31.4 C
Jakarta

Menyikapi Perbedaan Shalat Tarawih yang Tak Berkesudahan

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMenyikapi Perbedaan Shalat Tarawih yang Tak Berkesudahan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ramadhan tiba. Pelbagai ibadah bertaburan, mulai tadarus di corong masjid sampai larut malam hingga shalat tarawih. Hal klasik yang tak kunjung final diperbincangkan adalah pelaksanaan shalat tarawih. Menyangkut bid’ah atau tidaknya shalat tarawih, mungkin tidak begitu debatable. Perdebatan yang kian meruncing adalah menyangkut kuantitas shalat tarawih. Apakah delapan rakaat ditambah tiga shalat witir? Atau dua puluh rakaat plus tiga shalat witir?

Saya tahu adanya dua perbedaan ini waktu masih stay di Madura. Hampir semua orang Madura melaksanakan shalat tarawih sebanyak dua puluh rakaat atau sepuluh salam. Alasan mereka sederhana. Mereka mengikuti Nahdlatul Ulama atau getol disebut NU. Sedang, sebagian kecil mengikuti Muhammadiyah yang mengamalkan praktek shalat tarawih sebanyak delapan rakaat ditambah tiga rakaat shalat witir, sehingga totalnya sebelas rakaat.

Madura memang terkesan fanatis pada satu pemikiran. Sementara, pemikiran yang mereka anut adalah NU. Tidak heran kalau orang Madura ditanya, “Apa agamamu?” Mereka jawab tandas, walau terkesan lucu dan polos, “NU”. NU bukan lagi sebagai organisasi masyarakat. Namun, merambah kepada ranah keyakinan atau agama. Sikap fanatis menggiring mereka melihat perbedaan tidak objektif. Mereka melihat sebelah mata Muhammadiyah, sehingga ormas yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini termarjinalkan. Tragisnya, perbedaan ormas ini menentukan terhadap masa depan seseorang hidup dan berkembang di pulau Madura. Sebut saja, pinangan seseorang akan ditolak karena anutannya bukan NU. Sakitnya tuh di sini, dendang Cita Citata.

Saya merasakan sikap fanatis ini, sehingga melihat perbedaan di luar sana adalah suatu gerbong yang mengantarkan pada kesesatan. Sikap fanatis tersebut pada akhirnya tergantikan dengan sikap pluralis saat saya mencoba berinteraksi di tengah perkotaan tepatnya di Jakarta. Sebagai ibu kota, Jakarta mampu merangkul perbedaan yang seringkali diperselisihkan. Masjid-masjid di Jakarta membuka dua gerbong shalat tarawih: satu gerbong yang melayani sebanyak delapan rakaat plus tiga rakaat shalat witir dan satu gerbong lagi melayani dua puluh rakaat plus tiga rakaat shalat witir. Menariknya, dua gerbong ini dilaksanakan di satu masjid. Bahkan, saya belum mendapatkan komentar yang dikotomis; shalat tarawih ini NU dan shalat tarawih itu Muhammadiyah.

Terlalu sempit mengukur keislaman seseorang sebatas perbedaan anutan. Standar keislaman seseorang hendaknya diukur dari sabda Nabi Muhammad Saw.: “Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya.” Islam itu agama terbuka melihat perbedaan, karena perbedaan itu rahmat. Kebenaran itu beragam. Kata Quraish Shihab, “Tuhan tidak bertanya lima tambah lima berapa, tapi bertanya sepuluh adalah berapa tambah berapa.”

BACA JUGA  Dua Hal Penting Biar Kita Layak Jadi Warga Indonesia

Menyangkut perbedaan kuantitas tarawih, bukanlah suatu alasan yang tepat untuk menutup diri berinteraksi, tidak berpikir objektif, bahkan mengkafirkan saudaranya sendiri. Perbedaan kuantitas tarawih sama-sama dibangun di atas pondasi yang sama-sama kuat. Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim, “Rasulullah Saw. tidak pernah menambah jumlah rakaat dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari sebelas rakaat.” Hadis ini yang menjadi dasar tarawih delapan rakaat ditambah tiga witir, sehingga jumlahnya sebelas rakaat.

Sementara, tarawih dua puluh rakaat pada mulanya adalah ide Umar bin Khattab untuk mengatasi keresahan masyarakat yang melaksanakan shalat tarawih satu rakaat dengan bacaan yang amat panjang. Umar kemudian menawarkan shalat tarawih dikerjakan dua puluh rakaat supaya dapat menghidupkan malam Ramadhan, namun diiringi bacaan yang ringan. Ternyata, ide ini diterima luas oleh masyarakat, sehingga shalat tarawih dua puluh rakaat seakan sunnah Nabi Saw.

Maka, dengan perbedaan tersebut tidak perlu dipersoalkan mana yang bid’ah, apakah yang ini benar dan yang itu salah, dan kelompok ini benar dan kelompok itu sesat. Di era milenial, mempersoalkan Islam sebatas perbedaan anutan, apakah NU atau Muhammadiyah, tidaklah penting. Hal yang dibutuhkan sekarang, sebut Quraish Shihab, adalah moderasi (wasathiyyah). Moderasi adalah core of the core, inti dari inti Islam. Sehingga, tambah Gus Mus, “Islam itu moderat. Kalau tidak moderat bukan Islam.” Moderasi berdiri di tengah, tidak berlebihan. Sebut saja, dermawan yang berdiri di antara sifat pelit dan boros. Demikian pula, berani yang berada di tengah sifat takut dan sombong. Islam mencintai pertengahan, tidak berlebihan. Sikap fanatis termasuk berlebihan, bukan moderat.

Menengahi perselisihan kuantitas rakaat tarawih dan tragisnya sampai menyesatkan pendapat yang berbeda, Allah tegas dalam Qs. an-Nahl/16: 125: “Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Jadi, tidak benar siapa yang menyesatkan orang lain karena perbedaan pandangan. Sebab, hanya Tuhan yang punya hak veto menyangkut kesesatan ini. Bahkan, dalam ayat lain Allah menjawab orang yang gemar menyesatkan: “Dan sesungguhnya kami atau kamu berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata?” (Qs. Saba’/34: 24). Berhentilah menghakimi, karena hakim yang sebenarnya hanyalah Allah, bukan manusia. Jangan merasa benar sendiri dan menyesatkan orang yang lain, karena kebenaran yang mutlak hanya milik Allah, bukan manusia. Bebas, shalat tarawih delapan atau dua puluh rakaat. Semuanya benar. Yang salah adalah yang gemar menyalahkan.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru