26.7 C
Jakarta
Array

Menyoal Gagasan Nashr Hamid Abu Zayd : Al-Qur’an Produk Budaya?

Artikel Trending

Menyoal Gagasan Nashr Hamid Abu Zayd : Al-Qur’an Produk Budaya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pemikiran tafsir kontemporer telah memberikan varian baru dalam dunia penafsiran, yang berusaha memberikan tawaran-tawaran ide karena telah mengalami pergeseran paradigma. Para tokoh pemikiran tafsir kontemporer hadir dengan kegelisahan-kegelisahan terhadap pemikiran klasik yang terkesan ‘atomistik’ dan ‘subjektif’ ketika melihat teks al-Qur’an. Oleh sebab itu, mereka muncul untuk menawarkan gagasan baru dalam rangka bertitik tolak dari kejumudan dan stagnasi pemikiran klasik. Salah satu pemikir yang berada di garda terdepan untuk mendekonstruksi pemikiran klasik terhadap teks al-Qur’an adalah Nashr Hamid Abu Zayd. Ia berusaha menerapkan metode kontemporer berupa telaah terhadap teks-teks secara kritis (textual criticism), yang dalam. Hal ini ia berusaha untuk mengutarakan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipikirkan dalam studi al-Qur’an, mengkontekstualisasikan kitab (suci) dalam setting historis.

Abu Zayd; Arab dan Budaya Teks

Pada awal pembahasan tentang al-Qur’an sebagai sebuah “teks”, Abu Zayd menyatakan bahwa peradaban Arab Islam merupakan sebuah “peradaban teks”.[1] Artinya, dalam perkembangan dasar-dasar ilmu dan budaya Arab-Islam tumbuh dan berdiri tegak di atas suatu landasan di mana “teks” menjadi pusatnya. Meski demikian, bukan berarti “teks” yang membangun peradaban dengan sendirinya, justru interaksi dialektika antara manusia dan “teks” dan segala realitas yang ada berperan penting dalam membentuk ekonomi, sosial, budaya, dan politik dan seluruh aspek kehidupan.[2]

Isu yang dilontarkan oleh Nashr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya ini harus diakui cukup kontroversial. Seakan menentang kesepakatan umum di kalangan umat Islam akan sakralitas eksistensi al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa al-Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini adalah produk budaya. Tentu saja pernyataan semacam ini mengandung reaksi yang tidak ringan, bahkan demi pandangannya ini Nashr Hamid harus menanggung resiko diceraikan dari istrinya sebagai konsekuensi dari pemurtadan yang ditimpakan atas dirinya.[3]

Dua Fase Teks al-Qur’an Menurut Abu Zayd

Dasar pemikiran Nashr Hamid sebelum menyimpulkan status al-Qur’an (produk budaya) ini adalah pembagian terhadap dua fase teks al-Qur’an yang menggambarkan dialektika teks dengan realitas sosial budayanya: pertama, fase ketika teks al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, di mana aspek kebahasaan merupakan salah satu bagiannya. Fase inilah yang kemudian disebut periode pembentukan (marhalah al-tasyakkul) yang menggambarkan teks al-Qur’an sebagai “produk kebudayaan”.

Kedua, fase ketika teks al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksi ulang sistem kebudayaannya, yaitu dengan menciptakan sistem kebahasaan khusus yang berbeda dengan bahasa induknya dan kemudian memunculkan pengaruh dalam sistem kebudayaannya. Dalam fase ini Nashr Hamid menyebutnya sebagai periode pembentukan (marhalah al-tasykil). Teks yang semula merupakan produk kebudayaan, kini berubah menjadi produsen kebudayaan.[4]

Pada hakikatnya dengan konsepnya ini Nashr Hamid ingin mengatakan bahwa ketika diwahyukan kepada Muhammad yang hidup di Jazirah Arab dengan segala budaya dan tradisinya, itu berarti al-Qur’an memasuki wilayah kesejarahan manusia, maka merupakan keniscayaan bagi al-Qur’an untuk memakai struktur tata-bahasa dan tata-budaya Arab untuk menyampaikan misi risalah-Nya melalui Muhammad.

Namun, pada kenyataannya, pernyataan Nashr Hamid ini malah mengandung berbagai serangan terhadap dirinya. Di antara yang menjadi bahan serangan terhadap Nashr Hamid adalah pernyataannya dalam salah satu kitabnya, Naqd Khitab al-Diny, bahwa begitu wahyu diturunkan pertama kali, maka ia berubah status dari sebuah teks ketuhanan(nash ilahi) menjadi teks manusiawi (nash insani), karena begitu masuk kesejarahan manusia, maka ia berubah dari wahyu (tanzil) menjadi sebuah pemahaman dan penafsiran (takwil).

Orang pertama yang melakukan perubahan dari tanzil menjadi takwil ini tentu saja adalah Rasulullah sendiri, sehingga harus dipilih tegas perbedaan antara pemahaman Rasul tentang teks dan sifat dasar teks tersebut yang merupakan wahyu Tuhan; padahal al-Qur’an yang sampai kepada kita saat ini jelas melalui Rasulullah Muhammad. Dengan pernyataan inilah Nashr Hamid dituduh mengingkari aspek ketuhanan al-Qur’an dan menganggapnya sebagai teks manusia.[5]

[1] Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nass, hal. 27

[2]Ibid., hal. 11.

[3]Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-Qur’an Tema-Tema Kontroversial, (Yogyakarta: elSAQ Press, 2005), hal. 99.

[4]Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nass, hal. 24-25.

[5]Nashr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Diny, (Kairo: Sina li al-Nasyr, 1994), hal. 126.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru