.

Tak heran, kalau di tengah bangsa yang terkenal relijius dan ramah, masih ada kasus-kasus radikalisme dan terorisme. Mudah ditemukan perilaku saling menyalahkan. Menebar hoaks dan propaganda perpecahan serta tega mengusir sesama warga negara yang berbeda. Perilaku-perilaku ini merupakan potret salah kaprah dalam beragama. Dalam konsep monoteisme Islam, esensi ‘tauhid’ yang berarti mengesakan Tuhan berarti bahwa kita harus membebaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat nisbi, karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan. Pemberhalaan terhadap agama umpamanya. Praktik kepercayaan yang tidak benar semacam ini hanya akan memicu disharmonisasi dan membelenggu diri kita dari kemajuan peradaban.

Maka itu, umat yang beragama secara kaffah seharusnya menjunjung tinggi kemanusiaan. Allah Swt. sendiri sudah memberikan sinyal bahwa iman harus diiringi oleh amal saleh (QS. Al-Baqarah: 82). Praktik ini jauh-jauh hari telah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw. dalam dakwah mengajak orang-orang memeluk Islam. Tak ayal, perang antar suku, praktik-praktik perbudakan kepada manusia, dan kekerasan-kekerasan terhadap anak-anak perempuan di masa jahiliyah dapat dihentikan. Di samping itu, simbolisasi tingkat kemuliaan kedudukan berdasarkan asal suku dan jumlah harta kekayaan pun luntur. Nasab, tahta dan jumlah kekayaan tidak lagi menjadi tolak ukur kemuliaan karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan (Wafi, 2019). Semua manusia dianggap setara, hanya tingkat ketakwaanlah yang membedakan derajat antar manusia.

BACA JUGA  Cara Aswaja Merawat Kedamaian dan Menolak Ekstremisme

Lagipula, melalui instrumen hukum UUD 1945 Pasal 28 E Ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, sebetulnya negara sudah menjamin ekspresi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bahkan negara sudah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, yang mengatur hal serupa. Dua landasan agama dan hukum tersebut, seharusnya menjadi alasan cukup untuk menciptakan relasi harmonis antara praktik beragama dan berbangsa, dengan menanggalkan praktik-praktik intoleransi beragama dan dan mulai menjalankan agama secara merdeka.

Menguatkan Kebhinekaan

Kebhinekaan merupakan rahmat yang patut disyukuri. Inilah salah satu khazanah kekayaan bangsa yang tidak akan ditemukan di negara-negara lainnya. Maka itu, semangat menghormati kebhinekaan dan persatuan bangsa wajib kita jaga bersama. Praktik-praktik intoleransi beragama yang menodai kebhinekaan oleh siapapun dengan latar belakang agama dan suku bangsa apapun, berikut partai dan posisi jabatannya, tetap harus diperlakukan yang sama di depan hukum (equality before the law).

Nah, untuk menguatkan kebhinekaan NKRI, setidaknya ada tiga modal sosial yang perlu dimiliki. Pertama, setiap warga negara harus memiliki sense of belonging (rasa saling memiliki) sebagai bangsa. Tidak boleh ada pihak yang mengklaim bahwa ia pewaris tunggal republik. Bangsa ini lahir atas jerih payah dan pengorbanan berbagai komponen bangsa. Maka, dalam benak semua anak bangsa harus tertanam kuat bahwa Indonesia adalah milik seluruh warga negara: dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Bukan milik salah satu suku atau agama yang menetap di Indonesia.

Semua saling menjaga dan hormat-menghormati. Mayoritas mampu mengayomi minoritas, dan di saat bersamaan minoritas juga bisa memposisikan diri. Rasa saling memiliki di antara sesama anak bangsa akan menumbuhkan sinergi dan harmoni dalam kebhinekaan, karena kita percaya bahwa sikap dan tindakan setiap anak bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dilandasi oleh rasa saling memiliki atas bangsa yang kuat.

Kedua, memiliki sense of togetherness (rasa kebersamaan) sebagai sesama anak bangsa. Rasa kebersamaan ini penting untuk membangun bangsa. Agar, semua bisa menanggalkan kepentingan individu dan kelompok untuk bisa saling bekerjasama atau gotong royong membangun peradaban maju dan sejahtera. Kita tidak akan bisa membangun republik secara terfragmentasi, hanya melibatkan kelompok atau golongan tertentu saja. Tanpa bantuan dan kerjasama dengan berbagai elemen bangsa lainnya. Karena, bangsa ini lahir dan tumbuh atas rasa kebersamaan yang terus terjalin kokoh.

Terakhir, memiliki trust worthiness (rasa saling percaya) di antara seluruh komponen bangsa. Pada tingkat gagasan, semua harus saling percaya bahwa setiap anak bangsa memiliki niat baik untuk membangun bangsanya dengan perspektif masing-masing. Akan tetapi, pada tingkat tindakan, kita wajib membuktikan setiap niat baik dengan ambil peran serta mengamati setiap sepak terjang dan perilaku. Apabila terbukti ada niat jahat yang merongrong kebhinekaan dan pembangunan NKRI, semua berkewajiban untuk mencegah dan menghentikan.

Komitmen-komitmen tersebut, sungguh harus dibangun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agar, tidak ada lagi penindasan dari mayoritas kepada minoritas. Tidak ada lagi konflik karena benturan kepentingan antar individu atau antarkelompok. Semua bergotong-royong membangun bangsa tanpa pamrih. Semua perilaku warga negara yang merugikan warga negara lainnya secara bersamaan juga turut menghilang. Tingkat kriminalitas menurun. Tindakan yang tidak mencerminkan karakter bangsa pun tidak ditemukan kembali.

Epilog

Kebhinekaan ibarat pedang bersisi dua. Bisa sangat berguna untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan bila saling bersepakat dan bekerja sama, tapi di sisi lain, dapat menebas persatuan dan kedamaian bila saling selisih. Untuk itu, perlu adanya praktik toleransi (tasamuh) dan pluralisme dalam menghadapi realitas kebhinekaan NKRI. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Allah mengasihi siapa yang toleran dalam menjual, membeli, dan memutuskan sesuatu.” (HR. Jabir bin Abdullah). Dengan cara itulah, kita bisa membumikan semangat beragama yang rahmatan lil ‘alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam). (QS. Al-Anbiya’: 107). Wallahu a’lam.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru