31.8 C
Jakarta

Menyuarakan Khilafah dalam Bingkai Wasathiyah

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenyuarakan Khilafah dalam Bingkai Wasathiyah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Salah satu yang selalu menjadi bahasan kelompok ekstrem kanan ialah mengenai hubungan agama dan negara di mana mereka berpendapat bahwa antar keduanya tak dapat dipisahkan dan Islam memiliki konsep kenegaraan yang baku dan berbeda dengan konsep negara yang ada sekarang ini atau biasa mereka sebut sebagai khilafah. Hal ini biasanya juga mereka iringi dengan mengkufurkan sistem dan konstitusi yang diterapkan di negara-negara yang ada sekarang, termasuk negara yang menjadikan Islam sebagai dasar dan agama resmi atau yang mayoritasnya beragama Islam seperti Malaysia, Indonesia, Turki, atau Arab Saudi. Berlawanan dengannya, kelompok ekstrem kiri yang sekularis justru berpendapat bahwa agama tidak boleh mengatur atau mengurusi negara karena keduanya memiliki lingkup yang berbeda.

Sedangkan kelompok yang berpendirian moderat atau wasathiyah berdirinya di antara keduanya, mereka berpendapat bahwa Islam mengatur segala aspek kehidupan termasuk persoalan tentang kenegaraan. Tetapi konsep tersebut tidaklah kaku dan baku, melainkan sebuah hasil ijtihad berdasarkan konteks situasi pada kondisi zamannya, yang bisa saja terdapat perbedaan pendapat. Karenanya bahasan mengenai politik atau kenegaraan bukanlah persoalan yang pokok atau ushul melainkan hanya perkara cabang atau furu’.

Pendirian yang moderat atau wasathiyah ini memang berbeda dengan dua kutub ekstrem tersebut. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Kemenag RI dalam buku yang diterbitkannya berjudul Moderasi Beragama (2019) yang menyebutkan bahwa moderasi beragama adalah solusi atas hadirnya kubu ultra-konservatif atau ekstrem kanan di satu sisi serta kubu liberal atau ekstrem kiri di sisi lainnya. Karena itu kita perlu menyebarkan pandangan-pandangan yang wasathiyah dalam memandang hubungan antara agama dan negara yang sebenarnya memang sudah diterapkan oleh para ulama dan tokoh Islam sejak awal berdirinya Indonesia.

Khilafah Menurut Ulama dan Tokoh Bangsa Indonesia

Berbicara soal kekhilafahan, hal itu memang dibahas oleh para ulama termasuk di Indonesia, namun mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda. Misalnya dalam buku Fiqh Islam yang terbit pertama kali tahun 1951 karya H. Sulaiman Rasyid, terdapat satu bab yang membahas perihal khilafah. Di dalamnya disebutkan bahwa khilafah itu bisa berbentuk nasional atau internasional:

“Al-Khilafah dapat ditegakkan dengan perjuangan umat Islam yang teratur menurut keadaan dan tempat masing-masing umat, baik berbentuk nasional untuk sebagian kaum Muslim yang merupakan suatu bangsa yang memperjuangkan suatu negara yang telah mereka tentukan batas-batasnya, -sebagaimana telah terjadi mulai dari Khilafah Umawiyah, Khilafah Abbasyiyah, dan lain-lain sesudah itu. Khilafah-khilafah itu diakui dan ditaati oleh ulama muslim- ataupun berbentuk umum (internasional) untuk seluruh Islam sedunia” (Rasyid, 1951: hlm. 494).

Dari sini kita bisa melihat bahwa menurut H. Sulaiman Rasyid, khilafah itu bisa berbentuk negara nasional, tanpa perlu kepemimpinan tunggal secara internasional. Maka negara-negara yang didirikan oleh kaum muslimin yang ada sekarang ini seperti Arab Saudi, Malaysia, hingga Indonesia bisa saja disebut sebagai khilafah. Mungkin negara-negara itu, termasuk Indonesia, sekarang ini belum menjalankan sepenuhnya syariat Islam secara sempurna, namun hal itu lah yang sedang diperjuangkan oleh umat Islam di Indonesia sejak dahulu sebagaimana perjuangan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dll, melalui dakwah dan perjuangan di parlemen. Dengan berpijak pada pendapat H. Sulaiman Rasyid ini maka salah apabila menganggap Indonesia sebagai negara kufur atau tidak sah secara hukum Islam.

Sedangkan tokoh lain yakni KH. Moenawar Chalil, tokoh Muhammadiyah, menuliskan buku berjudul Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Al Quran & Sunnah (1984), juga memiliki definisi yang berbeda. Menurutnya, kepala negara yang bisa disebut sebagai khalifah itu hanyalah pada masa Khulafa al-Rasyidin. Sedangkan setelahnya, pada masa kekuasaan Bani Umayyah hingga Turki Utsmani, mereka tak bisa disebut sebagai khalifah karena memiliki sistem yang berbeda. Pasca Khulafa al-Rasyidin, kepala negara itu memiliki kekuasaan yang benar-benar tak terbatas, sampai-sampai mereka bisa menurunkan kekuasaan kepada keturunannya sendiri. Oleh sebab itu kepala negara pada masa Bani Umayyah hingga Turki Utsmani bukanlah khalifah, melainkan malik atau raja:

“…maka andai kata ada seorang yang mengaku atau diakui sebagai khalifah Islam, tetapi ia mempunyai penuh kekuasaan atas rakyatnya, bertindak menurut kemauannya, atas rakyat yang di bawah kekuasaannya; maka dia itu adalah seorang sultan, bukan seorang khalifah. Dan selanjutnya andai kata ada seorang Islam mengaku dan diakui sebagai khalifah Islam, padahal ia mempunyai kekuasaan atas negaranya, sehingga negara itu dapat diwariskan kepada anak dan keturunannya, maka dia itu adalah seorang malik bukan seorang khalifah” (Chalil, 1984: hlm. 70).

BACA JUGA  Perempuan dan Ancaman Ekstremisme: Upaya Preventif

Selain itu, penulis buku Biografi Empat Serangkai Imam Mahzab dan Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad ini juga berargumen dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi bahwa khalifah itu hanyalah tiga puluh tahun, sesudah itu bukan lagi khalifah tetapi kerajaan. Masa tiga puluh tahun itu menurutnya tepat berdasarkan masa kekuasaan empat sahabat Khulafa al-Rasyidin, yakni dari Abu Bakar, Umar, Utsman, hingga Ali. (Chalil, 1984: hlm. 73). Meskipun begitu ia mengakui ada pula pendapat lain berdasarkan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud, di mana disebutkan adanya dua belas orang khalifah dari kalangan Quraisy. Kedua hadits yang telah disebutkan nampak bertentangan, ia mengutip pula dari Ibnu Hajar Al Asqallani dalam Fathul Bari, bahwa belum ada kesimpulan yang memuaskan atas kedua hadits tersebut (Chalil, 1984: hlm. 74).

Dari pemaparan H. Sulaiman Rasyid dan KH. Moenawar Chalil ini kita dapat menyimpulkan memang adanya perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai khilafah atau pun jabatan khalifah di kalangan umat Islam. Menunjukkan tidak adanya kebakuan sistem dan konsep negara dalam Islam. Membantah doktrin kalangan ekstrem kanan bahwa khilafah adalah sesuatu yang baku. Apalagi tiap kelompok ekstrem kanan ini menganggap khilafah versi mereka adalah yang paling benar dan sesuai ajaran Islam, sedangkan pendapat yang lain salah dan menyelisihi Islam. Hal ini bisa kita saksikan bagaimana di Timur Tengah sendiri ketika berdirinya ISIS atau Islamic State pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi, kelompok-kelompok pengusung khilafah yang lain justru banyak yang saling berperang satu sama lainnya karena merasa hanya khilafah versi kelompok mereka sendiri yang sah dan benar.

Pandangan yang wasathiyah inilah yang dipegang oleh mayoritas para ulama dan tokoh Islam di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, bahkan kalangan Muslim modernis yang menginginkan adanya formalisasi syariat Islam pun berpendapat demikian, bahwa Islam tidak membakukan konsep, bentuk, atau pun sistem kenegaraan. Mohammad Natsir, tokoh partai Masyumi, misalnya sejak tahun 1930an dalam salah satu artikelnya menuliskan:

“Hanyalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad s.a.w. ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk perseorangan dan kesentosaan umum. Dalam pada itu, apakah yang menjadi kepala pemerintah itu memakai titel chalifah atau tidak, bukanlah urusan yang utama. Titel khalifah bukan menjadi syarat yang tidak boleh tidak dalam pemerintahan Islam, bukan menjadi satu conditio sine que non” (Natsir, 1973: hlm. 443).

Pandangan Natsir ini dapat dikatakan mewakili pandangan mayoritas para ulama dan umat Islam di Indonesia. Oleh sebab itulah sejak dahulu, partai Islam atau ormas Islam yang besar dan mainstream di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Dewan Da’wah, dll tidak pernah ada yang mempertentangkan antara NKRI dengan Islam. Hal itu sudah menjadi bahasan final, bahwa NKRI dengan Pancasila sebagai dasarnya sudah sesuai dengan ajaran Islam. Para ulama dan ormas Islam itu kemudian hanya saling berbeda pada persoalan cabang saja seperti strategi dan cara penerapan syariat Islam di masyarakat, apakah perlu legal dan formal ataukah cukup substansial semata.

Meski begitu, sejak dahulu memang ada kelompok-kelompok kecil sempalan yang mempertentangkan NKRI dan Pancasila ini dengan pemahaman khilafah atau negara Islam versi mereka sendiri. Hal inilah yang perlu kita waspadai dan tangani, di mana salah satu caranya ialah dengan menyuarakan kembali pandangan-pandangan yang wasathiyah mengenai hubungan agama dan negara yang sudah dirumuskan dan diterapkan oleh para ulama dan tokoh Islam di Indonesia sejak dahulu.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru